Tarif Mahal Ojek Online Dinilai Ekonom Bisa Jadi Blunder Bagi Petahana

Kamis, 07 Februari 2019 - 01:03 WIB
Tarif Mahal Ojek Online Dinilai Ekonom Bisa Jadi Blunder Bagi Petahana
Tarif Mahal Ojek Online Dinilai Ekonom Bisa Jadi Blunder Bagi Petahana
A A A
JAKARTA - Rencana Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang menetapkan tarif tinggi dalam aturan baru ojek online dinilai berpotensi menimbulkan blunder bagi petahana. Sebab, aturan yang ditargetkan rampung pada Maret 2019 ini akan berdampak pada penurunan jumlah konsumen secara signifikan, sehingga ikut menurunkan jumlah order di kalangan mitra pengemudi.

"Kalau banyak konsumen meninggalkan ojek online, ini bisa membahayakan industri digitalnya, dan akhirnya berimbas juga terhadap mitra pengemudi yang sepi order. Ini sangat merugikan bagi petahana," ujar Pengamat Ekonomi Digital dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi di Jakarta, Rabu (6/2).

Sudah menjadi perbincangan umum bahwa rencana meningkatkan tarif ojek online tersebut merupakan strategi petahana meraup suara dari para mitra pengemudi. Sebab, para pengemudi ojek online dianggap cukup signifikan dan solid untuk memberikan dukungan suara. Padahal jumlah konsumen jelas lebih banyak ketimbang jumlah mitra pengemudi transportasi online.

Terlebih, Presiden Joko Widodo menyempatkan diri menghadiri silaturahmi nasional dengan para mitra pengemudi Go-Jek dan Grab di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, pada pertengahan Januari lalu. Pada kesempatan itu, Jokowi pun mengatakan kenaikan tarif ojek online yang terlalu tinggi bisa merugikan industri digital karena berpotensi menurunkan jumlah konsumen.

Sambungnya namun, Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan tentang ojek online justru akan mematok tarif minimum sebesar Rp3.100, nilai ini dua kali lipat dari tarif sekarang. Saat ini, Grab menerapkan tarif Rp1.200 per kilometer, adapun Gojek memberikan Rp1.600 untuk para mitranya.

"Elektabilitas petahana akan terancam kalau Menteri Perhubungan tetap ngotot menetapkan tarif tinggi, dan akhirnya berdampak ke konsumen, mitra pengemudi, dan industri digitalnya. Dampaknya ganda karena sektor logistik dan UMKM juga akan terpengaruh" ujar dia.

Fithra menilai kesejahteraan mitra pengemudi belum tentu otomatis akan lebih baik dengan adanya kenaikan tarif tersebut. Apalagi, jika konsumen justru bereaksi negatif dengan memutuskan meninggalkan layanan ojek online.

"Bisa jadi Kementerian Perhubungan telah salah mengintepretasikan apa yang dimaksud Presiden Joko Widodo untuk memperhatikan kesejahteraan mitra pengemudi. Sebelum menentukan besaran nilai tarif yang nantinya akan diterima mitra pengemudi, semestinya pemerintah juga mempertimbangkan perspektif konsumen," jelasnya.

Dia berpesan sebaiknya pemerintah mengkaji kembali rencana peraturan menteri tersebut agar tak salah langkah. Sebab, besar kemungkinan silang pendapat bila aturan tersebut terlanjur disahkan. "Kalau saya jadi petahana, lebih baik menghindari hal-hal yang bisa memicu kontroversi di waktu yang begitu dekat dengan hari pencoblosan ini," katanya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5884 seconds (0.1#10.140)