Utang Bukan Hanya untuk Tambal Defisit Belanja Pemerintah

Sabtu, 24 Maret 2018 - 12:44 WIB
Utang Bukan Hanya untuk Tambal Defisit Belanja Pemerintah
Utang Bukan Hanya untuk Tambal Defisit Belanja Pemerintah
A A A
JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kebijakan utang dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. Menurutnya, utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja pemerintah, juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia.

Dia menuturkan, jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya SBN ritel tahub 2006, yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam negeri. Dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016. Secara total pada 2018, investor ritel pemegang SBN telah mencapai 501.713.

Bahkan, kata dia, investor individual ini ada yang berusia di bawah 25 tahun sekitar 3%, hingga di atas 55 tahun. Tak hanya itu, ibu rumah tangga juga telah mengenal dan berinvestasi pada SBN yang mencapai sekitar 13%-16%.

"Kita masih perlu mengembangkan terus pendalaman pasar dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembelian obligasi negara maupun korporasi. Pasar keuangan yang dalam dan tebal akan menjadi salah satu pilar menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Ini juga untuk menjawab mereka yang merasa khawatir dengan proporsi asing dalam pembelian obligasi (SBN) kita," tegasnya dalam keterangan resmi yang diterima SINDOnews di Jakarta, Sabtu (24/3/2018).

Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan diversifikasi instrumen utang, agar partisipasi masyarakat luas dapat terus meningkat. Dia menyatakan, mereka yang menganjurkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan instrumen utang, maka anjuran itu sudah sangat sejalan dengan yang dilakukan pemerintah.

Menurut dia, langkah pengelolaan APBN dan penyesuaian memang dilakukan secara bertahap dan hati-hati, agar perekonomian tidak mengalami kejutan (shock) dan mesin ekonomi menjadi melambat. Pilihan-pilihan kebijakan ini dievaluasi secara cermat oleh pemerintah, karena ekonomi Indonesia harus dikelola dengan hati-hati dan seimbang, mengingat tujuan-tujuan yang hendak dicapai sangat beragam.

Di antaranya pengurangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja, perbaikan program pendidikan dan kesehatan, membantu infrastruktur dasar, meningkatkan penelitian dan pengembangan, membangun alutsista, memperbaiki kesejahteraan prajurit, polisi, dan pensiunan.

"Selain itu, kita masih dihadapkan pada risiko ketidakpastian global akibat kebijakan perang dagang yang dilakukan Amerika Serikat dan kenaikan suku bunga oleh The Fed serta kondisi geopolitik dunia," imbuh dia.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan, setiap langkah penyesuaian untuk mencapai satu tujuan, selalu berakibat pada tujuan yang lain atau yang dikenal sebagai “trade-off”. Namun, pemerintah terus melakukan penyesuaian untuk mencapai tujuan pembangunan dan terus menjaga APBN terap sehat, kredibel dan berkelanjutan (sustainable).

Langkah konsisten dan hati-hati dari pemerintah ini telah menghasilkan kepercayaan yang makin kuat terhadap APBN dan perekonomian Indonesia. Hal ini dikonfirmasi oleh peringkat invetasi dari lima lembaga pemeringkat dunia seperti S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I.

Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki undang-undang yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya. Disiplin fiskal pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan kepatuhan terhadap besaran defisit dan rasio utang terhadap PDB.

Beberapa negara yang juga memiliki legislasi untuk menjaga disiplin fiskal seperti Eropa Barat dan Brazil, telah beberapa tahun melanggar disiplin aturan mereka. "Dengan demikian, perhatian dan keinginan berbagai partai politik dan ekonom agar Indonesia terus menjaga disiplin fiskal adalah positif dan baik bagi reputasi dan kredibilitas ekonomi Indonesia," ungkapnya.

Ditambahkannya, pengelolaan APBN yang hati-hati dan baik menghasilkan perbaikan dalam bentuk menurunnya imbal hasil (yield) Surat Utang Negara berjangka 10 tahun dari 7,93% pada Desember 2016, menurun menjadi 6,63% pada pertengahan Maret 2018.

"Ini prestasi yang tidak mudah, karena pada saat yang sama justru Federal Reserve Amerika melakukan kenaikan suku bunga pada akhir Desember 2016, dan dilanjutkan dengan kenaikan suku bunga tiga kali pada tahun 2017," tutur dia.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4923 seconds (0.1#10.140)