Menggantungkan Asa pada Tanaman Padi dan Ternak Babi

Senin, 23 Juli 2018 - 17:02 WIB
Menggantungkan Asa pada Tanaman Padi dan Ternak Babi
Menggantungkan Asa pada Tanaman Padi dan Ternak Babi
A A A
Toko kelontong UD Salahida milik Eddi Kurniawan Larosa, 29, punya peran penting di Desa Hilimbawa Desolo, Kecamatan Gido, Kabupaten Nias.

Toko tersebut menjual Saprodi (Sarana Produksi) di sektor pertanian seperti alat-alat bertani, pupuk, dan pestisida. Juga pakan ternak babi yang merupakan salah satu faktor penting dalam usaha budidaya ternak. ”Mayoritas penduduk di wilayah ini memang memiliki mata pencaharian petani dan peternak babi,” ujar Eddi saat ditemui Tim Teras Indonesia KORAN SINDOdi tokonya.

Penghasilan terbesar penduduk Kabupaten Nias bertumpu di sektor pertanian, dengan luas lahan potensial mencapai 81.389 hektare, yang terdiri dari sawah 22.486 hektare dan lahan kering 58.903 hektare.

Meski, potensi tersebut belum memberikan hasil maksimal untuk mampu mencapai swasembada pangan. Kebutuhan akan Saprodi pertanian tinggi, menurut Eddi, karena pestisida, zat kimia yang digunakan untuk membunuh hama, itu dipakai petani agar tanaman terhindar dari serangan penyakit yang menyebabkan gagal berproduksi. Insektisida dan herbisida digunakan di awal masa tanam. ”Sedangkan fungisida dipakai setelah padi sudah memasuki masa generatif,” terang Eddi.

Begitupun kebutuhan akan pakan Babi, ternak khas Nias, yang biasa disembelih saat pesta atau menjadi investasi untuk mahar dalam perkawinan. Sejumlah warga memiliki kandang babi di pekarangan rumahnya.

Ada yang terbuat dari bambu, banyak juga yang menyatu dengan hunian. Soni Laoli, 21, belajar membesarkan babi dari ayahnya sejak berusia belasan tahun. Babi lokal yang ia pelihara berwarna putih dengan bercak hitam. Ada 10 ekor babi yang ia pelihara. Dua babi dewasa memiliki berat sekitar 45 kg, sementara delapan sisanya masih kecil. Kandangnya sama sekali tidak berbau.

”Karena saya bersihkan setiap hari. Dengan perawatan yang baik, ternak jadi lebih sehat dan memiliki lebih banyak daging. Babi yang dirawat memiliki lebih banyak daging dibanding babi yang tidak dirawat,” ungkapnya.

Soni menghabiskan Rp2,5 juta setiap bulan untuk memberi makan ternaknya, yang ketika sudah cukup umur dan berat akan dijual. Babi dewasa bisa dijual di rentang Rp2,5 juta hingga Rp5 jutaan. Pakan babi yang diberikan adalah daun ubi jalar (andor) yang dicincang halus. Sebagian peternak mencampurnya dengan sedikit dedak dan ubi kayu yang diparut dan dimasak. Dedaknya dibeli di toko kelontong milik Eddi Kurniawan Larosa. Menurut Eddi, ia bisa menjual 100 sak dedak dengan berat 50 kg hanya dalam sepekan. Peternak yang ingin praktis juga bisa memilih ransum, yang terdiri dari campuran dedak, vitamin, dan susu.

”Saya bisa menjual 40 sak dalam satu minggu dengan harga Rp400 ribu per saknya,” ujar Eddi. Letak Desa Hilimbawa Desolo yang cukup jauh dari kota Gunungsitoli, Nias, membuat akses ke layanan perbankan terbatas. Karena itu, masyarakat sangat terbantu dengan ke beradaan Eddi sebagai agen BRILink di Kawasan Desa Hilim bawa Desolo.

Melalui mesin EDC (Electronic Data Capture) BRI, warga dapat melakukan berbagai transaksi perbankan hanya bermodal kartu ATM. Mulai membeli barang dagangan dalam jumlah besar, tarik dan setor tunai, membayar tagihan PLN dan cicilan kendaraan, hingga isi ulang pulsa. ”Fungsinya seperti ATM mini. Warga tidak perlu jauh-jauh pergi ke kota untuk bertransaksi di ATM atau repot meng antre di kantor bank,” ungkap Eddi.

Pengguna layanan BRILink milik Eddi sendiri sangat beragam. Mulai petani karet, petani sawah, peternak, pedagang di pasar, remaja, hingga para pekerja di proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Idanoi di Kabupaten Nias, yang segera beroperasi. PLTG tersebut nantinya akan memberikan supply listrik hingga 25 megawatt, menjadi solusi dari keterbatasan pasokan listrik di Kepulauan Nias, sekaligus diharapkan dapat menggerakkan pengembangan industri dan pariwisata di pulau tersebut. ”Karyawan PLTG biasanya datang untuk menarik uang, sekaligus mengirim uang untuk keluarga mereka di luar pulau,” ungkapnya.

Keberadaan agen BRILink tentu erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan, di mana akses terhadap layanan keuangan di Indonesia, terutama Kepulauan Nias, masih belum merata. Inilah solusi layanan keuangan nirkantor yang bisa menjangkau pelosok desa dan wilayah perbatasan. Petugas Agen BRILink Kantor Cabang Gunungsitoli Visius Uracha Sisochi Wau menyebut total ada 36 agen BRILink di Kawasan Kabupaten Nias. Jumlahnya berupaya untuk terus ditambah, agar semakin banyak masyarakat mendapatkan akses ke keuangan inklusif. Dan ternyata memang tidak mudah.

”Karena syarat menjadi agen cukup ketat. Misalnya memiliki usaha minimal dua tahun, lokasi usaha permanen, hingga sudah dikenal baik oleh masyarakat setempat,” ungkap Visius. Sepanjang penelusuran Tim Teras Indonesia Koran Sindo di sepanjang Kabupaten Nias, Kota Gunungsitoli, hingga Kabu paten Nias Selatan, agen BRILink memang sudah banyak ditemukan di berbagai wilayah. Termasuk kawasan pelosok sekalipun. Ini penting, karena layanan finansial bagi usaha mikro diharapkan dapat membuktikan solusi pengentasan kemiskinan, pemberdayaan sektor ekonomi informal, dan inklusi keuangan, sesuai target Presiden Jokowi pada 2019 sudah tercapai 75% inklusi keuangan nasional.
(poe,afs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4260 seconds (0.1#10.140)