Penerimaan Perpajakan Januari 2019 Tumbuh 8,73%

Kamis, 21 Februari 2019 - 07:57 WIB
Penerimaan Perpajakan Januari 2019 Tumbuh 8,73%
Penerimaan Perpajakan Januari 2019 Tumbuh 8,73%
A A A
JAKARTA - Sebulan memasuki 2019, penerimaan negara dari sekor perpajakan tercatat mencapai Rp89,76 triliun atau 5,02 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penerimaan perpajakan Januari tahun ini tumbuh 8,73% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp82,56 triliun.

"Kita mampu mengumpulkan Rp89 triliun atau 5% dari APBN. Ini sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 11,5%," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, di Kementerian Keuangan, Jakarta, kemarin.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, pelaksanaan APBN 2019 di awal tahun berjalan sesuai target. Realisasi defisit APBN hingga Januari 2019 mencapai Rp45,77 triliun atau sekitar 0,28% Produk Domestik Bruto (PDB).

Sekadar informasi, pada APBN 2019 pemerintah menetapkan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.786,4 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNPB) Rp378,3 triliun dan hibah Rp0,4 trilun.

Adapun di sektor belanja negara ditetapkan untuk belanja pemerintah pusat Rp1.634,3 triliun, belanja kementerian dan lembaga (K/L) Rp855,4 triliun, belanja non K/L Rp778,9 triliun setra transfer ke daerah dan dana desa Rp826,8 triliun.

Sementara itu, untuk realisasi keseimbangan primer pada Januari 2019 berada pada posisi negatif Rp22,78 triliun. Realisasi pembiayaan yang dilakukan pemerintah hingga Januari 2019 mencapai Rp122,52 triliun, terutama bersumber dari pembiayaan utang, yaitu sebesar Rp122,46 triliun.

Realisasi pembiayaan utang tersebut terdiri atas penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) (neto) sebesar Rp119,54 triliun dan pinjaman (neto) sebesar Rp2,93 triliun.

Sri Mulyani mengatakan, total realisasi pendapatan negara hingga 31 Januari 2019 sebesar Rp108,08 triliun atau 4,99% dari target APBN 2019. Realisasi ini tumbuh 6,24% dibandingkan periode yang sama pada di 2018 yang mencapai Rp101,73 triliun.

Khusus realisasi penerimaan pajak, mencapai Rp86 triliun atau 5,45% dari target APBN 2019, atau tumbuh 8,82%. Sementara penerimaan bea dan cukai mencapai Rp3,77 triliun atau 1,8% dari target APBN tahun 2019, tumbuh 6,7%.

Selanjutnya, Sri Mulyani menambahkan, realisasi belanja negara pada Januari 2019 mencapai Rp153,85 triliun atau 6,25% dari pagu APBN, tumbuh sebesar 10,34% dibandingkan realisasi APBN pada periode yang sama tahun 2018.

Realisasi belanja negara tersebut meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp76,11 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp77,72 triliun. Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sampai dengan Januari 2019 mencapai Rp77,72 triliun atau 9,40% dari pagu APBN 2019, yang meliputi Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp77,41 triliun (10,23%) dan Dana Desa Rp0,32 triliun (0,45%).

Sri Mulyani menambahkan, selama Januari 2019 momentum pertumbuhan ekonomi masih cukup kuat. Inflasi masih terkendali dengan kinerja APBN masih sesuai dengan target. Meski begitu, dia mengakui pemerintah harus tetap meningkatkan kewaspadaan karena ada beberapa indikator ekonomi yang berubah dari yang sudah diasumsikan sebelumnya.

Kepala Badan kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan, sepanjang 2019 pemerintah masih optimistis pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% namun tetap mewaspadai kondisi global yang terus berubah. Menurut dia, pengaruh global yang akan memengaruhi APBN 2019 bisa berasal dari nilai tukar, suku bunga, harga komoditas, harga minyak internasional, hingga inflasi.

"Ini yang secara kontinu kita monitor setiap bulan di samping terus melihat apakah kegiatan ekonomi di dalam berlangsung atau tidak. Kalau pajak terkumpul, ada transaksi, itu berarti ekonomi ada," tuturnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pertumbuhan penerimaan pajak pada Januari yang relatif rendah disebabkan melambatnya ekspor akibat sentimen perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Menurutnya, kondisi tersebut membuat permintaan dari pasar global cenderung turun.

“Ada penurunan dari penerimaan bea keluar hingga -10,4%,. Selain itu dorongan dari aktivitas bisnis dalam negeri juga masih belum optimal meyebabkan pajak pertambahan nilai (ppn) minus 9%,” ujar Bhima.

Melihat kondisi tersebut, Bhima menyarankan agar pemerintah mempercepat perluasan basis pajak dengan memanfaatkan basis data tax amnesty. Cara lain, bisa juga memperluas objek pajak seperti pengenaan cukai plastik.

Di Bagian lain, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kualitas pengelolaan anggaran di daerah dinilai masih belum memuaskan. Salah satu indikasinya adalah masih besarnya ketergantungan kepada pusat dan belum optimalnya pengelolaan belanja modal.

“Hal-hal seperti itu merupakan persoalan yang terus dihadapi daerah. Ini menjadi salah satu tantangan yang tidak mudah dalam pengelolaan keuangan di daerah,” kata Sri Mulyani di Ancol, Jakarta Utara, kemarin.

Dia menambahkan, akan menggunakan informasi tersebut pada tahun-tahun ke depan untuk bisa memberikan informasi kepada kepala daerah bahwa dalam pengelolaan belanja perlu diperbaiki.

Dia mengatakan, ada beberapa daerah yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap dana transfer di antaranya Kabupaten Muara Enim di Sumatera Selatan (Sumsel) yang mencapai 98% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) berasal dari transfer pusat.

“Jadi, ini masih ada daerah yang sangat-sangat tergantung. Kalau tidak ada transfer dari pusat tidak akan bisa bekerja, tidak ada apa-apanya. APBD-nya hampir 98%, dia sangat tergantung,” paparnya. Ketergantungan tersebut, kata dia, disebabkan pendapatan asli daerah (PAD) yang diperoleh sangat minim. (Dita Angga/Oktiani Endarwati)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3905 seconds (0.1#10.140)