Rupiah Tertekan Lawan USD, Krisis 1998 Diyakini Tak Terulang

Jum'at, 07 September 2018 - 22:05 WIB
Rupiah Tertekan Lawan USD, Krisis 1998 Diyakini Tak Terulang
Rupiah Tertekan Lawan USD, Krisis 1998 Diyakini Tak Terulang
A A A
JAKARTA - Tertekannya nilai tukar rupiah oleh dolar Amerika Serikat (USD) hingga mendekati level Rp15.000 diyakini bukan menjadi sinyal krisis ekonomi 1998 bakal kembali terulang. Penegasan itu disampaikan oleh Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Denni Puspa Purbasari

Keyakinan Indonesia tak akan terpuruk seperti tahun 1998 ini juga diamini oleh para pembicara lain yakni mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, politisi PDI Perjuangan Andreas Eddy Susetyo dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro.

“Semua pembicara sudah sama poinnya, bahwa kondisi sekarang berbeda dengan tahun 1998. Kita tidak akan seperti 1998. Tetapi memang kita semua harus melakukan penyesuaian dan pemerintah makin mawas diri. Pemerintah tidak pernah menganggap depresiasi rupiah tidak serius,” ujar Denni di Jakarta, Jumat (7/9/2018).

Terang Denni lebih lanjut bahwa, penjelasan dari pemerintah sudah cukup proporsional, dimana kondisi ekonomi pada saat ini lebih disebabkan karena faktor eksternal yaitu kebijakan Bank Sentral AS alias The Fed yang menaikkan tingkat suku bunga. Ditambah dengan kebijakan fiskal Presiden Donald Trump yang sangat ekspansif yang menyebabkan defisit fiskal AS melebar, yang ditutup dengan penerbitan surat utang dengan suku bunga yang lebih tinggi.

Akibat dari kebijakan moneter dan fiskal AS ini, modal mengalir dari emerging market termasuk Indonesia ke AS. Permintaan dolar pun naik, hingga membuat harga dolar terus menguat. Selain sentimen eksternal, menurut doktor ekonomi lulusan University of Colorado itu, Pemerintah telah menyampaikan masalah ekonomi domestik kita yakni defisit neraca transaksi berjalan sebagai penyebab melemahnya Rupiah terhadap dolar AS.

Namun terang Denni, kondisi tersebut bukanlah hal baru. Defisit neraca transaksi berjalan sudah terjadi sejak 2012, bahkan pernah mencapai lebih dari 4% di masa lalu. “Penyebab dari defisit ini adalah produktivitas kita yang rendah, yang menyebabkan kita tidak memiliki daya saing untuk mengekspor,” paparnya.

Kenapa kita bergantung pada Dolar AS, Denni menjelaskan bahwa dalam perdagangan global, mata uang Dolar AS sering berperan sebagai ‘vehicle currency’. “Itu adalah mata uang yang disepakati oleh penjual dan pembeli ketika melakukan perdagangan atau pembayaran internasional,” ungkapnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5534 seconds (0.1#10.140)