Boeing di Ambang Krisis Paling Serius Sepanjang 103 Tahun

Sabtu, 06 April 2019 - 05:16 WIB
Boeing di Ambang Krisis Paling Serius Sepanjang 103 Tahun
Boeing di Ambang Krisis Paling Serius Sepanjang 103 Tahun
A A A
CHICAGO - Dua tahun yang lalu, Boeing sedang berada di atas puncak bisnisnya. Sahamnya naik hingga 40% dari tahun sebelumnya dan menjadikannya sebagai salah satu perusahaan terbaik dalam Dow Jones, dimana prospek penjualan dan laba terlihat cerah dan perusahaan mulai mengirimkan pesawat 737 Max barunya.

Beberapa minggu sebelumnya, Boeing bersiap melakukan pengiriman perdana 737 Max series terbaru. Namun saat ini Boeing menghadapi salah satu krisis paling serius dalam 103 tahun sejarah perusahaan pembuat pesawat asal Amerika Serikat tersebut.

Hal ini terjadi setelah insiden kecelakaan 10 Maret yang menimpa Ethiopian Airlines 737 Max, dimana terjadi kurang dari lima bulan setelah kecelakaan fatal 737 Max yang diterbangkan oleh Lion Air. Buntut kecelakaan fatal tersebut semua pesawat 737 Max dikandangkan serta dilarang terbang untuk berada dalam pengawasan

Sebanyak 346 orang tewas dalam dua kecelakaan yang melibatkan pesawat series 737 Max itu. Terkait hal itu Boeing sebelumnya mengatakan keselamatan adalah prioritas utama perusahaan, dan bakal terus bekerja dengan FAA serta penyelidik ketika perusahaan mengembangkan solusi potensial untuk menangani masalah dalam 737 Max.

Seberapa baik, dan seberapa cepat, Boeing menemukan perbaikan untuk masalah ini akan sangat penting bagi kelangsungan perusahaan. 737 Max sendiri merupakan produk terbesar dan terpenting Boeing dengan selisih yang lebar.

Saat ini, Boeing sedang berupaya mengembangkan perbaikan software yang akan membantu 371 pesawat 737 Max yang dilarang terbang untuk kembali mengudara. Boeing telah memberi sinyal segera setelah kecelakaan Ethiopian Airlines bahwa perbaikan akan tersedia dalam beberapa minggu, tetapi hingga kini belum diselesaikan.

Boeing sendiri akan melaporkan pengiriman dan pesanan kuartal pertama pada tanggal 9 April. Para analis memperkirakan bahwa angka-angka tersebut akan terganggu oleh penghentian pengiriman 737 Max, bahkan ketika Boeing terus membangun pesawat di Renton, Washington.

Pada 24 April mendatang, perusahaan akan melaporkan hasil keuangan untuk 3 bulan pertama tahun ini. Boeing mungkin juga akan memasukkan prakiraan berapa biaya grounding untuk kompensasi pelanggan. Eksekutif Boeing kemudian akan menghadapi pemegang saham pada 29 April pada pertemuan tahunannya di Chicago

Sejauh ini, hanya ada satu maskapai penerbangan -Garuda Indonesia- yang secara publik telah membatalkan pesanan pesawat 737 Max senilai USD4,9 miliar (sekitar Rp69,2 triliun) untuk 50 pesawat. Kebanyakan analis tidak meyakini bahwa banyak maskapai akan membatalkan pemesanan. Saingan Boeing, Airbus memiliki waiting list yang lebih panjang untuk Airbus A320 nya.

Jika penumpang maskapai merasa tidak nyaman untuk terbang menggunakan pesawat 737 Max yang kembali mengudara, maka para maskapai yang berkomitmen menggunakan pesawat tersebut akan merugi. Di sisi lain, Boeing mengandalkan maskapai-maskapai itu untuk pesanan pesawat di masa mendatang.

Boeing menghadapi tagihan besar dari para maskapai untuk pesawatnya yang dilarang terbang. Analis ruang angkasa Cowen, Cai Von Rumohr memperkirakan bahwa biayanya sudah mencapai angka USD2 miliar dan harganya akan terus naik setiap hari selama pesawat tidak mengudara.

Ini adalah perubahan negatif bagi perusahaan yang memiliki kinerja sangat baik selama hampir 2 tahun terakhir. Di akhir 2018, Boeing telah memiliki sejumlah 5.000 pesanan pesawat 737 Max.

"Kami pikir 2019 tidak akan menjadi tahun yang baik secara finansial untuk perusahaan ini," ujar Corridore dari CFRA Research. "Tetapi jika kita melihat dalam jangka panjang, Boeing akan baik-baik saja," tutupnya.

Boeing sendiri merupakan perusahaan yang sangat menguntungkan. Pada 2018, nilai penjualan mencapai USD100 miliar secara tahunan untuk pertama kalinya, dan laba tumbuh 24% menjadi USD10,5 miliar. Tahun ini apakan Boeing mampu mengulang hal yang sama, Boeing dinilai harus memiliki sumber daya untuk menutupi biaya krisis, tidak peduli seberapa mahal.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6930 seconds (0.1#10.140)