Jelang Sanksi Iran, Harga Minyak Brent Melayang Tinggi Dalam Empat Tahun

Senin, 01 Oktober 2018 - 12:06 WIB
Jelang Sanksi Iran, Harga Minyak Brent Melayang Tinggi Dalam Empat Tahun
Jelang Sanksi Iran, Harga Minyak Brent Melayang Tinggi Dalam Empat Tahun
A A A
SINGAPURA - Harga minyak mentah dibuka tegas pada perdagangan Senin (1/10/2018), dimana harga minyak mentah berjangka Brent International melayang tinggi dalam waktu hampir empat tahun menjelang sanksi Amerika Serikat terhadap Iran.

Melansir dari Reuters, harga minyak Brent diperdagangkan naik 31 sen atau 0,4% menjadi USD83,04 per barel pada pukul 00:57 GMT. Pada penutupan Jumat kemarin, Brent naik berada di USD83,07 per barel, tertinggi sejak November 2014.

Harga minyak berjangka Amerika Serikat, West Texas Intermediate (WTI) bertambah 23 sen atau 0,3% menjadi USD73,48 per barel. Kenaikan harga WTI disebabkan karena jumlah rig AS yang stagnan dan perlambatan produksi minyak mentah Negeri Paman Sam.

Kenaikan harga Brent terdorong sanksi AS terhadap Iran pada 4 November mendatang, dimana terjadi pembatasan ekspor minyak atas Negeri Mullah. China menyatakan mengabaikan sanksi AS. Namun, fakta di lapangan, perusahaan Sinopec China mulai mengurangi pembelian minyak mentah dari Iran pada September lalu, sebagai tanda bahwa tekanan dari Washington memiliki efek besar.

"Jika perusahaan China mematuhi sanksi AS, maka harga minyak bisa lebih tinggi dari yang diperkirakan," kata Edward Bell, analis komoditas minyak di Bank Emirat NDB.

Mengantisipasi kenaikan harga minyak, Presiden AS Donald Trump menghubungi Raja Salman dari Arab Saudi pada Sabtu akhir pekan lalu, membahas cara untuk menyeimbangkan pasokan begitu ekspor Iran terkena sanksi.

Kemungkinan besar OPEC dan Arab Saudi akan mematuhi keinginan Presiden Trump. Namun Kepala Perdagangan bursa berjangka untuk Asia Pasifik di Oanda Singapura, Stephen Innes menyatakan seberapa banyak OPEC untuk mendorong produksi dan seberapa banyak kapasitas cadangan yang dimiliki Kerajaan Saudi untuk menyeimbangkan pasokan.

"Sekitar 1,5 juta barel per hari minyak dari Iran akan offline pada 4 November. Maka Arab Saudi harus memproduksi 10,5 juta barel per hari untuk menyeimbangkan pasokan. Bila tidak harga minyak akan meroket lebih tinggi dengan harga USD100 per barel," kata Innes.

Dengan harga minyak yang melonjak, bisa menimbulkan efek inflasi pada pertumbuhan permintaan minyak, terutama di pasar negara berkembang. Dan ini akan semakin melemahkan mata uang mereka karena membuat biaya impor bahan bakar semakin tinggi.

Kenaikan harga minyak yang tinggi dan masih adanya sengketa perdagangan antara Amerika Serikat dan China bisa menganggu pertumbuhan ekonomi global di 2019. Dan hal ini sudah terbukti, dimana pertumbuhan sektor manufaktur China pada September lalu terganggu akibat melemahnya permintaan dari dalam dan luar negeri.

Di Jepang, kepercayaan bisnis di antara produsen besar memburuk, karena perusahaan terbebani oleh kenaikan harga bahan baku dan kondisi perdagangan global yang memburuk.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.0373 seconds (0.1#10.140)