Siklus Krisis Ekonomi 10 Tahunan di Mata Boediono

Rabu, 28 Maret 2018 - 14:24 WIB
Siklus Krisis Ekonomi 10 Tahunan di Mata Boediono
Siklus Krisis Ekonomi 10 Tahunan di Mata Boediono
A A A
JAKARTA - Wakil Presiden RI ke-11 Boediono mengaku tidak percaya dengan anggapan sejumlah pihak akan adanya siklus krisis 10 tahunan. Siklus krisis yang dimaksud adalah dimana Indonesia akan mengalami krisis setiap 10 tahun sekali, yang dimulai dari tahun 1998, kemudian pada 2008, dan kekhawatiran sejumlah pihak pada tahun 2018 akan kembali terjadi krisis.

(Baca Juga: Efektifitas Kebijakan Ekonomi, Boediono Minta Pemerintah Contek Orde Baru
Dia mengatakan, jika memang pada tahun ini terjadi krisis ekonomi maka hal tersebut bukan disebabkan karena siklus 10 tahunan. Sebab krisis bukan disebabkan oleh faktor alam, melainkan faktor manusia.

"Kalau (siklus krisis) 10 tahunan saya tidak percaya. Tapi kalau saya pikir lihat saja indikatornya. Kalau 2018 terjadi krisis, itu bukan karena 10 tahunan. Itu perilaku manusia, bukan perilaku alam," katanya dalam acara peluncuran buku Laporan Perekonomian Indonesia 2017 di Gedung BI, Jakarta, Rabu (28/3/2018).

Sambung dia menerangkan, krisis ekonomi pertama yang dialami Indonesia adalah pada 1960 dimana saat itu angka inflasi sangat tinggi dan pertumbuhan ekonomi sangat rendah. Menurutnya, krisis yang terjadi pada 1960 tersebut merupakan dampak dari keputusan pemerintah untuk melepaskan prudent policy Indonesia dalam fiskal dan kemudian membiayai proyek secara tidak aman.

"Itu krisis yang our making, karena kita melepaskan prudent policy kita dalam fiskal dan kita membiayai suatu proyek yang tidak ada pembiayaan yang aman. Akhirnya terjadi inflasi," imbuh dia.

Kemudian, lanjut mantan Menko bidang Perekonomian ini, krisis kedua terjadi pada 1980-an. Hal tersebut terjadi karena harga minyak dunia yang anjlok, sehingga mengacaukan kondisi fiskal dan moneter di Tanah Air.

Sebab, pada masa itu Indonesia sangat mengandalkan minyak sebagai sumber penerimaan negara. Sayangnya, harga minyak dunia kala itu merosot hingga sekitar USD10 per barel pada 1986.

"Ini (krisis) penyebabnya dari luar. Ini adalah suatu proses yang luar biasa cepat. Kemudian kita banting stir dari ekonomi yang mengandalkan minyak, kemudian mengurangi mengandalkan minyak dari segi fiskal dan moneter. Ini kemudian berhasil selama satu dasawarsa jelang 1996-1997 kita benar-benar lepas dari ketergantungan minyak dari struktur ekonomi kita," imbuh dia.

Selanjutnya, krisis kembali terjadi pada periode 1997-1998. Menurutnya, krisis yang terjadi saat itu jauh lebih besar dari yang diperkirakan oleh pemerintah.

Krisis yang terjadi pada periode tersebut, lanjut mantan Gubernur BI ini, juga disebabkan oleh faktor luar. Namun bedanya, krisis kali ini bukan ditimbulkan dari neraca transaksi berjalan (current account), melainkan terjadi karena neraca modal (capital account) yang menjadi andalan Indonesia untuk membiayai perekonomian di Tanah Air.

"Ini suatu yang baru sama sekali. Saya terlibat waktu itu sebagai anggota Dewan Gubernur, itu melihat sekali bahwa suatu yang kita nggak bisa menerka mau kemana," ungkapnya.

Masih menurut Boediono, krisis keuangan kembali terjadi di 2008. Namun, skalanya jauh lebih besar dibanding krisis 1998. Sebab, krisis kali ini merupakan krisis keuangan global, sementara pada 1998 krisis hanya terjadi di lingkup Asia.

"Masalahnya kembali ke capital account kita dan semua negara. bagi negara di kawasan, itu pembalikan luar biasa. Kembali kita mengalami krisis yang sama tapi skalanya lebih besar. Tapi kita alhamdulillah bisa belajar dari sebelumya. jangan sampai sistemik krisis ini terjadi dalam waktu yang lama, itu akan merusak segalanya," tandas Boediono.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5310 seconds (0.1#10.140)