Waspadai Pinjaman Online Ilegal

Kamis, 13 Desember 2018 - 08:34 WIB
Waspadai Pinjaman Online Ilegal
Waspadai Pinjaman Online Ilegal
A A A
JAKARTA - Mudahnya akses pembiayaan melalui teknologi finansial (financial technology/fintech) harus diiikuti kewaspadaan yang tinggi dari masyarakat. Hal ini seiring dengan masih banyaknya kegiatan peer to peer lending (P2P) atau pinjaman langsung kepada individu yang ilegal dan tidak berizin.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga saat ini terdapat 404 lembaga fintech P2P termasuk ilegal dan tak berizin beredar di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat dibanding laporan OJK pada Juli lalu di mana 227 perusahaan fintech tercatat ilegal.

Terus bertambahnya jumlah layanan fintech yang tidak resmi jelas-jelas merugikan masyarakat. Kemudahan yang ditawarkan dalam mengakses pembiayaan mendorong masyarakat memanfaatkan pinjaman online meski bunga yang ditawarkan jauh di atas lembaga keuangan konvensional seperti perbankan.

Kondisi inilah yang membuat banyak nasabah terjebak karena harus mengembalikan dana pinjaman plus bunga selangit. Hal ini diakui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang menyebutkan ada sekitar 200-an aduan per 16 November lalu. Jumlah itu meningkat dua kali lipat dibading sebulan sebelumnya.

Menurut YLKI, materi aduan yang disampaikan konsumen berupa adanya teror dari operator layanan fintech karena pembayaran yang telat, denda harian, hingga bunga pinjaman yang sangat tinggi bisa mencapai 20%.

Melihat kondisi tersebut, Satgas Waspada Investasi OJK meminta agar masyarakat yang meminjam dana perusahaan fintech agar mampu mengelola utang dengan baik agar bisa mengembalikan pinjaman tepat waktu.

"Kelola utang dengan baik dan pinjam sesuai kemampuan bayar," kata Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing di Jakarta, kemarin.

Tongam mengatakan, saat ini banyak masyarakat yang terjerat oleh pinjaman yang diberikan oleh fintech ilegal dan terjerat dengan penghitungan bunga yang tinggi. Dia menyarankan agar masyarakat tidak tergoda untuk mengajukan pembiayaan dengan iming-iming kemudahan pencairan terutama dari fintech yang tidak mempunyai izin dari OJK.

"Kebanyakan masyarakat meminjam untuk hal-hal tidak produktif dan meminjam untuk hal yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan," ujar Tonggam. Dia menyarankan agar masyarakat mengajukan pinjaman ke fintech legal yang terdaftar di OJK.

OJK, menurut dia, juga terus mendorong edukasi kepada masyarakat agar mampu memahami risiko, kewajiban dan biaya saat berinteraksi dengan fintech pembiayaan, agar terhindar dari hal-hal merugikan.

Tonggam mengakui, OJK kesulitan untuk menghilangkan tautan aplikasi layanan fintech ilegal di telepon pintar (smartphone). Bahkan, kata dia, pihak Google pun mengalami kesulitan untuk menghilangkan nama-nama fintech ilegal tersebut dari daftar pencarian.

"Kami sudah diskusi dengan Google. Bahwa sebenarnya yang kami cegah bagaimana aplikasi itu tidak muncul di Playstore. Tapi mereka katakan sulit. Karena ini open source," kata Tonggam.

Menurutnya, para pengelola fintech ilegal masih bisa secara leluasa menawarkan jasanya melalui flatform lain seperti lembaga edukasi ataupun kegiatan pengumpulan amal (charity). Oleh sebab itu, Tonggam meminta masyarakat juga harus waspada terkait hal tersebut.

"Bisa saja mereka katakan bukan fintech. Bisa saja edukasi, kegiatan amal ini yang jadikan banyak aplikasi yang muncul. Jadi sulit bagi kami mengatasi dari penawaran," imbuh dia.

Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyatakan, dalam Peraturan OJK No 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi telah jelas disebutkan bahwa fintech harus mendaftarkan dirinya ke OJK sebelum melakukan kegiatan pinjam meminjam. Jika tidak, mereka akan dikategorikan sebagai fintech ilegal dan melanggar Undang-undang (UU).

"Kalau Anda beroperasi tanpa patuh POJK 77/2016 maka perjanjian yang sudah ada jelas melanggar UU dan batal demi hukum. Jadi siapapun yang memakai fintech ilegal, maka perjanjiannya batal demi hukum," tandasnya.

Bagi fintech ilegal, OJK sebenarnya sudah menyiapkan sanksi antara lain berupa peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha sampai dengan pencabutan tanda daftar atau izin.

Berdasarkan data OJK, hingga saat ini jumlah penyelenggara jasa berbasis pembiayaan yang terdaftar maupun mempunyai izin tercatat baru 78 perusahaan dengan nilai penyaluran mencapai Rp15,99 triliun.

Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan, OJK telah menghentikan kegiatan 404 Fintech P2P ilegal tersebut. Pihaknya juga telah mengumumkan kepada masyarakat nama-nama fintech tersebut.

"Kita memutus akses keuangan P2P ilegal pada perbankan dan fintech payment system bekerjasama dengan BI," katanya.

Tak hanya itu, OJK juga telah mengajukan blokir website dan aplikasi secara rutin kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain itu, otoritas telah menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri untuk proses penegakan hukum.

Ketua Bidang Cash Loan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Sunu Widiatmoko menyatakan, pertumbuhan pelaku industri fintech memang cukup pesat. Menurutnya, ada lebih dari 400 perusahaan berbasis fintech yang hadir di Indonesia di mana sebagian besar menawarkan solusi P2P atau pinjaman online.

“Kelebihan utama dari P2P lending ini adalah kemudahan dalam bertransaksi dan tidak melewatkan prosedur seperti halnya pengajuan perbankan,” urainya.

Untuk itu, kata Sunu, dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar bisa memanfaatkan potensi yang besar ini. menurutnya, Aftech dan OJK telah mengajukan usulan penyamaan data kependudukan kepada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri RI (Ditjen Dukcapil Kemendagri).

“Dari pihak regulator kita minta akses ke Dukcapil, karena saat ini kita tidak ada penyamaan e-KTP, selain itu juga ada penyamaan sistem, jika nasabah gagal bayar di fintech seharusnya mereka tidak bisa mendapatkan pinjaman dari bank lain,” terangnya.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, masyarakat harus jeli dan melakukan pengecekan lebih dulu apabila ingin mengajukan pinjaman melalui fintech. Pemeriksaan dimaksud terutama terkait status pendaftaran perusahaan tersebut di OJK.

“Kebiasaan masyarakat kita memang mudah tergiur untung cepat. Ini masalahnya,” ujar Berly.

Sementara itu, pengamat teknologi informasi Heru Sutadi mengatakan, maraknya praktik ilegal dalam fintech menujukkan edukasi masyarakat dalam penggunaan teknologi keuangan masih rendah. Dia menilai saat ini masyarakat lebih banyak belajar sendiri untuk mengetahui keberadaan layanan pinjaman berbasis online tersebut.

“Keuangan inklusif masih sekadar retorika karena edukasi dan pemberdayaan masyarakat masih kurang. Jadi banyak yang jadi korban,” ujar Heru.

Dia berpendapat, harus ada otoritas yang terpadu satu pintu dalam pengawasan fintech yang melibatkan Bank Indonesia (BI) dan OJK. “Dan harusnya izin bisa diurus sekaligus untuk misal pembayaran/payment dengan P2P lending misalnya,” ujarnya.

Fintech Syariah
Pada kesempatan berbeda, Bank Indonesia (BI) menyatakan pemanfaatan fintech dapat meningkatkan pasar keuangan dai dalam negeri termasuk di sektor keuangan syariah. Untuk itu, BI mendorong agar fintech syariah dapat ditingkatkan perannya sehingga menambah daya saing negara.

“Jika dilihat dari sisi keuangan sosial syariah, pemanfaatan teknologi digital dapat menghasilkan pengumpulan maupun penyaluran dana sosial syariah yang lebih cepat dan efisien dengan jangkauan yang lebih luas,” ujar Deputi Gubernur BI Sugeng di Surabaya kemarin.

Dia menambahkan, cakupan implementasi fintech syariah ini tidak hanya membuka peluang keuangan inklusif, namun juga membuka berbagai peluang usaha syariah lainnya untuk ikut berkembang.

"Saat ini beberapa lembaga amil zakat di Indonesia telah menawarkan layanan digital untuk pembayaran zakat serta penyaluran sadaqah dan infaq. Bahkan pemanfaatan teknologi blockchain dapat sangat meningkatkan efisiensi dan transparansi pengelolaan dana sosial syariah ini," kata Sugeng.

Dia menambahkan, perubahan yang terjadi akibat perkembangan teknologi telah berjalan di seluruh sektor. Dari sisi sektor riil, sistem produksi dan rantai pasok di sektor industri halal telah mengalami perubahan cukup signifikan, antara lain pada tingkat efisiensi proses dengan adanya penerapan teknologi digital. (Kunthi Fahmar Sandy/Heru Febrianto/Hafid Fuad/Sindonews/Ant)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3955 seconds (0.1#10.140)