Pemerintah Targetkan Investasi Bali Baru Sebesar USD10,1 Miliar

Selasa, 08 Januari 2019 - 05:23 WIB
Pemerintah Targetkan Investasi Bali Baru Sebesar USD10,1 Miliar
Pemerintah Targetkan Investasi Bali Baru Sebesar USD10,1 Miliar
A A A
JAKARTA - Kementerian Pariwisata optimistis dapat menghimpun pendanaan untuk membangun 10 Bali Baru dengan nilai USD10,1 miliar di tahun 2019. Sumber pendanaan ditargetkan akan beragam dengan berbagai skema investasi seperti penanaman modal asing (PMA), penanaman modal dalam negeri (PMDN), dan juga kerjasama antara pemerintah dan badan usaha (KPBU).

Dana tersebut tidak hanya akan digunakan untuk menggenjot pembangunan amenitas atau fasilitas penunjang pariwisata, namun juga untuk membangun infrastruktur menuju destinasi wisata.

Pemerintah menetapkan 10 destinasi "Bali Baru" yaitu Danau Toba di Sumatra Utara, Tanjung Kelayang di Kepulauan Bangka Belitung, Tanjung Lesung di Banten, Kepulauan Seribu di Jakarta, Borobudur di Jawa Tengah, Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, dan Morotai di Maluku Utara.

Ketua Tim Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Prioritas, Hiramsyah Sambudhy Thaib, mengatakan perkembangan pembangunan 10 Bali Baru di atas ekspektasi atau mencapai 110% dari rencana awal. Dalam hal investasi, menurutnya, kawasan pariwisata Mandalika sudah berhasil mendapatkan investasi sebesar USD2 miliar dari berbagai investor.

Sementara destinasi kawasan Danau Toba telah mendapatkan investasi lebih dari Rp6 triliun dari investor lokal. "Berikutnya yang kita kejar investasi untuk destinasi Borobudur, Labuan Bajo, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, dan Morotai. Sejauh ini perkembangannya memuaskan di atas ekspektasi awal kita," ujar Hiramsyah saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/1/2019).

Dia juga mengatakan pihaknya sedang menunggu status destinasi prioritas untuk ditingkatkan, seperti destinasi Bromo Tengger Semeru, Labuan Bajo, dan Wakatobi. Tiga kawasan tersebut sedang menanti keluarnya Perpres sehingga resmi menjadi Badan Otorita Pariwisata (BOP). Kawasan lainnya sudah memiliki status yang terbagi empat kawasan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sementara tiga kawasan telah resmi menjadi sebagai BOP.

Menurutnya, isu utama yang mendesak adalah pembangunan infrastruktur. Ditargetkan sebagian besar pada 2019 akan selesai. Seperti bandara Kulonprogo Yogyakarta diharapkan bulan April 2019 tahap pertamanya dapat beroperasi. Ini akan membuat lompatan kunjungan wisatawan mancanegara yang juga turut berdampak pada minat investasi.

Sedangkan di kawasan Danau Toba, selain bandara yang sudah beroperasi tapi juga ada jalan tol pada 2019 untuk akses jalan darat dari Kualanamu, Kuala Tanjung, atau Medan. "Dengan akses darat kapal pesiar juga tentu akan berminat merapat untuk melakukan tur 3-4 hari ke Danau Toba. Dalam atraksi kita kaya akan budaya dan alam. Namun selama ini masalahnya pada akses sehingga kini kita perkuat destinasi dan manajemen tunggal," ujar mantan CEO PT Bakrieland Development itu.

CEO Pembiayaan Investasi Anggaran Non Pemerintah (PINA), Eko Putro Adijayanto, mengatakan pihaknya siap mendukung proyek 10 Bali Baru melalui skema PINA yaitu pembiayaan investasi non Anggaran pemerintah. Menurutnya, tantangan utama ialah saat ini seluruh masterplan dan financial feasibility studies dari 10 Bali Baru, kecuali Mandalika yang dikelola ITDC, masih dalam proses penyusunan.

"Sedangkan masterplan dan financial feasibility study adalah syarat utama kami dapat memasarkan 10 Bali Baru ini untuk investor, baik dalam dan luar negeri. Tentunya sulit juga untuk kita berjualan. Namun kami terus berupaya menemukan solusinya," ujar Eko, Senin (7/1/2019).

Upaya proaktif yang dilakukan PINA untuk mendorong penyusunannya yaitu dengan melakukan penjajakan dengan sejumlah investor dari berbagai negara untuk melakukan penyusunan master plan dan feasibility study sekaligus menjadi investor.

"Tahun 2019 ini, kami menjajaki serius beberapa investor dari Australia, Singapura, Jepang, dan China untuk menyusun masterplan dan feasibility study sekaligus menjadi investor," ujarnya.

Hal lain yang penting selain kelayakan finansial adalah rencana terintegrasi membangun Bali Baru yang tidak sekadar menjadi target wisatawan, tetapi harus dilengkapi infrastruktur yang memadai. Hal ini seperti pembangunan sarana pendidikan vokasi yang mendukung suplai SDM untuk kegiatan ekonomi pariwisata.

Selain itu, juga aspek sosial budaya serta lingkungan hidup yang tidak boleh diabaikan. "Karena PINA adalah bagian dari Bappenas, maka konsep wilayah pariwisata yang terintegrasi harus direncanakan secara komprehensif," terangnya.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), Azril Azahari, mengingatkan sejak tahun 2010, tren pariwisata dunia telah bergeser dari pariwisata berbasis kuantitas menjadi pariwisata berbasis kualitas. Sebelumnya wisatawan ingin menikmati kekayaan alam (Sun-Sand-Sea), saat ini, wisatawan ingin mendapatkan ketenangan melalui pengalaman terbaiknya yang belum pernah dialami di daerah asalnya. Serta ingin berperan aktif dalam aktivitas pariwisata (Serenity-Spirituality-Sustainability).

Dia mengkritisi pemerintah yang ingin meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia di tahun ini sebanyak 20 juta turis. Target wisman tersebut dari pemerintah tidak memperhitungkan kecenderungan pertumbuhan pariwisata selama ini yang hanya mampu mencapai 9% (2001-2014).

"Pemerintah juga keliru ingin meningkatkan jumlah wisman. Seharusnya fokus pada durasi mereka tinggal di Indonesia dan uang yang dibelanjakannya," ujar Azril.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Astindo (Asosiasi Travel Agent Indonesia), Rudiana, mengeluhkan upaya pemerintah yang dinilai kurang mengintensifkan event di 10 Bali Baru. Pemerintah masih tetap berorientasi ke Bali dengan menyelenggarakan acara IMF WB di Bali beberapa waktu lalu.

"Kalau serius membangun Bali Baru seharusnya lebih banyak agenda di luar Bali. Sekarang rasanya pemerintah masih bergantung pada Bali," ujar Rudiana.

Dia juga mengatakan industri maskapai penerbangan domestik harus mendukung pariwisata domestik dengan harga yang kompetitif. Faktanya maskapai seperti Garuda Indonesia telah menghapuskan harga kelas murah dan Lion Air membebani biaya bagasi penumpang. Menurut dia, saat ini persaingan pariwisata Indonesia terus mendapatkan disrupsi dari destinasi asing seperti Jepang. Bahkan penerbangannya juga menawarkan harga tidak jauh berbeda dengan tujuan seperti Manado atau Jayapura.

Sementara pengalaman yang dijanjikan tentu lebih menarik apabila bersaing head to head atau diadu langsung. "Mungkin untuk tujuan dinas mereka akan ke daerah timur Indonesia. Namun untuk berwisata maka tentu akan dibandingkan harga dan pengalaman apa yang didapat. Sedangkan saat ini, daya beli masyarakat juga sedang lemah ditambah masyarakat masih trauma dengan berbagai bencana di tanah air," ujarnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7802 seconds (0.1#10.140)