Menakar Realitiskah Janji Prabowo Naikkan Rasio Pajak 16%

Jum'at, 18 Januari 2019 - 13:46 WIB
Menakar Realitiskah Janji Prabowo Naikkan Rasio Pajak 16%
Menakar Realitiskah Janji Prabowo Naikkan Rasio Pajak 16%
A A A
JAKARTA - Calon Presiden RI Nomor Urut 2 Prabowo Subianto dalam Debat Perdana Pilpres 2019 berjanji untuk menaikkan rasio pajak (tax ratio) hingga ke level 16%. Hal ini dilakukan untuk menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan aparat hukum yang dianggapnya masih rendah saat ini.

Pada 2017, tax ratio Indonesia baru di level 8,47% jika diukur hanya untuk penerimaan pajak saja. Sementara apabila digabung dengan penerimaan bea cukai serta PNBP sumber daya alam (SDA) maka tax ratio Indonesia baru sekitar 10,58%. Lantas, realistiskah janji pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno untuk menaikkan tax ratio hingga ke level 16%?

Direktur Eksekutif Center Indonesia for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, menaikkan tax ratio menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebab untuk dapat mencapai tujuan pembangunan yang optimal, setidaknya dibutuhkan level tax ratio 16%.

"Maka angka itu benar belaka. Kalau dicek di Visi Misi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta tahun 2014, mereka juga mengusulkan angka ini. Jadi saat ini baik pasangan Jokowi-Makruf Amin maupun Prabowo-Sandiaga Uno sudah selayaknya memberi perhatian pada perbaikan sistem perpajakan agar kita mampu mencapai level optimal untuk pembangunan," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews di Jakarta, Jumat (18/1/2019).
(Baca Juga: Prabowo Ingin Tax Ratio 16%, Pengamat: Bisa Ganggu Iklim InvestasiNamun, sambung pria yang akrab disapa Pras ini, yang perlu dicermati adalah pasangan Prabowo-Sandi menjadikan kenaikan tax ratio sebagai solusi jangka pendek. Karena akan digunakan untuk mengatasi akar permasalahan korupsi, yakni gaji PNS dan aparat penegak hukum yang dianggap masih rendah.

"Logika sederhana, pemerintah ingin menarik pajak lebih besar dari rakyat, untuk membiayai para aparatur negara yang tugasnya melayani kepentingan rakyat. Lalu kita bergumam, mahal benar ya mengongkosi pelayan," tuturnya.

Pras menjelaskan, Tax Ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto. Nisbah ini yang sering dipakai untuk mengukur kinerja pemungutan pajak. Meski demikian, tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak lantaran ada beberapa faktor dan kondisi yang perlu diperiksa dan dibandingkan.

"Misalnya, besaran insentif pajak, besarnya sektor informal (underground economy), insentif untuk menghindari pajak, kehandalan sistem, tingkat kepatuhan pajak," terangnya.

Untuk diketahui, tax ratio kita berturut-turut 14,6% (2012), 14,3% (2013), 13,7% (2014), 11,6% (2015), dan 10,8% (2016), 10,7% (2017), dan 11,5% (2018). Sementara pendapatan negara (pajak, bea cukai dan PNBP) Indonesia tahun 2014 sebesar Rp1.386 triliun, lalu Rp1.341 triliun di 2015, Rp 1.349 triliun di 2016, Rp 1.439 T di 2017, dan Rp 1.664 triliun di 2018.

"Pendapatan negara 2018 terhadap 2014 naik Rp278 Triliun atau 20%. Itu sudah kemampuan optimal kita selama empat tahun, di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi, pemberian amnesti pajak, moderasi strategi pemungutan, dan pemberian insentif," jelas dia.

Padahal, tambahnya, pemerintah telah memberikan tax expenditure atau belanja pajak sebagai insentif sebesar Rp 154 triliun di 2017. Pada level ini saja masih timbul problem di lapangan karena pelaku usaha kadang mengeluh tentang beban pajak. Lalu jika tax ratio kita 16%, maka PDB harus naik 4,5% dari tax ratio 2018 yang sebesar 11,5%. Berarti sekitar Rp663 triliun atau 48% dari pendapatan engara 2014.

"Mungkinkah dalam jangka pendek menarik pajak yang nilainya dua kali lipat kenaikan 2015-2018 yang sebesar 20%, tanpa menimbulkan kegaduhan dan menggencet pelaku usaha?," tandasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7752 seconds (0.1#10.140)