Infrastruktur Dimodali Utang, Jangan Sampai Seperti Zimbabwe

Rabu, 21 Maret 2018 - 18:01 WIB
Infrastruktur Dimodali Utang, Jangan Sampai Seperti Zimbabwe
Infrastruktur Dimodali Utang, Jangan Sampai Seperti Zimbabwe
A A A
JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mewanti-wanti agar Indonesia tidak bernasib sama dengan negara seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Angola, atau Pakistan yang mengalami risiko gagal bayar utang.

Hingga Februari 2018, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp4.035 triliun. Jumlah ini naik 13,46% dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp3.556 triliun. Pemerintah berulang kali menyatakan bahwa utang tersebut digunakan untuk kegiatan produktif, utamanya untuk pembangunan infrastruktur.

Peneliti Indef Rizal Taufikurrahman mengatakan, negara-negara yang gagal bayar itu pun menggunakan utangnya untuk pembangunan infrastruktur.

"Sri Lanka tidak bisa membayar utang, lalu diberikan pelabuhan untuk membayar utangnya. Pelabuhan Hambatita sebesar USD1,1 triliun atau sebesar 70% sahamnya dijual ke BUMN China," katanya di Kantor Indef, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Tak jauh berbeda, Pakistan terpaksa menjual Gwadar Port yang dibangun bersama China dengan nilai investasi sebesar USD46 miliar. Begitupun Zimbawe yang harus mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang sebesar USD40 juta ke China.

"Mata uang yuan Zimbabwe berlaku sejak 1 Januari 2016 tersebut, akibat tak mampu membayar utang yang jatuh tempo pada akhir Desember 2015," imbuh dia.

Sementara itu Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati menyatakan bahwa kondisi utang pemerintah Indonesia memang tidak akan bernasib sama dengan Zimbabwe atau negara lain yang mengalami risiko gagal bayar. Sebab, saat ini Indonesia masih mampu membayar utang.

Namun, utang yang dilakukan Indonesia saat ini dianggapnya masih tidak produktif dan kurang berdampak terhadap sektor riil. Utang yang dibiayai untuk infrastruktur hanya berdampak terhadap sektor yang berhubungan langsung dengan infrastruktur.
Menurutnya, hal inilah yang harus diwaspadai pemerintah.

"Secara agregat bukan kegiatan produktif, tapi porsi konsumsinya yang naik. Kita memang tidak seperti Zimbabwe, tapi kecenderungan kalau dibiarkan tidak produktif bisa jadi bom waktu," tandasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7434 seconds (0.1#10.140)