Peran MUI sebagai Takmil al-Kamil

Rabu, 17 Januari 2024 - 19:35 WIB
loading...
Peran MUI sebagai Takmil al-Kamil
Ahmad Zuhdi. Foto/Istimewa
A A A
Ahmad Zuhdi
Mahasiswa Doktoral Program Kaderisasi Seribu Ulama MUI-BAZNAS RI

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) dengan perannya sebagai himayatul ummah (menjaga umat) dan shadiqul hukumah (mitra pemerintah) memiliki peran yang sangat strategis. Terutama dalam menjaga umat dari berbagai anasir yang dapat menggelincirkannya.

Maka, sejak dulu hingga saat ini, tugas seorang muslim adalah melanjutkan misi kerasulan, yaitu dakwah. Meski pengutusan para nabi dan rasul berakhir dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para nabi, namun bukan berarti risalah dakwah ikut terhenti.

Timbang terima dakwah pada saat haji wada merupakan legitimasi dari Rasulullah agar setiap muslim menjadi penyeru dakwah, terutama dalam menjaga dan memelihara semangat dakwah dalam kerangka bina’an ataupun difa’an. Dakwah bina’an berarti melakukan bimbingan ilmu terhadap umat dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Sedangkan dakwah difa’an, berarti melakukan pembentengan terhadap akidah umat.

Di sinilah letak perbedaan tugas kerasulan Nabi Muhammad dengan para nabi dan rasul yang diutus sebelumnya. Kewajiban dakwah yang sebelumnya menjadi kewajiban individu (nabi dan rasul), berubah menjadi kewajiban kolektif, berubah menjadi tanggung jawab bersama untuk menyampaikan dakwah ke tengah-tengah umat.

Dalam memikul tugas dan tanggung jawab dakwah secara kolektif, tentu diperlukan suatu wadah atau organisasi dakwah. Organisasi ini menghimpun berbagai potensi yang satu sama lain saling menopang berlangsungnya kerja-kerja dakwah.

Awal abad kedua puluh masehi merupakan kebangkitan organisasi dakwah Islam, hampir di seluruh dunia para ulama-pejuang kembali menegakkan izzah dan muru'ah Islam beserta kaum muslimin melalui pemberdayaan masyarakat di bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan, dan berbagai sektor yang menjadi fokus garapan. Ini tanpa meninggalkan senjata atau perlawanan fisik jika suatu saat dibutuhkan.

Pada rentang tahun 1900-1940-an, puluhan organisasi berbasis massa Islam hadir di setiap penjuru negeri muslim. Di Mesir misalnya berdiri Jamaah Ansharus Sunnah Al-Muhammadiyah (1926), Al-Ikhwanul Muslimin (1928), Jam'iyah Ahlul Hadits (1906), dan Al-Jama'ah Al-Islamiyah (1941) yang memiliki pengaruh kebangkitan sampai ke Anak Benua India, begitu juga di Tunisia, Suriah, Yordania, Turki, dan lainnya berdiri organisasi Islam, baik yang berorientasi pada dakwah an sich atau dakwah dan sosial-politik.

Begitu pun di Indonesia, setelah tidak adanya kesultanan-kesultanan yang menjadi rujukan dan representasi umat Islam, masyarakat tergugah untuk mendirikan ormas Islam demi tercapainya tujuan beragama. Seperti Jam'iyatul Khair (1901), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam [Persis] (1923), Nahdlatul Ulama [NU] (1926), dan ormas-ormas lainnya.

Ormas-ormas yang lahir jauh sebelum Indonesia merdeka tersebut melahirkan ribuan sekolah, pesantren, rumah sakit, puluhan perguruan tinggi, bahkan bekerja sama mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk melanjutkan studi di Timur Tengah. Melalui ormas-ormas tersebut, lahir para pemimpin dunia, lahir para negosiator dan diplomat ulung yang dapat merekonsiliasi konflik yang ada di dalam luar negeri.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1335 seconds (0.1#10.140)