Negara Dicap Swasembada Pangan Jika Produksi 80% dari Kebutuhan

Selasa, 19 Februari 2019 - 13:57 WIB
Negara Dicap Swasembada Pangan Jika Produksi 80% dari Kebutuhan
Negara Dicap Swasembada Pangan Jika Produksi 80% dari Kebutuhan
A A A
JAKARTA - Swasembada pangan bukanlah berarti hidup tanpa impor. Setidaknya jika negara mampu memenuhi komoditas 80% dari kebutuhan bisa dikatakan sebagai swasembada. Impor sendiri mestinya mulai dianggap sebagai hal yang wajar dilakukan tiap negara di dunia lebih ke arah pertimbangan stabilitas harga.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin mengungkapkan, berdasarkan ketetapan Food and Agriculture (FAO), sebuah negara dicap swasembada jika memiliki hasil produksi minimal 80% dari total kebutuhan.

Jika menilik data produksi beras yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik yang mencapai 32,4 juta ton dengan perbandingan konsumsi 29,5 juta ton, Indonesia sudah surplus hampir 3 juta ton.

Sementara itu, ekonom dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal menegaskan, keberadaan impor bukanlah sesuatu yang haram. Pasalnya, tiap negara melakukan kegiatan perdagangan internasional yang satu ini.

“Impor itu kan bukan hal yang tabu. Semua negara pasti impor. Tidak ada negara yang tidak impor karena memang ini kan mekanisme supply and demand saja,” ungkapnya pada siaran persnya.

Terkhusus untuk Indonesia, Ia memandang, impor pangan juga bukanlah suatu masalah. Hanya saja memang perlu dilakukan manajemen data terkait adanya perbedaan data antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan BPS yang selama ini memang selalu menjadi ajang perdebatan.

Apabila didapati ada data surplus hampir mencapai 3 juta ton pada produksi 2018, namun pada kenyataannya harga komoditas khususnya beras cukup fluktuatif. Itulah yang menurutnya pemerintah tidak bisa disalahkan. Pasalnya impor dilakukan untuk mencegah kenaikan harga yang lebih tajam

"Kalau memang kalau katanya surplus, seharusnya harga sudah bisa stabil dengan sendirinya kalau memang logistik surplus itu bisa didistribusikan dengan baik. Permasalahannya mungkin pada akhirnya kita bicara mengenai ongkos logistik yang mahal,” tuturnya lagi.

Bahkan apabila impor beras dalam hal ini tidak dilakukan, kenaikan harga untuk komoditas ini dapat kembali terjadi ke depan. Karena harga itu salah satu indikator kelangkaan.

Di tempat terpisah, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan impor pangan bukan terjadi baru-baru ini saja. Harus diakui memang semenjak tahun 1960, Indonesia sudah melakukan impor unutk beras. "Buktinya dari data, kita impor beras terus sejak tahun 1960an," kata Enggar.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengatakan, impor beras sangat diperlukan untuk menjaga kebutuhan pangan nasional juga guna menstabilkan harga di pasaran. "Karena itu, kami sampaikan dalam debat calon presiden (capres) bahwa impor itu sangat diperlukan," kata Jokowi saat kunjungan kerja ke Panimbang, Pandeglang, Banten, Senin (18/2).

Pemerintah mengimpor beras untuk dijadikan sebagai cadangan strategis agar memenuhi ketersediaan pangan nasional. Selain itu, impor beras nyatanya mampu menstabilkan harga di pasaran sehingga inflasi dapat teratasi. Menurutnya, impor beras juga bisa dilakukan apabila bangsa ini terkena bencana alam juga gagal panen akibat terserang hama maupun penyakit tanaman. “Apabila, harga stabil dan inflasi terjaga dengan baik, tentu daya beli masyarakat meningkat," katanya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6393 seconds (0.1#10.140)