Krisis Emerging Market Berpotensi Seret Rupiah ke Posisi Rp15.000/USD

Sabtu, 01 September 2018 - 14:38 WIB
Krisis Emerging Market Berpotensi Seret Rupiah ke Posisi Rp15.000/USD
Krisis Emerging Market Berpotensi Seret Rupiah ke Posisi Rp15.000/USD
A A A
JAKARTA - Krisis ekonomi di negara-negara berkembang atau emerging market terutama terkait dengan neraca eksternal seperti neraca pembayaran berpotensi menyeret pelemahan nilai tukar rupiah yang tidak mungkin semakin dalam hingga menyentuh level Rp15.000/USD. Penurunan rupiah mengikuti pelemahan mata uang sejumlah negara berkembang di antaranya peso Argentina, rupee India bahkan hingga Lira Turki.(Baca Juga: Penyebab Rupiah Rontok ke Level Rp14.711/USD Versi Menko DarminMenanggapi hal ini, ekonom Indef Bhima Yudisthira mengatakan, bahwa rupiah bisa saja akan mencapai Rp15.000 terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Hal ini dikarenakan krisis mata uang juga terjadi pada sejumlah negara seperti Argentina yang tentunya bakal juga berdampak ke Tanah Air.

"Rupiah diprediksi masih melanjutkan pelemahan dikisaran Rp14.700-Rp14.950 hingga akhir September dan berpotensi menembus level psikologis Rp15.000. Faktornya dipicu krisis mata uang di Argentina dikhawatirkan berdampak sistemik pada Negara fragile five atau negara yang rentan terpapar guncangan global lainnya termasuk Indonesia," ujar Bhima saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Sabtu (1/8/2018).

Menurutnya, krisis Argentina ini memiliki kesamaan dengan Turki. Beberapa indikator kesehatan moneter dan fiskal Indonesia, Argentina dan Turki memiliki beberapa kesamaan meskipun kondisi Indonesia sedikit lebih baik.

"Misalnya soal CAD Indonesia 3%, semntara Turki 5,9% dan Argentina 4,7% tiga negara itu sama sama menderita defisit transaksi berjalan. Kemudian dari sisi defisit anggaran Indonesia ditargetkan 2,2% pada 2018 sedangkan Turki 2,8% dan Argentina 5,3%. Soal rasio utang Turki dan Argentina sdah diatas 50%. Indonesia dikisaran 30%," paparnya

Tapi yang perlu dicermati, menurutnya adalah rasio karena kepemilikan asing di surat utang Indonesia yang mencapai 40%. Pasalnya, di tengah naiknya suku bunga acuan Amerika Serikat alias Fed rate dan risiko global serta capital outflow bisa mengganggu kinerja ekonomi indonesia.

"Investor asing melihat kondisi ini akan lakukan flight to quality dengan membeli aset yang aman baik dollar, emas maupun yen. Kenaikan Fed rate sebesar dua kali pada September dan Desember turut memperparah aliran modal asing keluar dari negara berkembang," tandasnya.

Lantaran itu tugas pemerintah dan Bank Indonesia untuk menguatkan kembali lagi rupiah serta mengembalikan kepercayaan investor, karena pelemahan mata uang Garuda yang berkelanjutan bisa memberikan efek psikologi negatif. Bahkan efek buruknya bila tidak segera diantisipasi, bisa berdampak ke sektor rill hingga sektor finansial di dalam negeri.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5809 seconds (0.1#10.140)