RI Kejar Posisi Puncak Wisata Halal

Jum'at, 13 April 2018 - 08:14 WIB
RI Kejar Posisi Puncak Wisata Halal
RI Kejar Posisi Puncak Wisata Halal
A A A
JAKARTA - Wisata halal Tanah Air kian menarik perhatian dunia. Teranyar, pada 2018 ini, Indonesia menempati posisi nomor 2 destinasi wisata muslim di dunia bersama Uni Emirat Arab.

Pada 2019, Indonesia memancang target berada di posisi puncak wisata halal dunia. Posisi yang diraih tersebut menunjuk kan peningkatan dari tahun 2017 yang menempati peringkat ketiga. Ber dasarkan survei Mastercard-CrecentRating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2018 terhadap 130 destinasi, posisi nomor wahid di antara negara-negara anggota Organisasi Kerja sama Islam (OKI) masih diduduki Malaysia.

Di luar OKI, posisi teratas ditempati Singapura. Adapun peringkat kedua di negara non-OKI dipegang Thailand. Penilaian GMTI 2018 berdasar empat kriteria, yakni akses masuk ke negara tujuan, komunikasi untuk menjangkau wisatawan, lingkungan, dan pelayanan.

Untuk tahun ini ada empat komponen penilaian baru, yaitu infrastruktur transportasi, kehadiran digital, iklim, dan pengalaman unik.

Setiap kriteria kemudian di hitung untuk menentukan keseluruhan skor indeks. Menteri Pariwisata Arief Yahya bersyukur atas raihan yang dicapai Indonesia. Namun dia menandaskan tidak berpuas atas posisi tersebut. Dia menargetkan pada 2019 berada pada urutan pertama wisata halal dunia.

Langkah yang dilakukan adalah men dorong Nanggroe Aceh Darus salam (NAD) dan Sumatera Barat menjadi destinasi halal selanjutnya setelah Lombok, NTB. Dia menilai kedua provinsi tersebut berpotensi besar sebagai destinasi wisata halal karena daya tarik wisata muslimnya bagus, termasuk kultur dan religinya.

Di luar itu, aspek atraksi, akses, dan amenitas harus diperkuat. Menurut Arief, sejauh ini Sumbar sudah mulai meniru konsep wisata halal yang dilakukan NTB, yaitu membuat program untuk memfasilitasi sertifikasi halal bagi para pelaku di industri pariwisata. Namun Arief melanjutkan, ke - kuatan dan kelemahan orang Indonesia adalah DNA halal yang dimiliki.

Misalnya karena sudah merasa halal enggan untuk mengurus sertifikasi halal. Padahal sertifikasi halal adalah salah satu syarat penting untuk mengembangkan wisata halal.

”Kami menargetkan pada 2019 Indonesia kembali naik satu posisi menjadi urutan pertama wisata halal dunia. Karena kita punya banyak keunggulan. DNA Indonesia sudah wisata halal. Tapi itu juga kelemahan kita. Enggan menyertifikasi halal sesuai dengan standar dunia,” ujar Arief Yahya saat konferensi pers GMTI 2018 di Jakarta. Potensi wisata halal terbilang sangat besar.

Pada 2016 Indonesia mendapat kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) muslim sebanyak 2,5 juta orang. Kemenpar menargetkan, pada 2019 wisman muslim akan mencapai 5 juta orang. Saat ini Tiongkok masih menjadi penyumbang wisman terbesar untuk Indonesia.

Secara umum, potensi wisata halal dunia sangat besar, yakni mencapai USD220 miliar pada tahun 2020 dengan jumlah wisatawan mencapai 158 juta orang. Pada tahun 2017, tercatat ada 131 juta wisatawan muslim yang bepergian ke destinasi wisata halal, termasuk ke Indonesia. Menurut studi GMTI 2018, pertumbuhan wisatawan muslim ditunjang sejumlah aspek.

Aspek dimaksud antara lain meningkatnya populasi muslim, berkembangnya kelas menengah, banyaknya anak muda, kemudahan mengakses informasi wisata, menjamurnya fasilitas yang ramah muslim, dan wisata di bulan Rama dan. Studi GMTI 2018 juga memasukkan peran generasi milenial dalam subjek penelitian.

Studi itu memetakan wisata wan muslim milenial dalam aspek 3A, yaitu authentic (autentisitas), a ffordable (harga yang terjangkau), dan accesible (aksesibilitas). GMTI menemukan adanya sejumlah perilaku yang kerap dilakukan wisatawan muslim milenial.

Perilaku dimaksud adalah bepergian bersama keluarga dan kerabat, berwisata dengan mudah dan murah, tetap tersambung dengan internet, lebih memilih daerah yang ramah muslim, menggunakan peranti daring untuk salat, dan menggunakan transportasi publik.

Sebelumnya Ketua Halal Lifestyle Center Sapta Nirwandar kepada KORAN SINDO menuturkan, salah satu hal yang menjadi penghambat pertumbuhan wisata halal di Indonesia adalah kurangnya pemahaman masyarakat, termasuk dunia usaha, akan wisata halal.

“Masih banyak pemahaman yang belum berkembang. Ada ketakutan karena tidak laku jika menyajikan restoran halal atau hotel halal, padahal potensi wisatawan muslim ini besar,” kata Sapta. Untuk itu, dia berharap, pemerintah terus mendorong, melalui sosialisasi ke masyarakat dan industri, potensi wisata halal tersebut.

Adapun untuk potensi daerahnya tidak hanya terpatok pada Aceh, NTB, dan Sumbar, tapi bisa juga wilayah lain di Tanah Air. “Yang harus disiapkan hotel, restoran, destinasi atau hiburan yang semuanya mendapatkan sertifikasi halal karena jumlah wisatawannya semakin meningkat,” urainya.

Menurutnya, pariwisata bisa menjadi lokomotif ekonomi nasional karena terdapat banyak aspek di dalamnya. Jika tidak dipersiapkan dari sekarang, tidak menutup kemungkinan Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar di dunia hanya menjadi konsumen, bukan produsen.

“Thailand, Korea, Jepang telah menyediakan fasilitas pelayanan halal seperti restoran dan tempat ibadah di bandara. Negara maju telah melihat potensinya. Karena jumlah wisatawannya besar, Indonesia jangan sampai tertinggal,” tandasnya. Dia lantas berharap, besarnya potensi wisata muslim bisa dimanfaatkan pelaku usaha Tanah Air.

Apalagi Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. “Potensinya memang besar, halal lifestyle memang tengah menjadi tren. Jika tidak mengambil potensi tersebut, sangat disayangkan, bisa-bisa negara lain yang menguasainya,” katanya.

Persaingan Kian Ketat
Safdar Khan, Presiden Mastercard Divisi Indonesia, Malaysia, dan Brunei, menilai Indonesia sukses memperkuat posisinya sebagai salah satu tujuan wisata halal. “Kementerian Pariwisata Indonesia melakukan pekerjaan luar biasa dalam meningkatkan lanskap pariwisata Indonesia, infrastruktur pariwisata, dan mempromosikan kampanye Wonderful Indonesia di luar negeri,” ujar dia.

Namun dia mengingatkan persaingan wisata halal ke depan akan semakin kompetitif. Menurut dia, banyak tujuan yang sudah sukses di seluruh dunia yang mendiversifikasi basis pengunjung mereka untuk mempertahankan laju pertumbuhan wisatawan di pasar wisata yang semakin kompetitif saat ini.

“Segmen perjalanan muslim yang berkembang pesat adalah peluang di depan mata. Tapi untuk mencapai keberhasilan, sangat penting mema hami kebutuhan dan preferensi wisatawan muslim serta bagaimana beradaptasi dan menyesuaikan produk dan layanan untuk mereka,” imbuhnya.

CEO Crescent Rating dan Halal Trip , Fazal Bahardeen, juga melihat kompetisi wisata halal semakin ketat. Menurut dia, banyak negara, termasuk negara non-OKI di Asia, berhasil menaikkan peringkat dengan melakukan perbaikan layanan guna menarik serta memenuhi kebutuhan wisatawan muslim.

Dia mencontohkan, Jepang dan Taiwan meningkat pesat menempati posisi lima destinasi teratas untuk pertama kalinya sejak GMTI diluncurkan. “Kami mulai melihat dampak investasi dan komitmen tujuan wisata muslim di seluruh dunia yang menuai keuntungan signifikan. Asia adalah wilayah terkemuka di dunia yang paling menarik pengunjung muslim, diikuti Eropa,” sebutnya.

Untuk diketahui, dalam GMTI 2018 yang menyurvei 130 destinasi, Malaysia menempati posisi puncak. Yang menarik, menurut GMTI, jumlah destinasi non-OKI di Asia bertambah. Hal ini menunjukkan meningkatnya negara nonmuslim yang menyesuaikan layanannya untuk menarik wisman muslim. (M Shamil)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4404 seconds (0.1#10.140)