Pengawasan Migas Dinilai Lemah dan Tak Efektif

Rabu, 21 Maret 2018 - 18:48 WIB
Pengawasan Migas Dinilai Lemah dan Tak Efektif
Pengawasan Migas Dinilai Lemah dan Tak Efektif
A A A
JAKARTA - Pengawasan sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia menurut Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) masih lemah sehingga membebani keuangan negara. Tugas Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga dianggap kontra produktif dengan berbagai kebijakan Pemerintah.

“Pengawasan mereka sangat lemah, tidak efektif. Bubarkan saja karena tidak ada manfaatnya, hanya membebani keuangan negara,” kata Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman di Jakarta, Rabu (21/3/2018).

Menurut Yusri, BPH Migas tidak bekerja seperti amanah Perpres Nomor 141 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Dalam hal ini, terang dia seharusnya BPH Migas melakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap distribusi BBM.

Tapi nyatanya, lanjut dia badan tersebut tidak bisa mendeteksi banyaknya dugaan pelanggaran distribusi. Yusri mencontohkan, di berbagai daerah banyak terjadi BBM yang tidak tepat sasaran. Semisal, banyaknya kalangan industri yang diduga menggunakan BBM penugasan.

Dia menambahkan seharusnya, BPH Migas mendeteksi pelanggaran tersebut sejak awal. BPH Migas, sambung dia, bisa bekerja sama dengan pihak kepolisian dan melakukan semacam operasi intelijen. “Mereka punya anggaran tetapi diam saja atau pura-pura tidak tahu. BPH Migas baru teriak ketika sudah terjadi gejolak atau ketika mahasiswa melakukan demo,” tegasnya.

Tidak hanya itu. Yusri juga menduga, bahwa BPH Migas tidak melakukan pengawasan terhadap kualitas BBM . Hal ini tentu sangat rawan, karena yang dirugikan adalah masyarakat sendiri. “Pernah tidak mereka melakukan uji petik terhadap kualitas di tempat yang jauh dari kota? Sejauh ini tidak pernah. Padahal, yang seharusnya melakukan kontrol adalah BPH Migas,” lanjut dia,

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin juga mendesak pembubaran BPH Migas. Terang Safrudin, banyak pernyataan BPH Migas yang tidak memperlihatkan kapasitas memadai. “Maaf sekali, jadi kelihatan bodoh. Bukan dalam arti kapasitas keilmuan tentang BBM, tetapi juga bodoh dalam hal manajemen kebijakan publik. Mereka tidak mau mencari referensi,” tegasnya.

Salah satu contoh, ketika BPH Migas mempersoalkan sedikitnya konsumsi Premium. Padahal penurunan terjadi, antara lain karena perkembangan kendaraan terbaru yang memang diperuntukkan bagi BBM dengan oktan tinggi. Belum lagi terbitnya Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.20/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.

Selain itu, tentu saja hasil penelitian antara KPBB dan Universitas Indonesia tentang emisi Premium yang menyebabkan kanker. “Semua itu berpengaruh terhadap penurunan permintaan Premium,” jelasnya.

Tentang kendaraan bermotor keluaran terbaru, misalnya, menurut Safrudin memang diperuntukkan bagi BBM oktan tinggi. Dan dari tahun ke tahun, akumulasi populasi semakin meningkat. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil keluaran tahun 2014-2017, adalah 879 ribu, 767 ribu, 862 ribu, dan 844 ribu. Sedangkan penjualan sepeda motor terbaru berdasarkan Asosiasi Sepeda Motor Indonesia (AISI) pada 2014-2017 adalah 7,9 juta, 6,5 juta, 5,9 juta, dan 5,9 juta.

Angka penjualan tersebut, tentu berpengaruh terhadap akumulasi populasi kendaraan bermotor keluaran terbaru. Dan untuk kota-kota besar, menurut dia bisa mencapai 80 persen. “Dengan demikian, harusnya BPH Migas mengatakan bahwa Premium dihapus saja karena tidak sesuai dengan kendaraan bermotor baru. Bukan malah menghambat seperti sekarang,” kata Safrudin.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9731 seconds (0.1#10.140)