Darmin Selesaikan Ratifikasi 7 Perjanjian Perdagangan Internasional

Kamis, 08 November 2018 - 00:16 WIB
Darmin Selesaikan Ratifikasi 7 Perjanjian Perdagangan Internasional
Darmin Selesaikan Ratifikasi 7 Perjanjian Perdagangan Internasional
A A A
JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk segera menyelesaikan proses ratifikasi 7 Perjanjian Perdagangan Internasional (PPI). Penetapan ratifikasi ini akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden, setelah sebelumnya ketujuh PPI ini secara bertahap telah disampaikan ke DPR, lebih dari 60 hari yang lalu.

Keputusan ini merujuk pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 Pasal 84 Ayat 4 yang mengatur tentang ratifikasi PPI, dimana apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR.

"Jadi kita putuskan dalam rakor ini untuk meratifikasi 7 PPI dengan mempertimbangkan UU Perdagangan tentang Pengaturan Ratifikasi PPI. Keputusan ini juga diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut. Saya akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draft Perpres yang sudah siap," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Rabu (7/11/2018).

Kata Darmin, ada beberapa potensi kerugian bila Indonesia tidak meratifikasi 7 PPI tersebut. Misalnya pada perjanjian AANZFTA, akan ada 2 kerugian yang bisa didapatkan seperti 11 parties akan menolak SKA (versi lama) sehingga produk Indonesia tidak dapat memanfaatkan preferensi tarif dalam AANZFTA.

"Soalnya sejak AANZFTA berlaku, Indonesia termasuk beneficiary utama. Ekspor ke Australia yang menggunakan fasilitas AANZFTA mencapai 73,6% atau senilai USD1,76 miliar dari total ekspor ke Australia senilai USD2,35 miliar pada 2017," katanya.

Sementara untuk perjanjian AMDD, jika Indonesia tidak meratifikasinya, maka produk ALKES Indonesia sulit dipasarkan di ASEAN dan dunia karena AMDD mengatur standar, aturan teknis dan prosedur kesesuaian penilaian yang mengharmonisasikan standar ALKES di ASEAN sesuai standar internasional.

Selain itu, Indonesia dapat dikatakan tidak mendukung INPRES No. 6 tahun 2016 tentang Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Potensi kehilangan pasar ekspor ke ASEAN senilai USD853 juta untuk tahun 2017.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4348 seconds (0.1#10.140)