Soal Kasus Pengembangan PLTP Dieng-Patuha, BUMN Harus Dilindungi

Kamis, 18 Oktober 2018 - 17:55 WIB
Soal Kasus Pengembangan PLTP Dieng-Patuha, BUMN Harus Dilindungi
Soal Kasus Pengembangan PLTP Dieng-Patuha, BUMN Harus Dilindungi
A A A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang dipimpin Florensasi Susana telah mengabulkan permintaan PT Bumigas Energi (Bumigas) agar Putusan Badan Arbitrase Indonesia (BANI) No.922/2017 tanggal 30 Mei 2018 dibatalkan. Putusan BANI tersebut adalah tentang perjanjian pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng dan Patuha tanggal 1 Februari 2005.

Keputusan PN Jaksel ini berpotensi merugikan BUMN Geo Dipa Energi (GDE) dan menghambat pengembangan PLTP untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Direktur Utama GDE Riki Ibrahim menyatakan, putusan PN Jakarta Selatan tersebut bertentangan dengan hukum dan fakta persidangan yang berlangsung sebelumnya.

"Setelah mengkaji secara seksama, IRESS menemukan bahwa kasus ini telah menjalani berbagai sidang yang panjang dan melelahkan di PN, MA dan BANI, di mana GDE sebelumnya telah ditetapkan sebagai pemenang. Karena itu, IRESS menuntut agar putusan PN Jaksel tersebut dibatalkan. BUMN yang menyelenggarakan usaha menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai konstitusi harus dilindungi dari berbagai upaya KKN," ujar Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara.

GDE didirikan pada 5 Juli 2002 sesuai Akta Notaris Haryanto SH, No.6/2002. Status GDE menjadi persero pada 29 Desember 2011 sesuai PP No.62/2011. Modal GDE semula berasal dari Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS), yang kemudian ditetapkan menjadi PMN (Penyertaan Modal Negara) sesuai PP No.1/2015 tanggal 5 Januari 2015, dengan nilai Rp 2.668.136.770.000.

Pada 12 Agustus 2015, sesuai PP No.63/2015, GDE mendapat tambahan PMN sebesar Rp607.307.000.000, sehingga sejak saat itu modal saham GDE adalah Rp3.275.443.770.000. Ditinjau dari sisi pemilikan saham, semula pada 2002 GDE dimiliki secara bersama oleh Pertamina (67%) dan PLN (33%). Namun pada 2011, 67% saham Pertamina di GDE diserahkan kepada Pemerintah RI.

Selanjutnya pada 2016, 26,33% saham PLN yang ada di GDE pun dialihkan pula kepada Pemerintah RI. Sehingga saat ini, pemegang saham GDE sebagai BUMN adalah Pemerintah RI (93,33%) dan PLN (6,67%). Karena 100% saham PLN adalah milik negara, maka pada hakikatnya GDE adalah BUMN yang 100% sahamnya milik negara.

"Setelah meninjau profil modal dan pemilikan saham GDE secara ringkas, maka wajar jika kita menuntut agar pengelolaan PLTP oleh GDE sesuai konstitusi, guna mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jika pengelolaan tersebut tidak optimal, dihambat oleh oknum-oknum pengusaha dan penguasa, melanggar kaidah-kaidah hukum dan bisnis yang berlaku, serta berpotensi merugikan negara, maka rakyat perlu melakukan perlawanan dan tuntutan hukum secara berkelanjutan," paparnya.

Kronologi Kasus 2005-2017


GDE berkontrak dengan Bumigas untuk mengembangkan PLTP Dieng (Jawa Tengah) dan Patuha (Jawa Barat) sesuai kontrak No. KTR.001/GDE/11/2005 pada 1 Februari 2005.Namun, karena Bumigas gagal melakukan kewajiban kontrak, maka pelaksanaan proyek Dieng & Patuha tersebut terbengkalai. Karena itu, GDE meminta pembatalan Perjanjian kepada BANI pada 26 November 2007. Permohonan GDE tersebut dikabulkan, BANI kemudian mengeluarkan putusan pembatalan kontrak.

Atas Putusan BANI di atas, Bumigas mengajukan permohonan (pertama) pembatalan Putusan BANI pada 12 September 2008. Namun upaya Bumigas tersebut ditolak MA berdasarkan Putusan Kasasi MA No.250K/PDT.SUS/2009 pada 30 Juni 2009 dan Putusan Peninjauan Kembali (PK) MA No.16PKIPDT.SUS/2010 pada 25 Mei 2010. Terhitung sejak dikeluarkannya putusan MA pada 25 Mei 2010tersebut dan bahkan sejak adanya Putusan BANItahun 2007, GDE tidak lagi mempunyai hubungan hukum dengan Bumigas karena pembatalan Perjanjian tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat.

Oleh karena itu, sesuai program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua, GDE melaksanakan sendiri pembangunan PLTP Patuha Unit 1 (1 x 55 MW) dengan dukunganpinjaman dana dari BNI. PLTP Patuha Unit 1 inimulai beroperasi secara komersial pada September 2014, setelah tersambung dengan Jaringan listri PLN Jawa, Madura dan Bali.

Namun, saat pembangunan PLTP Patuha tersebut dimulai pada 2012, Bumigas kembali mengajukan permohonan pembatalan (kedua)Putusan BANI. Saat itu MA mengeluarkan Putusan No.586K/PDT.SUS/2012 pada 24 Oktober 2012, yang pada pokoknya membatalkan Putusan BANI tahun 2007. GDE kemudian mengajukan upaya hukum PK atas Putusan Kasasi dan PK atas Putusan PK kepada MA, atas saran dan pendampingan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAMDATUN) Kejaksaan Agung RI.

Permohonan PK oleh GDE tersebut kemudian dinyatakan tidak dapat diterima (cq. Putusan MA No.143PKIPdt.Sus-Arbt/2013 tanggal 20 Februari 2014 jo. Putusan MA No.45 PK/ Pdt.Sus-Arbt/2015 tanggal 28 Mei 2015). Oleh karena itu Perjanjian antara GDE dengan Bumigas diasumsikan berlaku kembali. Karena kembali berlakunya perjanjian, maka Bumigas meminta agar dilakukan proses re-negosiasi terhadap syarat dan ketentuan di dalam Perjanjian.

Dalam proses re-negosiasi, Bumigas mengajukan permintaan ganti rugi berupa Right to Develop atas Proyek Dieng & Patuha (termasuk PLTP Patuha Unit 1 vanq telah beroperasi) dan Project Development dengan skema Build Operate Transfer (BOT). GDE menolak seluruh permintaan Bumigas karena permintaan tersebut tidak berdasar, sebab faktanya Bumigas gagal menjalankan kontrak. Jika permintaan ganti rugi dipenuhi, maka jelas negara akan dirugikan. PLTP Patuha Unit 1 merupakan barang milik negara yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan melalui PMN pada GDE!

Lebih lanjut, GDE bermaksud mengembangkan Proyek Dieng & Patuha menggunakan pinjaman pihak ketiga. Namun, dengan adanya pembatalan Putusan BANI, proses pemberian pinjaman tersebut tertunda,menunggu perkembangan proses hukum antaraGDE dan Bumigas. Bumigas bahkan mengarahkan sengketa menjadi tindak pidana (kriminalisasi) dengan membuat laporan kepada Polri dalamperiode 2012–2016. Bumigas menekan GDE untukmengabulkan permintaan ganti rugi.

Potensi kerugian negara jika GDE menyerahkan PLTP Patuha Unit 1 kepada Bumigas mencapai Rp 2,4triliun. Salah satu upaya kriminalisasi Bumigasterhadap GDE adalah terkait perizinan hak pengusahaan SDA panas bumi rezim lama yang dianggap tidak sah dan illegal. Padahal menurut aturan yang berlaku, ijin pengelolaan pengusahaan panas bumi rezim lama berupa kuasa pengusahaan jelas diakui oleh hukum Indonesia, seperti yang dijalankan oleh Pertamina Geothermal Energi (PGE) dalam mengelola 14 wilayah kerja PLTP.

Jika kriminalisasi tanpa dasar dibiarkan, dan dikuatkan pula oleh putusan pengadilan (MA), maka seluruh Dewan Direksi, Dewan Komisaris, serta pemegang saham GDE dan PGE pun dapat dilaporkan pidana oleh pihak lain yang bermaksud merebut dan mengambil wilayah pengusahaan panas bumi diluar ketentuan peraturan yang berlaku. Yang jauh lebih penting, hal ini tentu akan menjadi preseden buruk yang akan menghambat program penyediaan listrik di Indonesia.

Proyek Dieng & Patuha termasuk program penyediaan listrik 35.000 MW sesuai Perpres No.4/2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan dan Perpres No.14/2017 tentang Perubahan atas Perpres No.4/2016. Proyek Dieng dan Patuha telah ditetapkan sebagai obyek vital nasional. Namun dengan dibatalkannya Putusan BANI dan upaya kriminalisasi oleh Bumigas terhadap GDE, pelaksanaan pengembangan Proyek Dieng & Patuha telah terhambat.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5018 seconds (0.1#10.140)