Menakar Kemenangan dan Kekalahan Negara Asia di Tengah Perang Dagang

Kamis, 08 November 2018 - 16:01 WIB
Menakar Kemenangan dan Kekalahan Negara Asia di Tengah Perang Dagang
Menakar Kemenangan dan Kekalahan Negara Asia di Tengah Perang Dagang
A A A
NEW JERSEY - Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China masih meningkat, dan diperkirakan dampak jangka pendek dengan potensi meluas merambah ke negara-negara Asia. Tetapi pemain regional lainnya kemungkinan bisa mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang, menurut Nick Marro dari The Economist Intelligence Unit.

Marro yang merupakan seorang analis di firma riset mengatakan kepada CNBC, Kamis (9/11/2018) bahwa rantai pasokan di Asia sangat terintegrasi. "Sebagai akibat dari perang dagang, dalam jangka pendek, kami memperkirakan gangguan regional yang cukup luas," paparnya.

Lebih lanjut Ia mengidentifikasi tiga industri besar yang dianggap olehnya sebagai 'medan perang' dalam konflik perdagangan yakni teknologi, otomotif dan pertanian. Negara-negara seperti Vietnam, Malaysia dan Thailand diyakini bisa mendapatkan manfaat jangka panjang di beberapa sektor termasuk teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta otomotif.

Pemenang Industri Teknologi

Vietnam dan Malaysia dapat memperoleh efek positif yang terbesar dari eskalasi perdagangan terutama dalam produksi produk teknologi seperti komponen di antara barang-barang manufaktur untuk konsumen seperti telepon seluler dan laptop, menurut laporan oleh EIU.

Perusahaan-perusahaan elektronik besar memiliki operasi yang sudah ada di kedua negara, yang akan membuat pemindahan investasi dan produksi relatif lebih lancar, seperti disampaikan laporan tersebut. Terang Marro, yaitu sektor yang memegang peranan paling penting dalam perang perdagangan yakni teknologi dan diperkirakan akan meningkat.

"Sebagian besar tarif sudah dikenakan kepada komponen elektronik dan permesinan dan diprediksi tarif akan meningkat hingga akhirnya mencakup barang jadi seperti telepon seluler dan laptop. Serta mendorong diskusi seputar teknologi untuk semakin menjadi payung keamanan nasional," katanya.

Sektor teknologi memainkan peran penting dalam perang perdagangan karena komponen elektronik dan komponen terkait menjadi "kategori terbesar impor AS dari China" dan Washington ingin menghambat agenda pembangunan Made in China 2025 Beijing - sebuah prakarsa yang berfokus pada budidaya sektor teknologi tinggi.

Menurut Infotech, negara Asia yang mendapatkan keuntungan dari sektor teknologi atas perang dagang yakni Malaysia dan Vietnam. Sedangkan India, Indonesia serta Thailand kecipratan cukup besar. Sedangkan gangguan dialami Philipina, Jepang, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan.

Pemenang Industri Automotif

Tarif tinggi bea impor AS kepada suku cadang mobil China akan membawa penyesuaian dalam rantai pasokan dan investasi yang menguntungkan ke beberapa pemain regional seperti Thailand dan Malaysia. "AS merupakan konsumen suku cadang mobil terbesar di dunia dan telah mengenakan tarif pada suku cadang mobil yang pasti akan menekan produsen China," ujar Marro menjelaskan.

Hal ini akan menghasilkan "diversifikasi ulang investasi, penyesuaian rantai pasokan ke beberapa negara tetangga China," katanya. Selanjutnya, sambung Marro mengutarakan, Thailand akan mendapatkan keuntungan karena hubungannya yang terdiversifikasi dengan AS, Jepang dan bagian lain dari ASEAN.

Dengan demikian, produsen komponen lokal harus dapat memenangkan pangsa pasar dari pesaing China, menurut laporan EIU. Malaysia sendiri memiliki lebih dari 800 produsen komponen otomotif dan jaringan ekspor komponen otomotif yang beragam, yang akan menjadi keuntungan besar di sektor ini.

Di sisi lain negara seperti India, Indonesia, Philipina serta Vietnam mendapatkan sisa-sisa keuntungan dari dua negara di atas. Sementara gangguan masih akan membayangi Jepang, Singapura, Korea Selatan serta Taiwan.

Pecundang di Asia

Gangguan di Asia akibat perang perdagangan Amerika Serikat (AS) versus China tidak dapat dihindari. Negara-negara di kawasan itu yang sangat bergantung pada pengiriman ke China, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura yang cenderung "merasakan sedikit rasa sakit dalam jangka pendek.

"China adalah tujuan utama untuk barang-barang ICT menengah dan terakhir dari keempat negara, yang berarti bahwa perusahaan-perusahaan di sektor itu akan sangat terkena dampak tarif atas permintaan untuk produk-produk ini," menurut laporan tersebut.

Marro menambahkan, kondisi ini mungkin memiliki konsekuensi jangka panjang karena perusahaan dapat memutuskan untuk beralih ke posisi yang tidak bergantung pada CHina lagi. Namun, Taiwan dan Korea Selatan mungkin terdorong dari dampak karena negara-negara ini memiliki posisi aman dalam rantai pasokan karena mengkhususkan diri dalam peralatan presisi tinggi.

AS dan China saat ini terlibat dalam konflik perdagangan, dimana kedua negara saling menerapkan tarif bea impor tinggi dalam beberapa bulan terakhir. AS telah memberlakukan tarif tambahan pada impor China senilai USD250 miliar.

Bahkan Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan pungutan atas semua produk Negeri Tirai Bambu -julukan China- senilai USD500 miliar. Beijing juga telah membalas dengan tarif tambahan senilai USD110 miliar atas impor AS.

Pertemuan antara Trump dan mitranya Presiden China Xi Jinping pada KTT G-20 di Argentina bulan ini akan menjadi sangat penting, seperti disampaikan Penasihat Negara China Wang Yi pada hari ini. Namun para analis terbagi tentang apakah penangguhan kebijakan dapat diharapkan dari ketegangan yang meningkat antara dua negara adidaya ekonomi dunia tersebut.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4371 seconds (0.1#10.140)