Menggoda Pasar Global dengan Motif Batik Baru

Minggu, 22 Juli 2018 - 09:26 WIB
Menggoda Pasar Global dengan Motif Batik Baru
Menggoda Pasar Global dengan Motif Batik Baru
A A A
BANDUNG - Batik yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO semakin menunjukkan eksistensinya di kancah internasional.

Berbagai industri batik di beberapa daerah terus mengembangkan kerajinan mandiri secara berkelompok untuk menghasilkan motif baru yang melambangkan desanya. Ciri khas batik yang didasari unsur kedaerahan mulai menjadi keunggulan di pasar global.

Motif beragam yang mewakili berbagai daerah tersebut ikut dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Bandung yang memasarkan batik Bandung ke kawasan Asia Tenggara dan Asia- Pasifik. Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Kota Bandung Eric M Attaurik mengungkapkan, kekhasan batik Bandung diunggah melalui Bandung Little Katalog yang disebar ke sejumlah Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

“Kami memiliki UKM yang cukup potensial. Alhamdulillah, mereka sudah kami masukkan ke dalam buku Bandung Little Katalog. Buku itu kami sebar ke sejumlah Kantor KBRI di ASEAN dan Asia-Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan lainnya,” tutur Eric.

Menurut Eric, penetrasi batik Bandung mayoritas masih menyasar konsumen dalam negeri. Belum ada ekspor batik berskala besar layaknya produk mode lainnya. Penjualan batik ke luar negeri masih berupa hubungan penjual dan konsumen, untuk memenuhi kebutuhan warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri.

Meski demikian, berbagai upaya terus dilakukan Deperindag Kota Bandung dalam membina perajin dan pedagang batik. Perajin diikutsertakan dalam beragam pameran dan promosi termasuk mengikutsertakan mereka di kegiatan pelatihan kewirausahaan, menjadi pembicara seminar, dan motivator kewirausahaan.

Di tengah persaingan industri besar dan UKM, Deprindag Kota Bandung tetap fokus dalam melakukan pembinaan kepada para perajin batik. Terlebih para perajin memiliki kekhasan atas produknya seperti batik yang mencirikan kekhasan Bandung, batik Nyere dan batik Hasan.

Batik Nyere merupakan temuan baru cara membatik yang digagas warga Babakan Ciamis, Kota Bandung. Cara membatiknya tak lagi menggunakan canting untuk melukis, melainkan menggunakan sapu lidi. Corak yang dihasilkan cukup bagus layaknya goresan sapu lidi.

Sementara itu, batik Hasan dikembangkan oleh almarhum Hasanudin sejak 1975. Batik yang kini dikelola putra-putri Hasan tersebut mengeksplorasi ragam hias tradisional Indonesia seperti kawung, lereng, ceplok, serta ragam hias geometris seperti titik, kotak, garis, atau kombinasi keduanya.

Batik ini juga mengusung ciri khas batik tambal. “Juga ada batik kontemporer yang menggabungkan batik biasa dengan batik kekinian. Batik itu sekarang sedang dikembangkan perajin Bandung. Itu terus kami bina,” ujar Eric.

Nurdin selaku pemilik Toko Batik Gyasi Bizurai mengungkapkan, selama ini dirinya telah menjadi binaan Disperindag Kota Bandung. Konsep pemasaran yang dilakukan oleh Disperindag Bandung yaitu memasarkan batik di rumah dan mengikuti pameran pada kegiatan tertentu.

“Kami ada di bawah binaan Disperindag sehingga sering diikutkan pada berbagai pelatihan. Sedangkan untuk penjualan biasanya diikutkan pada pameran di beberapa daerah,” kata Nurdin ditemui pada pameran di Graha Siliwangi, Kota Bandung. DI Yogyakarta yang selama ini menjadi pusat batik nasional sampai saat ini terus mengembangkan desa perajin batik.

Hampir setiap desa menjadi sentra industri batik, terutama batik tulis, cap, dan batik cetak, yang dikelola oleh kelompok masyarakat setempat. Bahkan kini hampir beberapa daerah telah memiliki ikon batik tersendiri.

Beberapa motif batik tersebut dibuat berdasarkan ciri khas atau kekhasan wilayah masing-masing daerah. Salah satunya di wilayah Sleman, yang menerapkan motif daun sinom parijotho dan salak sebagai batik Sleman. Kini batik Sleman pun dikenal dengan nama batik Parijotho Salak.

Sinom parijotho dan salak diambil sebagai motif bukan tanpa alasan. Tumbuhan pada motif batik tersebut diartikan sebagai simbol sinom parijotho atau daun yang hanya tumbuh di lereng Gunung Merapi. Pemilihan motif ini ditetapkan setelah Sleman menggelar lomba desain batik Sleman pada 2012.

Sejak saat itu motif batik Parijotho Salak dikenalkan di kalangan masyarakat, termasuk menjadi seragam wajib bagi pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sleman. Pengembangan batik tersebut dilakukan melalui pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat agar dapat memproduksi sendiri batik khas Sleman.

Pembinaan yang dilakukan antara lain dengan memberikan pelatihan membatik hingga membentuk kelompok untuk memproduksinya. Kepala Disperindag Sleman Tri Endah Yitnani mengungkapkan, masing-masing kelompok terdiri atas 15-20 orang dan hampir di semua desa memiliki kelompok batik.

Kelompok yang sudah terbentuk itu kemudian membentuk paguyuban industri batik. Hingga saat ini tercatat sekitar 30 kelompok industri batik di Kabupaten Sleman. “Di Sleman juga ada industri batik mandiri seperti Tiray Art Batik, Nakula Sadewa, Jodag, Sogan, Monera, Batik Afif Syakur, Kusuma Jaya Batik, dan Isfana Batik,” tutur Endah.

Endah mengungkapkan, industri batik di Sleman sangat menjanjikan. Hal itu terbukti dengan pendapatan bersih para perajin yang mencapai antara Rp70-90 juta. Kelompok yang lebih besar bahkan bisa menghasilkan keuntungan yang lebih besar pula dan mencapai ratusan juta rupiah per bulan.

“Industri batik mandiri ini juga menyerap sebanyak 5-10 tenaga kerja,”tambahnya. Endah mengatakan, meski industri batik cukup menggembirakan, namun bukan berarti Pemkab Sleman lepas tangan. Hingga kini Pemkab Sleman terus mendorong agar industri batik tersebut semakin berkembang dan meningkat.

“Karenanya kita terus memberikan pelatihan dan pendampingan kepada tiap kelompok industri batik. Termasuk ikut memasarkannya, yaitu dengan mengikutkan pada pameranpameran dan juga lomba-lomba sehingga industri batik terus meningkat dan merangsang hadirnya inovasi baru,” jelasnya.

Ketua Dekranasda Sleman Kustini Sri Purnomo mengatakan, pengembangan industri batik ini bukan sekadar berorientasi pada perdagangan (profit oriented), melainkan juga dilakukan untuk tetap menjaga dan memelihara lingkungan.

Karena itu, dalam pewarnaan batik, pemerintah mendorong penggunaan pewarna alami yang digunakan pada batik tulis dan batik cap tidak menggunakan bahan sintesis. “Industri batik dengan pewarna alam ini juga tidak terlepas dengan melimpahkan sumber daya alam sebab di Sleman tersedia bermacam tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pewarna batik,”jelasnya.

Selain ramah lingkungan, menurut Kustini, pemakaian pewarna alam ini juga terasa nyaman saat dipakai dan dari sisi harga sangat kompetitif. “Karena itu,untuk pewarna batik difokuskan dengan menggunakan pewarna alam. Yang bisa diambil dari daun, batang, kulit, buah, dan akar pohon,” tandasnya.

Sementara itu, perajin batik Sleman, Sri Lestari menambahkan, untuk pewarnaan, para pembatik berangsur mulai meninggalkan pewarna sintesis dan beralih dengan menggunakan warna bahan alam. Bahan alam tersebut menurutnya mudah didapat di sekitar lingkungan rumah warga. (Arif Budianto/ Priyo Setyawan)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4035 seconds (0.1#10.140)