Kenaikan Tiket Pesawat Belum Tepat

Rabu, 13 Februari 2019 - 07:31 WIB
Kenaikan Tiket Pesawat Belum Tepat
Kenaikan Tiket Pesawat Belum Tepat
A A A
JAKARTA - Kenaikan harga tiket pesawat oleh sejumlah maskapai mulai bulan lalu tak banyak memberikan dampak positif. Kebijakan ini justru menimbulkan efek berantai yang panjang mulai sepinya penumpang, pengurangan frekuensi penerbangan hingga lesunya pariwisata dalam negeri.

Kenaikan harga tiket pesawat dinilai tidak proporsional. Besaran kenaikan yang mencapai rata-rata 100% membuat masyarakat keberatan. Mereka terkaget-kaget karena tak menyangka kenaikan sedemikian cepat dan sangat besar.

Upaya maskapai yang tergabung dalam Indonesia National Air Carrier (INACA) merespons keluhaan masyarakat dengan menurunkan tarif antara 20-60% pada pertengahan Januari lalu juga tidak banyak memberikan pengaruh. Penurunan diketahui hanya terjadi di sejumlah rute penerbangan saja. Di banyak rute lain, tiket dianggap masih selangit.

Maskapai awalnya sangat berharap tariff baru dan pengenaan biaya bagasi bisa menutup biaya operasional yang melonjak akibat menguatnya dolar Amerika Serikat terhadap mata uang rupiah dan tingginya harga avtur. Namun niatan itu tak mulus. Lantaran sepi penumpang, maskapai justru mengurangi sejumlah rute penerbangan. Di Bandara Hang Nadim Batam misalnya, pada Kamis (7/2) lalu, setidaknya ada 14 penerbangan yang dibatalkan karena jumlah penumpang menurun drastis. Pembatalan dilakukan hampir semua maskapai seperti Garuda Indonesia, Lion Air, Wing Air dan Citilnk.

Pengurangan frekuensi penerbangan ini tak terelakkan. Sejumlah penumpang mengaku terpaksa membatasi naik pesawat terbang lantaran tarif baru yang tidak bersahabat. Suwondo, seorang pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Keuangan yang bertugas di Kota Palembang tak lagi bisa bolak balik ke Jakarta tiap pekan. Sebelum ada kenaikan tarif tiker Lion Air termurah dibanderol Rp350.000. Namun pada harga baru saat ini, besaran tiket mencapai Rp860.000. Harga tak jauh beda juga diterakan Sriwijaya Air yang mencapai sekitar Rp700.000-an. “Demi menghemat saya akhirnya pulang paling cepat dua pekan sekali,” ujar warga yang tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan ini.

Keberataan juga disampaikan Hojin, pelanggan maskapai untuk jalur Jakarta-Pekanbaru. “Harga tiket via platform online sebelum ada kenaikan untuk Lion Air sekitar Rp584.000 sampai Rp650.000. Kini dengan maskapai yang sama harganya menjadi Rp1.120.000. Ada 100% kenaikannnya,” ujar dia.

Kenaikan pada maskapai Lion Air yang mencapai 100% juga terjadi pada Batik Air, Citilink, dan Garuda Indonesia. Akibat kenaikan harga tiket tersebut, penumpang saat ini harus menghitung tingkat urgensinya untuk melakukan perjalanan dengan jalur udara. “Kami biasanya bisa tiga minggu sekali pulang pergi Jakarta-Pekanbaru. Kini kami kurangi 5-6 minggu sekali,” ujar dia.

Hojin berharap kenaikan tiket pesawat mestinya diatur secara proporsional dan bertahap agar konsumen tidak terbebani secara mendadak. Apalagi kenaikan yang hampir 100% ini tentunya akan berdampak pada sektor ekonomi lainnya. Misalnya, pariwisata, dan juga okupasi hotel.

Soal lesunya pariwisata juga dikeluhkan langsung Manteri Pariwisata Arif Yahya. Di Lombok, NTB misalya, angka kunjungan anjlok drastis hingga menyisakan 30%. "Saya ingatkan juga ke rekan industri, ini tidak hanya memengaruhi industri airline. Ujungnya dulu, semua dirugikan. Industri pariwisata dirugikan," ujar Arief di Jakarta Senin (11/2).

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Hariyadi Sukamdani juga menegaskan kenaikan tiket sangat berimbas pada sektor pariwisata khususnya bisnis hotel, restoran dan usaha mikro kecil menengah (UMKM), petani sayur dan peternak ayam. Dampaknya panjang, karena rantai bisnis pariwisata itu memang mengakar sampai ke dasar.

"Jangan sampai terjadi kartel di Industri pesawat terbang. Faktanya, Pak Menhub Budi Karya Sumadi sudah memanggil industri airlines, INACA, tetap saja bandel, turunnya dikit. Masyarakat masih menjerit. Padahal Ketua INACA adalah dirut Garuda yang juga BUMN," ujar Hariyadi.

Keganjilan soal tingginya tiket ini juga dilontarkan Presiden Joko Widodo langsung. “Ini memang aneh. Saya dapat Penghargaan sebagai Bapak Pariwisata Indonesia! Padahal harga tiket mahal,” terang Presiden saat menghadiri Gala Dinner 50 Tahun PHRI di Jakarta, Senin (11/2) malam.

Adapun dalam pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kenaikan tiket pesawat disebabkan oleh adanya persaingan yang tidak sehat antarmaskapai yang sebelumnya berlomba menjual tiket penerbangan dengan harga murah. Dia menjelaskan, tiket penerbangan komersial dengan harga murah memang menguntungkan dengan mendapat banyak peminat penumpang, namun keuntungan itu hanya berlaku dalam jangka pendek. "Jangka panjangnya kalau mereka tidak bisa beli pesawat, akhirnya kita yang kena juga," kata dia, di Jakarta, kemarin.

Akibat persaingan tidak sehat itu industri transportasi udara di Indonesia banyak yang berguguran. Kini industri ini didominasi oleh dua perusahaan besar, yakni PT Garuda Indonesia (Persero) dan PT Lion Mentari Airlines. Adapun pemerintah ada pada posisi sebagai regulator. "Menurut saya, (ini) bukan kartel, karena mereka terlalu murah akhirnya yang lain mati. Jadi bukan karena didesain, tapi karena mereka mencoba-coba masuk airlines dengan tarif murah, ya mati," katanya.

Avtur Bukan Faktor Utama
Inaca memberikan klarifikasi terkait tingginya harga tiket dan avtur. Ketua Umum Inaca, IG N Askhara Danadiputra mengatakan, pihaknya memastikan harga avtur tidak secara langsung mengakibatkan harga tiket pesawat menjadi lebih mahal. “Beban biaya operasional penerbangan lainnya seperti leasing pesawat, maintenance dan sebagainya memang menjadi tinggi di tengah meningkatnya nilai tukar dolar USD terhadap rupiah saat ini,” ucapnya.

PT Pertamina (Persero) pun tengah mengkaji penyesuaian harga avtur di seluruh depot bandara di dalam negeri. Hal itu merespons permintaan Presiden Jokowi atas mahalnya harga avtur sehingga berimbas pada mahalnya tiket pesawat terbang. “Dalam rangka itu, kemungkinan seperti itu (akan disesuaikan). Nanti kita lihat,” ujar Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas’ud Khamid.

Pengamat penerbangan, Alvin Lie mengatakan, pasokan avtur untuk maskapai di Indonesia selama ini didominasi oleh PT Pertamina. Menurutnya, jika terjadi monopoli avtur tanpa berdasarkan peraturan resmi, maka kemungkinan terbentuknya juga secara alamiah. “Setahu saya, pemasok avtur swasta boleh masuk. Tapi tuntutan infrastruktur dan manajemen bandara membuat perusahaan swasta sulit tembus atau masuk ke pasar avtur di dalam negeri,” ucapnya.

Vice President Corporate Communication PT Angkasa Pura II (Persero), Yado Yarismano mengatakan, PT AP II menyatakan akan mengikuti regulasi yang memungkinkan masuknya pihak lain pemasok avtur di luar Pertamina. “Kami siap saja dan tingal ikut regulasi yang ada, kalau ada pemasok avtur yang lain selain pertamina,” ungkapnya.

Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji akan mengkaji harga avtur bersama Pertamina. Dia juga bersedia mengkaji kembali pajak pertambahan nilai (PPN) avtur di Indonesia dengan negara lain. Menurut Sri Mulyani, implikasi PPN mengenai kenaikan harga avtur untuk mencegah kompetisi yang tidak sehat dengan negara lain.

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria menilai otoritas dapat memeriksa struktur pembentuk harga tiket pesawat. Berapa sebenarnya Harga Pokok Produksi (HPP) yang membentuknya dan berapa margin yang diambil Garuda Indonesia. (Oktiani Endarwati/Ichsan Amin/Nanang Wijayanto/Ant)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7735 seconds (0.1#10.140)