Bukti Wanita Bisa Baca Peta

Kamis, 23 Mei 2019 - 10:25 WIB
Bukti Wanita Bisa Baca Peta
Bukti Wanita Bisa Baca Peta
A A A
Ketika Google mengakuisisi Waze pada 2013, muncul spekulasi raksasa teknologi itu akan memensiunkan Waze yang sepintas memang mirip Google Maps. Country Manager Waze Indonesia Marlin R Siahaan menepis rumor itu dan memaparkan potensi Waze sebagai alternatif media baru pendulang iklan.

Anggapan miring bahwa “wanita tidak bisa membaca peta” juga dipatahkan Marlin yang sudah lebih dari setahun bergabung sebagai manajer di platform aplikasi berbasis lalu lintas serta navigasi itu.

Selain meningkatkan engagement pengguna dan membina hubungan dengan komunitas pencinta peta, Waze juga menawarkan konsep destination and mobility marketing yang utamanya menyasar tiga sektor usaha. Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan Marlin.

Apa perbedaan mendasar antara Waze dengan Google Maps?
Waze itu sifatnya navigasi atau penunjuk jalan yang real time dari satu titik ke titik yang lain. Waze bahkan lebih real time dibandingkan yang ada di Google Maps dan bersifat interaktif laiknya media sosial antara pengguna yang satu dengan pengguna lainnya. Sedangkan Google Maps itu lebih ke eksplorasi dan discovery. Kalau misalnya kita sedang ada di Bali atau Singapura dan ingin mencari tahu lokasi apa atau info restoran apa, nah Google Maps lebih berperan di situ.

Jadi keduanya merupakan aplikasi yang berdiri sendiri?
Sebenarnya iya. Bahkan, kalau data traffic maupun kemacetan itu sumbernya dari Waze. Namun, untuk data landmark dan lain-lain itu dari Google Maps. Jadi saling bertukar data. Orang sekarang kalau keluar rumah, sebelum jalan buka maps dulu, memastikan berapa lama dan rutenya, lalu akan sampai jam berapa. Di Waze, kalaupun ada kemacetan akan dikasih tahu berapa menit delay -nya. Jadi, kita masih bisa memprediksi waktu. Inilah teknologi yang memudahkan manusia dan perjalanan kita.

Dari sisi penggunanya lebih besar mana?
Tentu kecenderungannya masih lebih besar Google Maps karena fungsinya sebagai discovery. Cuma ibarat iOS dan Android ya seperti itulah kira-kira posisi Waze dan Google Maps. Mereka yang suka Waze biasanya lebih fanatik. Di sisi lain, karena sifatnya interaktif bisa mengabarkan kondisi terkini melalui suara pengguna, input data di Waze lebih besar sehingga potensi bisnisnya juga lebih besar. Jadi, kami memahami betul karakter pengguna kami di Waze. Misalnya ada user yang sehabis pulang kantor punya kebiasaan mengunjungi coffe shop pada jam-jam tertentu, sehabis itu ke gym, d an kebiasaan itu kerap kali melewati jalan yang sama. Atau ada juga user kami yang pada hari-hari tertentu mengunjungi pusat perbelanjaan. Bagi kami, pola-pola ini adalah potensi bisnis yang terus kami garap dan kembangkan.

Penerapannya seperti apa dalam bisnis?
Kami melihat peluang kepada pemasar untuk membangun bisnis Waze ini dari ceruk mobilitas, how do we approach audiens on the go. Pendekatan iklan untuk orang yang sedang berkendara di jalan itu berbeda, sangat personal. Jadi kita bilang bentuk-bentuk iklan di Waze itu sifatnya native ad,benar-benar muncul ketika kena macet, saat lampu merah, ketika pengguna sedang menuju satu lokasi, dan kita bisa tahu behavior -nya mereka melalui data yang sudah terkumpul berkat bantuan teknologi terbaru yang juga sudah terpasang di dalamnya, seperti machine learning dan kecerdasan buatan. Ini sesuatu yang menjadi peluang baik ke depan.

Peluncuran Waze for Brands tahun lalu dimaksudkan untuk itu?
Waze for Brands ini bagaimana Waze bisa menjadi peluang untuk platform media bagi pengiklan. Biasanya, pengiklan mencari alternatif media baru yang unik, punya daya tarik, dan efektif tersampaikan kepada masyarakat. Karena kami mobility,maka pengiklan akan mencoba berbicara dengan audiens yang ada di mobil. Ini hal-hal baru yang buat pengiklan bahwa mereka bisa approach orang di jalan. Platform nya digital, tapi experience -nya masih agak semi out-of-home (OOH).

Contohnya iklan-iklan seperti apa dan penyampaian kepada user bagaimana?
Biasanya, kalau kita lagi kena macet, ada penawaran iklan untuk membeli bensin yang sedang promo. Begitu juga dengan bengkel mobil dan informasi ritel. Jadi sifatnya real time,muncul (pop-up ) ketika di perjalanan. Di Waze, karena sifatnya real time, penawarannya juga bersifat visual dan suara, tinggal melihat kebutuhan pengiklan seperti apa. Mereka bisa sesuaikan dengan audiens yang mau disasar seperti apa, misalnya yang suka belanja atau yang suka traveling.Secara spesifik kami menyebutnya destination and mobility marketing.

Pengiklan potensial dari industri apa saja?
Tahun pertama pendekatan kami fokus ketiga industri yang relevan, yaitu automotif, ritel, dan bahan bakar (SPBU). Tapi, makin ke sini, apalagi tahun 2019 ini, mulai banyak industri lain ingin menggunakan Waze sebagai media beriklan, contohnya food and beverage (F&B), karena orang mungkin di mobil perlu minum. Apalagi Ramadan ketika orang mau siap-siap buka puasa, iklan F&B banyak masuk ke Waze. Iklan suplemen dan e-commerce juga mulai banyak. Selain itu, kami juga ada kemitraan dengan pemerintah daerah untuk konsep smart city, misalnya penyediaan informasi untuk jalur ganjil-genap. Pada penyelenggaraan Asian Games yang lalu, kami juga terlibat dengan support voice dari artis papan atas yang mengarahkan atau penunjuk jalan. Itu semua kesempatan bagi kami untuk membuktikan ke global bahwa kami bisa melakukan sesuatu yang lebih baik untuk negara ini dan Indonesia juga bisa menonjol.

Berapa pengguna Waze di Indonesia dan bagaimana menjaganya?
Sekitar 4 juta pengguna. Kekuatan kami ada di komunitas yang saling memberikan informasi secara interaktif antara pengguna satu dengan yang lain. Untuk itu, kami secara rutin membuat event komunitas karena kami sangat paham user Waze itu, terutama bagi mereka yang rajin mengupdate informasi jalan baru, adalah user yang hobi mencari jalan-jalan baru. Mereka ini unik karena sangat pencinta peta baru. Jadi, ada ajang komunitas yang kami gelar setahun sekali, yaitu Waze editor community.Mereka ada ratusan.

Sebagai pemimpin di tim Waze Indonesia, apa tantangan yang Anda rasakan?
Waktu awal masuk, ini bakal menjadi tantangan, tapi juga sesuatu yang saya ingin capai. Saya tantang diri saya, apalagi ada anggapan “women canít read maps”, lalu tiba-tiba ini ada sosok perempuan yang mau mengelola teknologi navigasi map. Tantangannya di situ dan saya berusaha mengatasinya, saya menikmatinya setelah setahun ini. Selain itu, kita harus bisa mengelola kerjaan dan mengatur waktu serta berkoordinasi karena orangnya tersebar di mana-mana. Indonesia dalam hal ini bagian dari Waze regional Asia Pasifik, dan saya juga harus berkomunikasi dengan para country manager Waze di negara-negara lainnya.

Hal apa yang Anda tekankan kepada tim dalam mencapai target?
Setiap kali pindah kerja saya harus punya goal dan harus mencapainya. Saya selalu terapkan ke tim bahwa kita punya goal jangka panjang dan jangka pendek. Tahun lalu, kan kami melangkah dan bereksplorasi. Tahun ini, mari jadikan Waze lebih bersinar. Jadi, tema apa nih supaya kita punya semangat baru dan selalu ingat. Jadi, kalau misalnya tadinya sedang down,bangun lagi, ingat lagi, kejar lagi goal-nya.

Budaya kerja di Waze seperti apa?
Sekarang semuanya lebih modern, dengan atasan juga bisa lebih terbuka, bisa ngomong apa saja, tidak banyak hierarkinya. Di grup Google ini secara umum kita diberi kebebasan. Personal leadership harus kuat. Di sini kita egaliter, sama, nggak ada hierarki, jam kantor juga sebetulnya fleksibel, tapi kita tetap punya key performance indicator (KPI) yang harus dicapai. (Ichsan Amin/Inda Susanti)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4893 seconds (0.1#10.140)