Pertumbuhan Mega Startup China Salip AS

Selasa, 09 Juli 2019 - 08:10 WIB
Pertumbuhan Mega Startup China Salip AS
Pertumbuhan Mega Startup China Salip AS
A A A
BEIJING - Berbagai perusahaan rintisan (startup) asal China tumbuh lebih cepat dibandingkan para pesaingnya dari Amerika Serikat (AS). Startup China rata-rata hanya butuh waktu empat tahun untuk mencapai status unicorn (valuasi di atas USD1 miliar), sementara startup AS rata-rata tujuh tahun.

Salah satu contohnya adalah Luckin Coffee yang mendeklarasikan diri sebagai pesaing Starbucks di China dan menggelar penawaran saham perdana (IPO) pada Mei lalu. Perusahaan itu mulai beroperasi pada kuartal IV/2017 dan mencapai valuasi USD2,9 miliar sekitar 18 bulan kemudian, dengan sejumlah investor seperti BlackRock.

Saham Luckin Coffee melejit hingga 50% pada hari pertama perdagangan dan ditutup naik 20% senilai USD20,38 per saham, sehingga saham perusahaan memiliki nilai pasar USD5,6 miliar.

Pada Januari, para pengamat dari Boston Consulting Group memperkirakan jumlah kedai Luckin di China akan melebihi Starbucks pada kuartal ini. Jaringan kopi asal AS itu telah beroperasi di China selama 20 tahun dan memiliki 3.600 kedai di lebih dari 150 kota. Adapun Luckin sudah memiliki lebih dari 2.300 kedai di 28 kota pada Maret tahun ini.

“Berbagai unicorn asal China atau perusahaan dengan valuasi lebih dari USD1 miliar, sekarang sebanyak 91 atau 28% dari unicorn di seluruh dunia,” ungkap data firma intelijen bisnis CB Insights pada Januari lalu.

AS saat ini memiliki 159 unicorn atau sekitar 48% dari total global.

Meski demikian, perusahaan-perusahaan China dapat mencapai posisi unicorn dengan jauh lebih cepat. “Membutuhkan rata-rata empat tahun bagi startup China untuk mencapai status unicorn, dibandingkan tujuh tahun untuk startup di AS,” papar laporan dari Boston Consulting Group pada September 2017. “Kesuksesan semalam lebih mungkin di China dibandingkan di AS,” tulis para pakar pada laporan tersebut.

“Pada dekade lalu, perusahaan China yang hendak meluncurkan IPO di AS membutuhkan waktu rata-rata 8 tahun, lebih cepat dua tahun dibandingkan rata-rata perusahaan global lainnya yang memerlukan waktu 10 tahun,” papar Matt Kennedy, strategis pasar IPO di Renaissance Capital.

Pertumbuhan pesat itu menunjukkan lingkungan bisnis yang unik, serta populasi yang tiga kali lebih banyak dibandingkan AS. Pada saat bersamaan, ada kekhawatiran para investor global tentang ekonomi China yang terlalu panas.

“Saya berpikir bahwa alasan beberapa perusahaan itu dapat mencapai valuasi mereka itu karena pada akhir hari, pasar itu dua kali ukuran AS, secara mobile khususnya. Saya memahami mengapa valuasi itu sangat tinggi. Tapi kuncinya tidak hanya pada masa depan, tapi pertumbuhan sehat menuju masa depan,” tutur Edith Yeung, mitra di investor tahap awal 500 Startups.

Dia mencontohkan perusahaan bike-sharing asal China, Mobike dan Ofo. Keduanya tumbuh cepat dalam beberapa tahun terakhir, memanfaatkan tren banyak perusahaan bike-sharing lain di China. Namun, model bisnis itu terbukti tak berkelanjutan. Mobike diakuisisi tahun lalu dan Ofo di gerbang kebangkrutan.

Banjir Investasi
Selama lima tahun terakhir, China dibanjiri investasi modal untuk memperkuat generasi baru startup mulai perusahaan raksasa transportasi Didi Chuxing hingga perusahaan induk TikTok- Bytedance Ltd. Namun, geliat tersebut justru menunjukkan penurunan drastis saat ini.

Melansir Bloomberg, kesepakatan bisnis di China mengalami penurunan pada kuartal kedua tahun ini karena investor menarik diri di tengah perundingan perdagangan yang tidak bisa diprediksi. Nilai investasi di China mengalami penurunan 77% hingga USD9,4 miliar pada kuartal kedua tahun ini. Menurut firma riset pasar, jumlah kesepakatan menurun separuh hingga 692.

Pada kuartal kedua 2018, puncak kesepakatan bisnis di China mencapai total USD41,3 miliar investasi. Itu termasuk investasi USD14 miliar untuk pembayaran digital Ant Financial, USD3 miliar untuk e-commerce upstart Pinduoduo Inc dan USD1,9 miliar untuk layanan transportasi truk Manbang Group (yang dikenal sebagai Full Truck Alliance Group).

Puncak investasi China dimulai pada 2014 ketika Alibaba Group Holding Ltd mulai melakukan penawaran saham ke publik dan menarik banyak investor. Kesepakatan bisnis meningkat tiga kali lipat tahun itu hingga USD17 miliar. Adanya tren menanjak hingga 2018 dengan total investasi mencapai USD105 miliar. Pada saat bersamaan, perusahaan seperti Qiming, Sequoia China, Tiger Global Management, dan SoftBank Group juga memperkuat investasi ke perusahaan startup di seluruh dunia.

GOJEK Raih Investasi Baru
Perusahaan unicorn asal Indonesia GOJEK kemarin mengumumkan investasi dari Mitsubishi Motors Corporation, Mitsubishi Corporation, dan Mitsubishi UFJ Lease & Finance sebagai bagian dari putaran pendanaan Series F. Selama ini, Mitsubishi Corporation merupakan investor tetap GOJEK yang telah berpartisipasi Series F yang diumumkan Februari lalu.

“Hadirnya Mitsubishi Motors dan Mitsubishi Corporation memiliki kekuatan brand di Asia Tenggara akan mendorong diversifikasi dan potensi bisnis GOJEK. Kita melihat penciptaan kreasi besar dan inovasi akan memperkuat pertumbuhan tiga pihak,” kata Chairman Mitsubishi Motors Corporation Osamu Masuko dilansir Deal Street Asia.

Pada Maret lalu, GOJEK mendapatkan kucuran dana USD100 juta dari Astra International, sebagai tindak lanjut investasi USD150 juta pada Series E tahun lalu. GOJEK telah mendapatkan investasi lebih dari USD10 miliar, dari berbagai investor termasuk Provident Capital, Google, JD.com, dan Tencent.

Dengan investasi tersebut, GOJEK memperluas pasar ke tiga kawasan baru yakni Vietnam, Singapura, dan Thailand. Mereka juga tertarik mengembangkan pelayanan di Malaysia, Myanmar, dan Kamboja tahun ini.

Namun, karakteristik unicorn masing-masing negara sangat berbeda. Unicorn asal China lebih didorong oleh inovasi model bisnis yang mengambil keuntungan dari pasar konsumen yang besar, tumbuh cepat tetapi terfragmentasi di Asia. Sementara unicorn teknologi tinggi lebih dominan dari AS.

CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menilai ada beberapa kiat untuk menciptakan startup Indonesia menuju kelas dunia yang kompetitif. Dia menyebutkan pelaku startup harus berani bersaing dan ekspansi ke level regional. trik berikutnya pelaku startup harus punya ‘path to profitability’ atau strategi meraih laba yang jelas. “Strategi lainnya adalah startup harus memiliki visi menjadi market leader di sektornya, sehingga bisa berkompetisi dengan startup dunia,” ujar Eddi.

Pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira menilai untuk membangun startup kelas dunia, Indonesia butuh dukungan pengembangan SDM dari perguruan tinggi yang berkualitas. “Jadi, kurikulum yang diajarkan dan keahlian yang diperlukan dalam startup harus saling terkait,” ujar Bhima.

Insentif pajak dan nonpajak seharusnya bisa dijadikan kebijakan dalam mendorong belanja riset, sehingga pengembangan ekosistem pendukung bisa ditingkatkan secara efektif. “Rasio belanja riset terhadap PDB kita masih di bawah 1%, jauh di bawah China yakni 2,18% tahun 2018,” tambahnya.

Operation Chief of GnB Accelerator Elsye Yolanda membandingkan ekosistem startup di China yang sangat berbeda dengan di Indonesia. Menurutnya, produk China bisa mendunia berkat e-commerce sehingga pelaku di sana mengetahui kebutuhan pasar. Ini dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku jasa pengiriman dan pabrik. “Mereka pintar memanfaatkan e-commerce sehingga banyak produk China bisa dijual di dunia. Startup Indonesia sulit menyamai China, khususnya Alibaba, karena mereka menguasai ma­rket yang sangat luas. Karena itu, pemerintah harus teruskan penetrasi internet di seluruh Indonesia,” ujar Elsye kemarin di Jakarta. (Andika Hendra/Hafid Fuad)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6612 seconds (0.1#10.140)