Pemimpin Perempuan Harus Tegar di Segala Kondisi

Kamis, 31 Januari 2019 - 12:24 WIB
Pemimpin Perempuan Harus Tegar di Segala Kondisi
Pemimpin Perempuan Harus Tegar di Segala Kondisi
A A A
Tak semua perempuan bisa tegar menghadapi musibah. Ketegaran itulah yang ditunjukkan Ira Puspadewi, Direktur Utama PT ASDP (Persero), dalam memimpin pegawai dan berkoordinasi melayani masyarakat kala bencana tsunami melanda Lampung dan Pesisir Banten belum lama ini.

Ira juga mengaku harus kuat setiap saat, bahkan ketika menghadapi tragedi Bom Sarinah saat memimpin BUMN Sarinah pada 2016 silam. Kepada KORAN SINDO, Ira menceritakan perjalanan kariernya hingga menduduki jabatan tertinggi di perusahaan BUMN yang fokus pada urusan menyeberangkan penumpang dan kendaraan di Indonesia.

Berikut petikan wawancaranya:

Bisa diceritakan karier Anda sebelum menempati posisi top manajemen di perusahaan BUMN?
Saya bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional asing, tepatnya di GAP Inc. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan terkemuka dan terbesar di Amerika yang bergerak di sektor industri pakaian. Saya berada di perusahaan ini selama 17 tahun sebagai direktur yang membawahi tujuh negara di wilayah Asia.

Bagaimana awal cerita bergabung dengan BUMN?
Waktu itu, dalam suatu acara, saya ketemu Pak Dahlan Iskan, Menteri BUMN saat itu. Saya ditanya, sudah berapa lama kerja di perusahaan Amerika, lalu saya jawab sudah 17 tahun. Kemudian beliau bertanya, sampai kapan mau mengabdi sama orang Amerika.

Bagi saya itu pertanyaan berat. Saya lama berpikir hingga akhirnya mengambil keputusan. Lalu saya jawab, dengan ikut tes, melalui fit and profit test. Hingga akhirnya saya gabung dengan BUMN pada Juli 2014.

Bagaimana rasanya waktu ikut tes dan penempatan pertamanya di BUMN mana?
Ada tes-tes yang harus saya lewati. Ada psikotes, kemudian wawancara. Agak ribet,layaknya tes masuk perguruan tinggi. Kemudian enam bulan lebih, sejak ngobrol itu, saya masuk di Sarinah, ritel BUMN. Itu tahun 2014, saya jadi direktur utama Sarinah.

Apa perbedaan yang Anda rasakan setelah pindah dari perusahaan asing ke BUMN?
Rasanya sangat berbeda. Berat, karena budaya dan cara kerjanya berbeda. Yang paling terasa kalau di perusahaan multinasional itu saya bisa gerak lebih cepat karena aturannya terkondisikan dengan baik. Kalau di BUMN banyak sekali aturan harus diikuti dan itu sangat panjang. Sementara kita harus menjadi perusahaan yang setidaknya harus selalu lebih baik. Nah,mengombinasikannya itu yang cukup menantang bagi saya.

Kabarnya waktu awal di Sarinah, Anda sempat sakit. Bagaimana ceritanya?
Kalau tidak salah di Sarinah baru sekitar dua mingguan, saya sempat kena diare. Penyebabnya entahlah, stres barangkali. He-he-he. Dua minggu pertama itu memang pengalaman luar biasa. Meski begitu, pada akhirnya saya belajar banyak. Itu yang saya syukuri.

Kalau Anda menjadi seorang direktur di perusahaan multinasional, seperti saya, sampai sekarang mungkin belum ada lagi direktur Indonesia yang membawahi wilayah regional tujuh negara. Sayang sebenarnya ketika kemudian harus dilepas. Tapi, saya harus belajar, termasuk menghadapi sesuatu yang lebih kompleks.

Butuh waktu berapa lama sebelum akhirnya bisa adaptasi dengan baik?
Manakala kita datang di suatu tempat, apapun industrinya, kita sebagai orang yang duduk di posisi top management harus dengan segera mendiagnosis apa yang paling penting dan mendesak untuk dilakukan, dengan melihat dampaknya ke depan.

Meskipun kita sudah punya visi ke depan seperti apa dan bagaimana. Di Sarinah, saya lihat fundamentalnya untuk segera dibenahi, salah satunya banyak sekali aset Sarinah tidak bersertifikat. Paling krusial adalah Gedung Sarinah Thamrin (Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat).

Lahan mana di Indonesia yang lebih mahal dari lokasi Thamrin-Sudirman seperti Sarinah? Tapi, itu belum bersertifikat. Bayangkan. Itu yang pertama dan fundamental saya benahi, membuatkan sertifikat seluas 1,7 hektare waktu itu dengan lahan dan aset senilai Rp1,3 triliun. Itu barangkali salah satu hal besar yang saya lakukan di Sarinah.

Di Sarinah Anda mem bawahi berapa karyawan?
Waktu itu sekitar 600 orang karyawan ditambah tenaga alih daya, jadi mungkin sekitar 1000-1200 orang. Setelah dua tahun di Sarinah, saya lalu ke PT Pos Indonesia. Di sana saya menjadi Direktur SDM dan Jaringan Ritel selama 1,4 tahun.

PT Pos Indonesia tantangan yang Anda alami seperti apa?
PT Pos Indonesia itu jumlah karyawannya saja hampir mencapai 30.000 orang, itu lebih kompleks lagi. Namun, hal konkret yang saya lakukan adalah bagaimana mentransformasi sumber daya manusia dari tradisi moda paket surat menjadi serba digital. Tantangan itu masih jalan sampai sekarang di PT Pos Indonesia.

Sekarang Anda sudah di PT ASDP, apa perbedaan dan tantangannya?
Saya kurang lebih sudah setahun di ASDP. Banyak juga yang bertanya, bagaimana rasanya pindah dari usaha PT Pos ke PT ASDP yang lebih mengutamakan layanan. Ya,banyak yang melihat kontras, saya yang dari ritel ke PT Pos kemudian ke perusahaan transportasi, bagaimana jadinya? Saya sendiri melihatnya sederhana saja dan menarik.

Ritel itu salah satu hal paling kritis adalah melayani banyak toko atau tenant distributor kami dulu itu ada sekitar 3000 toko. Distribution channel menjadi penting. Jadi, saya masih melihat ada benang merahnya terutama terkait persoalan logistik.

Perubahan apa yang Anda terapkan di PT ASDP Indonesia?
Sejak awal gabung di ASDP, saya sudah bertekad mau berbenah. Tidak hanya memindahkan orang dari satu titik ke titik yang lain, tapi tantangannya bagaimana memindahkan orang dengan pengalaman menyenangkan. Kalau di ritel itu sangat fokus kepada pelanggan.

Ketika ASDP kemarin berusia 45 tahun dan kinerja operasinya bagus dalam hal menyeberangkan orang. Nah,yang kita pikirkan sekarang adalah leisure atau rasanya, atau bagaimana pengalaman konsumen itu kita desain seberkesan mungkin. Saya kira, saya punya pengalaman dengan ilmu customer focus sewaktu masih bekerja di perusahaan multinasional asing.

Apa yang membuat Anda optimistis pembenahan itu bisa berjalan?
Berdasarkan studi pembangunan di manamana, saya percaya bahwa pembangunan infrastruktur yang masif itu juga akan mengubah perilaku orang pada saatnya nanti. Anda lihat Singapura. Pada 1970-an, belum ada apa-apa di sana.

Bahkan masih ditemukan kandang ayam dan kandang babi, saat itu masih seperti lingkungan kampunglah. Sekarang sudah sangat jauh berbeda karena infrastruktur, itu diikuti perubahan perilaku masyarakatnya. Saya percaya bahwa membangun infrastruktur itu adalah gerbang besar dari perjalanan Indonesia.

Indikasi pembenahan itu sudah terlihat?
Iya, itu perlahan tapi pasti. Tahun lalu, penumpang untuk kategori roda empat naik 49,7% per Desember 2018. Biasanya, di bawah 10% naiknya. Datanya memang masih sedikit untuk disimpulkan. Namun, hemat saya, ada kegairahan orang Indonesia menggunakan darat dengan Trans Jawanya dan nanti akan ada Trans Sumatera Palembang-Indralaya setelah Bakauheni-Terbanggi Besar.

Baru segini saja naiknya sudah hampir 50%. Makanya, critical kami tahun ini sudah ada sepasang dermaga baru yang beroperasi melalui dermaga tujuh. Tahun ini juga dibangun satu pasang dermaga baru, yakni dermaga empat yang akan beroperasi tahun depan. Kita harus antisipasi.

Saya belum tahu ke depan pesawat trennya seperti apa. Saya menduga keterjangkauan yang seperti kemarin itu tidak akan balik. Tapi, saya kira kalau orang mau pindah dari Jakarta ke Lampung misalnya, dibanding naik pesawat mendingan lewat darat saja kan.

Kabarnya waktu ada ledakan bom di Jalan MH Thamrin beberapa tahun silam, Anda sedang di Gedung Sarinah. Lalu saat kejadian tsunami Gunung Anak Krakatau akhir tahun lalu, Anda juga ada di lokasi Merak-Bakauheni. Bagaimana rasanya berada di dua kejadian itu?

Kejadian bom itu, saya lihat betul karena saya ada di ruangan saya di lantai paling atas. Kemudian waktu kejadian tsunami akibat Gunung Anak Krakatau, saya sempat dilarang oleh teman-teman untuk menginap di pelabuhan. Dua kejadian itu, dua hal berbeda tapi ada persamaannya, sama-sama ada rasa takut dan cemas.

Kejadian tsunami, takutnya ada tsunami susulan. Kejadian bom Thamrin, takutnya ada rentetan bom atau tembakan susulan. Satu hal yang juga sama adalah pendekatan saya. Sebagai pimpinan, saya harus terlihat berani.

Berani dalam arti bukan sombong tapi harus menahan takut, meskipun itu memang takut. Kata lainnya, ya berani itu, tidak boleh larut dengan suasana. Dua kejadian itu, nggak bisa dibohongi dalam arti tetap ada rasa ketakutan namun kita sebisa mungkin menahan dan mengendalikannya.

Artinya saat ada kejadian genting atau musibah, Anda tetap tenang memegang kendali?
Di Sarinah, pegawai saya 70% adalah perempuan. Saya sebagai pimpinan, meski perempuan harus berani dong.Begitu juga yang terjadi di Merak, pelayanan penyeberangan tidak boleh berhenti, harus terus berjalan. Saya perintahkan agar segera meredefinisi evacuation plan.Kita bikin jalur evakuasi baru kalau ada tsunami susulan, misalnya. Komando dan alurnya bagaimana, itu sudah ada semua. (Ichsan Amin)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6100 seconds (0.1#10.140)