Hidup Bebas Racun dan Minim Sampah

Minggu, 14 April 2019 - 10:26 WIB
Hidup Bebas Racun dan Minim Sampah
Hidup Bebas Racun dan Minim Sampah
A A A
Tinggal di wilayah pegunungan yang dekat dengan hutan mendatangkan kebaikan bagi Deasi Srihandi.

Ibu lima anak ini bersama keluarganya jadi terbiasa beraktivitas secara mandiri dengan memanfaatkan kekayaan alam yang ada dan mampu meminimalkan sampah. Yang membanggakan, gaya hidup ramah lingkungan dan keberlanjutan ala keluarga asal Malang ini kemudian tertular kepada keluarga lain di seluruh Indonesia.

Ya, Deasi memang kerap membagikan aktivitas kesehariannya sebagai ibu rumah tangga melalui media sosial. Aktivitas itu dinilai sangat ramah lingkungan. Seperti memenuhi asupan keluarga menggunakan pangan organik atau menanam sendiri di sekitar rumahnya dan hidup bebas toxic dengan membuat sendiri produk perawatan tubuh.

Aktivitas apa lagi yang membuat Deasi digadang-gadang sebagai inspirator bagi kaum ibu dan pencinta lingkungan hingga komunitas Green Mommy yang didirikannya diikuti ribuan orang? Inilah perbincangan wanita 40 tahun itu dengan KORAN SINDO.

Sejak kapan Anda memutuskan untuk hidup keberlanjutan?
Gaya hidup seperti ini sudah diterapkan sejak awal saya berumah tangga. Yang mendasarinya adalah suami saya, Henning Soren Pedersen, seorang ahli pengobatan tradisional. Suami saya yang orang Denmark itu pernah aktif di komunitas Greenpeace.

Beliau juga terbiasa hidup organik karena di Denmark semua sudah organik, bahkan saya baru tahu setelah menikah. Di Amerika Serikat gerakan organik sudah ada sejak 1970-an.

Saya tidak terlalu kaget dengan gaya hidup yang dikenalkan oleh suami karena saya lahir dan tumbuh besar di Manado yang masih sangat alami. Semua dibuat sendiri, sangat natural. Kebutuhan pangan juga terpenuhi berkat hasil tanam sendiri.

Kehidupan keluarga Anda menjadi inspirasi bagi keluarga lain di Indonesia. Bagaimana Anda melihat ini?
Menurut saya, sebuah keluarga idealnya seperti ini, seperti orang zaman dulu, semua serbaalami. Bagi orang modern, ini sesuatu yang bertolak belakang. Berarti ini sudah sangat berubah jauh, padahal kenyataannya dulu manusia hidup seperti itu.

Rumah saya dari Kota Malang berjarak satu jam, tapi harus naik gunung dulu sejauh 2 km. Halaman rumah saya berbatasan dengan hutan. Jadi, saya tinggal di ketinggian 1.100 meter sehingga internet lancar karena kami termasuk ada di daerah tinggi. Itu yang membuat saya mudah berbagi aktivitas, meskipun terlihat berada di pedalaman.

Bisa diceritakan gaya hidup keberlanjutan seperi apa yang Anda jalani bersama keluarga hingga membentuk komunitas?
Kami sekeluarga berusaha hidup tidak bergantung pada sumber daya listrik, juga air. Untuk pangan pun semaksimal mungkin disediakan secara mandiri. Saya membuat komunitas Green Mommy demi mengajarkan keluarga lain cara membuat rumah bebas toxic, membuat minyak aroma terapi dan bagaimana hidup holistik.

Komunitas Green Mommy akhirnya berkembang menjadi bisnis?
Awalnya saya suka menulis di blog. Pengalaman hidup juga suka saya sharing secara offline . Menurut saya, susah sekali, terutama bagi perempuan, melihat sisi lain bahwa ada pilihan dari masalah yang mereka hadapi.

Suami saya memiliki ide, bagaimana kalau membuat sesuatu yang biasa kita pakai sehari-hari, seperti sabun? Green Mommy Shop yang saya dirikan sebenarnya merupakan alat agar kami bisa menginfokan secara nyata kepada masyarakat. Contohnya, di balik sabun ada banyak cerita dan itu termasuk gerakannontoxic .

Jadi, komunitas dan bisnis berjalan beriringan. Green Mommy Shop diciptakan karena kepedulian tulus kami tentang adanya bahan kimia sintetis yang berbahaya pada produk perawatan tubuh, kulit, dan rumah tangga, serta dampak negatif bahan-bahan kimia sintetis itu buat kita, anak-anak kita, dan bumi ini.

Untuk komunitas Green Mommy, jumlah pesertanya lumayan. Misalkan kelas nontoxic ada 600 orang. Sejak 2010 sampai sekarang sudah ribuan orang yang ikut. Komunitas ini tidak bergerak secara terorganisir, karena cuma saya dan suami yang pegang. Kami memegang teguh edukasi di berbagai kelas.

Apa pandangan Anda soal di Indonesia kini mulai sadar untuk mengurangi sampah plastik?
Alhamdulillah, saya lihat sudah muncul sejak dua tahun terakhir. Banyak yang peduli terhadap dampak sampah plastik. Hal tersebut juga terlihat dari animo di komunitas Green Mommy. Zaman dulu orang tertarik ikut komunitas alasannya ingin mengurangi racun di rumah.

Kalau sekarang ingin mengurangi sampah plastik. Dari awal fokus anggota yang ikut adalah ingin terbebas dari racun sampai dua tahun terakhir orientasinya sudah ke masalah lingkungan, bukan kesehatan lagi.

Semua saling mendukung, konsumen Green Mommy Shop juga mulai sadar bahwa sabun dibungkus kertas tidak ada yang protes. Kalau dulu, sabun dibungkus kertas dibilangnya takut bentuk sabun berubah dan meminta pakai plastik.

Apa yang dimaksud dengan rumah bebas toxic?
Bebas toxic mencakup apa yang dipakai keluarga. Misalkan sampo, walaupun organik, dalam prosesnya terdapat banyak bahan kimia. Karsinogenis juga limbahnya bahaya terhadap air, membuat DNA hewan bermutasi.

Siklus jadi terganggu gara-gara racun dari satu jenis barang yang sering kita pakai. Kalau kami dari awal fokus pada beauty, health, and sustainable, khususnya untuk perempuan. Orang melihat kami identik dengan pengurangan sampah, padahal jauh lebih besar dari itu.

Bagi yang ingin hidup seperti Anda, langkah apa yang harus dilakukan?
Kenali permasalahan dalam diri kita, misalnya jerawat. Jerawat bisa saja ada karena penggunaan obat yang terlalu keras. Permasalahan lain misalkan tangan yang kasar, kutu air akibat sering mencuci.

Dari permasalahan seperti itu nanti akan merambah ke hal lain. Dari kesehatan akan menyinggung masalah lingkungan. Bisa disinergiskan, sambil hidup lebih sehat kita juga dapat ikut meminimalkan sampah plastik.

Anda kini menjadi influencer. Apa tantangannya untuk mengajak orang?
Sabar saja. Saya tidak punya ekspektasi apa pun terhadap orang lain karena pada dasarnya apa yang saya share kepada mereka adalah yang saya lakukan untuk keluarga saya. Jadi saya tidak merasa terbebani, secara bisnis juga tidak ada target harus dapat profit tertentu.

Semakin ke sini, Alhamdulillah dari segi keuangan memang besar. Terutama dari usaha kami membangun tempat untuk sustainability in the real life . Bagaimana orang dapat merasakan hidup berkelanjutan ini secara nyata.

Mengenai eco farm atau bisa juga disebut home stay sustainability yang menjadi bisnis Anda, apakah sudah ada wisata eco green seperti ini di Indonesia?
Belum ada kalau di Indonesia. Tapi yang mirip ada di Bali, cuma yang menjalankan itu organisasi. Memang ada praktik di tempat tersebut, tapi ketika dikerjakan di rumah tidak sesuai ekspektasi peserta.

Padahal kenyataannya memang seperti itu, tidak ada bentuk yang indah misalnya dalam membuat personal care sendiri. Tempat area pribadi luasnya empat hektare, semua sudah ada di sini. Siapa pun bisa belajar hidup mandiri. Memang susah, apalagi dalam sebuah keluarga.

Di sinilah kami mengajak untuk sama-sama struggle . Di Bali ada, namun dengan pemandangan yang indah. Kalau di tempat saya ya apa adanya, lebih terasa kehidupan sebenarnya di perdesaan. Sebenarnya hidup mandiri berkelanjutan ini gaya hidup orang zaman dulu.

Belum tersedia apa-apa sehingga harus menanam sendiri. Di luar negeri masih ada yang seperti ini. Sulitnya di negara kita, karena orang Indonesia senang bersosialisasi sehingga kalau rumah seperti saya yang tetangganya saja ada di jarak 2 km, tentu ini tidak mudah. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3992 seconds (0.1#10.140)