Kebijakan Solar dan Premium Dinilai Merugikan Badan Usaha

Selasa, 20 Maret 2018 - 00:12 WIB
Kebijakan Solar dan Premium Dinilai Merugikan Badan Usaha
Kebijakan Solar dan Premium Dinilai Merugikan Badan Usaha
A A A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah terkait penyaluran solar dan premium khusus untuk luar Jawa dan Bali dinilai menguntungkan masyarakat. Sebab, pemerintah mewajibkan badan usaha menyalurkan solar dan premium tepat sasaran dan tepat volume.

"Tapi disisi lain, bermakna mengorbankan Pertamina dan Badan Usaha Swasta lain yang ditugaskan menyalurkan BBM jenis solar," ujar Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria di Jakarta, Senin (19/3/2018).

Kebijakan tersebut, lanjut dia, dituangkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Kegiatan Penyaluran BBM dan LPG dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Sofyano menegaskan, Permen ESDM tersebut mengesankan pemerintah sangat peduli dengan masyarakat pengguna solar dan premium. Badan usaha yang ditugaskan menyalurkan BBM solar yakni Pertamina dan AKR, wajib menyalurkan solar tepat sasaran dan tepat volume.

Penafsiran atas tepat volume itu bisa dinyatakan bahwa badan usaha wajib menjual seluruh kuota solar bersubsidi yang sudah ditetapkan untuk 2018 yakni 14,3juta kilo liter (KL) dan menyalurkan BBM premium non subsidi khusus untuk luar jawa bali sebanyak 7,5 juta KL.

"Kebijakan ini baik karena menjamin masyarakat mendapatkan mendapatkan BBM solar dan premium sesuai kuota yang ditetapkan pemerintah. Namun di sisi lain, sangat tidak bijak karena membuat rugi badan usaha," tegasnya.

Menurut Sofyano, penyebab kerugian tersebut lantaran subsidi yang diberikan pemerintah untuk solar jauh di bawah harga keekonomian solar. Harga jual solar yang ditetapkan pemerintah hanya Rp5.150 per liter sedangkan harga keekonomian solar untuk 2018, rata-rata sebesar Rp7.500 per liter.

"Untuk diketahui bahwa dalam harga jual solar sebesar Rp5.150 per liter, pemerintah hanya memberi subsidi sebesar Rp500 per liter," tegasnya. Menurut Sofyano, jika rata-rata kerugian pada solar sebesar Rp1.500 per liter saja, maka di tahun 2018, badan usaha akan menanggung rugi sekitar Rp21 triliun.

Sofyano menambahkan, untuk penyaluran premium non subsidi yang ditugaskan khusus hanya untuk luar Pulau Jawa dan Bali, karena harga yang ditetapkan Pemerintah sebesar Rp6.550 per liter, maka untuk tahun 2018 dengan kuota sebesar 7,5 juta KL, diperkirakan Pertamina akan menanggung kerugian setidaknya sekitar Rp12 triliun.

Kewajiban menyalurkan solar dan premium tepat volume itu menurut Sofyano pada akhirnya akan berpotensi menggerus keuangan Pertamina dan pada akhirnya bukan tidak mungkin bisa membuat Pertamina gagal menjamin ketahanan stok BBM nasional yang selama ini di penuhi antara 1-23 hari.

Karenanya, pemerintah diminta bijak menyikapi hal ini dan seharusnya pemerintah juga ikut memberi subsidi terhadap BBM premium setidaknya sebesar Rp1.000 per liter.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.3113 seconds (0.1#10.140)