Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta: Bahaslah Utang dengan Jernih

Kamis, 24 Januari 2019 - 09:27 WIB
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta: Bahaslah Utang dengan Jernih
Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta: Bahaslah Utang dengan Jernih
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengingatkan agar kritik terhadap pemerintah, terutama soal utang sebaiknya jangan sepotong-sepotong. Jangan sampai, masyarakat menerima komentar yang sepenggal sehingga mengakibatkan salah paham.

Komentar sepenggal itu, Arif menjelaskan, melihat utang hanya besarannya saja. “Tapi pada saat bersamaan tidak melihat kondisi keuangan negara, apalagi mengukur keberhasilan dari pemanfaatan dana pinjaman tersebut,” ujarnya di Jakarta.

Saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pertama memimpin pada 2014, Arif mengingatkan, kantong pemerintah dalam kondisi defisit. Saat itu defisit keseimbangan primer mencapai Rp93 triliun.

Ini artinya, pemerintah harus mencari penambal agar kegiatan pembangunan tidak terhenti. Dengan demikian, menutup warisan anggaran yang bolong itu menjadi suatu keharusan. “Pemerintah sekarang terus memperbaiki kondisi anggaran agar kondisi fiskal lebih sehat,” tegasnya.

“Kalau melihat perkembangannya kan pemerintah berhasil.” Seperti diumumkan Kementerian Keuangan, defisit keseimbangan primer – selisih antara penerimaan dikurangi belanja negara tanpa memasukkan beban pembayaran bunga utang – hanya tersisa Rp1,8 triliun atau rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,01%.

Sementara pada 2014 rasionya masih sebesar 0,88%. “Angka defisit ini merupakan yang terendah sejak 2012. Pencapaian harus diapresiasi, karena membuat fundamental APBN kita kuat,” paparnya.

Selain itu, utang pemerintah dicatatkan dalam pos pembiayaan untuk menutup defisit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang disusun menjadi undang-undang. Dengan kata lain, utang pemerintah sebenarnya merupakan konsensus nasional.

Sejauh ini, pengelolaan utang sudah dijalankan dengan sangat baik. Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, rasio utang terhadap PDB masih di bawah 30%, bahkan jauh dari bawah batas yang ditetapkan undang-undang yang sebesar 60% PDB. Dibandingkan negara lain pun rasio utang Indonesia masih sangat aman. Sebab rasio utang Filipina terhadap PDB mencapai 37,8%, Thailand (41,9%), Malaysia (543,2%), dan India (70,2%).

Apalagi, selama ini APBN dimanfaatkan juga untuk pengembangan sumber daya manusia yang antara lain tercermin dari belanja pendidikan terus mengalami kenaikan. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sudah mencapai Rp492,5 triliun, naik 11,3% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sedangkan dana transfer ke daerah juga terus melaju. Dari Rp623,1 triliun pada 2015 menjadi Rp826,8 triliun di APBN 2019 dengan dana desa Rp70 triliun. “Begitu pun dengan belanja infrastruktur yang terus meningkat. Jadi yang harus dilihat pemanfaatannya,” ungkap Arif.

Dia menegaskan bahwa langka pemerintahan Presiden Jokowi sudah tepat dengan memanfaatkan APBN untuk membangun fundamental bangsa ke depan, seperti pengembangan infrastruktur dan sumber daya manusia. Kebijakan ini memperlihatkan sikapnya sebagai negarawan, bukan sekadar mencari popularitas.

Hasilnya pun sudah terasa. Berdasarkan data Potensi Desa (Podes) 2018 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), indeks pembangunan desa terus membaik. Jika pada 2014 jumlah desa tertinggal masih 19.750 desa atau 26,81 persen dari total desa, pada 2018 tersisa 13.232 atau 17,96%. Sedangkan desa mandiri meningkat dari 2.894 desa menjadi 5.559.

Bahkan persentase penduduk miskin yang tersisa 9,66 persen, merupakan angka terendah sepanjang negeri ini merdeka. “Jadi melihatnya jangan sepenggal-sepenggal, kecuali berniat cari sensasi. Bahas utang ya harus jernih,” ungkap Arif.

Begitu juga, lanjutnya dengan kebijakan impor jagung kering untuk pakan ternak. Kebijakan itu diambil demi menjaga stabilitas harga agar tidak sampai melonjak yang imbasnya ke harga-harga lain.

Jangan lupa, Arif menambahkan, kenaikan harga pakan ternak dapat mengakibatkan kenaikan harga telur, yang pada akhirnya dapat mendongkrak inflasi lantaran kontribusinya cukup besar dibandingkan komoditas lain. Jadi pemikiran pemerintah dalam membuat kebijakan sudah komprehensif. “Kalau ditanggapi secara parsial oleh pengamat, masyarakat bisa salah paham,” tandasnya, sambil melanjutkan “lain halnya kalau pengamatnya mau cari sensasi.”
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7491 seconds (0.1#10.140)