Menciptakan Pola Relasi Industri Halal-Industri Keuangan Syariah

Jum'at, 16 Agustus 2019 - 15:30 WIB
Menciptakan Pola Relasi Industri Halal-Industri Keuangan Syariah
Menciptakan Pola Relasi Industri Halal-Industri Keuangan Syariah
A A A
Ketika Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) dikumandangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 dan diluncurkan pada 27 Juli 2017, kalangan masyarakat dan dunia usaha banyak menaruh ekspektasi bahwa pertumbuhan industri keuangan yang berbasis syariah akan pesat.

Sebagian lainnya berharap dengan tumbuhnya industri keuangan syariah akan dapat menggerakkan industri halal di Indonesia. Industri halal adalah kegiatan usaha yang menghasilkan barang dan jasa yang berbasis pada penggunaan bahan baku dan bahan pembantu serta proses produksi yang mengikuti ketentuan syariah Islam yang telah dijamin kehalalannya.

Kegiatan usaha ini meliputi sektor food and beverages, obat dan farmasi, kosmetika, barang gunaan, finance, pariwisata, serta fashion. Harapan itu semakin besar ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri yang memimpin KNKS.

Indonesia diharapkan lebih cepat mengejar ketertinggalannya dari Malaysia dalam industri halal. Masih segar dalam ingatan kita ketika mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Kamidi pada Periode 2017-2018 memegang kendali langsung industri halal dengan membangun berbagai infrastruktur industri halal dan halal hub pada 2017.

Malaysia yang tertinggal jauh dari Indonesia dalam berbagai hal tiba-tiba saja pada 2017 muncul sebagai negara terkemuka pada industri halal. Ini sungguh mencengangkan. Publik menaruh harapan besar industri halal di Indonesia akan tumbuh pesat.

Harapan itu semakin menjadi kenyataan ketika Presiden memberikan penugasan kepada Bambang Brodjonegoro selaku kepala Bappenas periode 2016-2019 untuk menyusun Master Plan Ekonomi Syariah 2019-2024 dan Tata Kelola serta Standardisasi Pembangunan Industri Halal.

Urgensi Instrumen Pendukung
Semangat Presiden Jokowi untuk membangun industri keuangan syariah patut didukung oleh semua kementerian terkait terutama oleh Menko Perekonomian karena sejauh ini mandeknya industri halal dan keuangan syariah lebih disebabkan pada pembangunan yang fokus berorientasi pada industri keuangan syariah.

Dari gubernur Bank Indonesia, Bappenas hingga masyarakat ekonomi syariah fokus bergerak, namun kurang perhatian pada industri halal. Hal ini menyebabkan kurang bertumbuhnya industri ini. Berdasarkan data Global Islamic Economy 2018/2019, Indonesia berada dalam posisi pertama 10 dari negara dengan jumlah pengeluaran makanan halal terbesar di dunia.

Ini artinya Indonesia sebagai pasar terbesar industri halal. Sebaliknya, Indonesia baru menduduki peringkat kedelapan sebagai negara eksportir produk halal terbesar di dunia di bidang farmasi dan industri kosmetika.

Hal ini menggambarkan kurang berkembangnya industri halal di Indonesia, padahal kita memiliki segenap potensi dan daya dukung, mulai dari jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yakni 87% dari 260 juta jiwa hingga potensi alam dan sumber daya.

Orientasi pemangku kebijakan dari Bappenas, menko, hingga gubernur BI masih pada pertumbuhan industri keuangan syariah yang sebaliknya tidak terlihat pada keseriusan membangun dan membenahi infrastruktur industri halal. Ini menyebabkan tidak tumbuhnya dua industri yang disebutkan di atas.

Sebaliknya, produk halal, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menurut data statistik berjumlah 3,79 juta produk sampai hari ini tidak mampu terjamah oleh sertifikasi halal.

Ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai pentingnya sertifikasi halal sebagaimana dimaksud Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), di samping juga masih minimnya kesadaran pelaku usaha UMKM untuk melakukan sertifikasi halal.

Padahal, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang mewajibkan sertifikasi halal untuk semua produk yang beredar. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 4 UU JPH yang menegaskan bahwa, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib besertifikat halal “.

Adapun kewajiban sertifikasi halal dimulai pada 17 Oktober 2019, sebagaimana amanat Pasal 67 ayat (1) UU JPH yang menegaskan, “Kewajiban besertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan .”

Era mandatori sertifikasi halal pada 2019 segera tiba, tetapi persiapan menuju masa wajib sertifikasi halal belum nampak jelas roadmap -nya. Sebut saja auditor halal yang ada baru 1.061 orang. Itu pun dimiliki Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Padahal, untuk melakukan sertifikasi halal 3,79 juta produk UMKM diperlukan paling sedikit 35.000 sampai 40.000 orang auditor halal. Itu pun memerlukan waktu sekitar 35 tahun dengan asumsi 3,79 juta produk dibagi 35.000 orang auditor dan lamanya proses sertifikasi halal tiga bulan per produk, maka masing-masing auditor memeriksa 105 produk.

Bila sertifikasi dapat diselesaikan rata dalam tiga bulan, maka waktu yang diperlukan adalah 317 bulan atau kurang lebih 26 tahun untuk menyelesaikan 3,7 juta produk UMKM. Tentu saja diperlukan upaya serius dan kecukupan anggaran dari pemerintah.

BPJPH yang Belum Siap
Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada 17 Oktober 2017 sesuai dengan UU JPH belum memberikan daya dorong bagi pertumbuhan industri halal di Tanah Air.

Kondisinya tidak berubah dari 2017 saat pembentukan sampai sekarang. Itu dikarenakan BPJPH belum mampu mencetak satu pun auditor halal dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Tentu saja ini merupakan kendala utama mengapa industri halal di Indonesia tidak cepat pertumbuhannya.

Perlu dipahami bahwa untuk membentuk LPH diperlukan syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 UU JPH, yaitu “memiliki auditor halal paling sedikit 3 (tiga) orang”.

Dengan kondisi yang demikian, peran LPPOM MUI yang telah memiliki pengalaman lebih dari 25 tahun dengan daya dukung 1.061 auditor halal dan mewakili perwakilan di 34 provinsi yang tersebar dari Aceh hingga Papua, serta memiliki kelengkapan laboratorium yang telah disertifikasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN), tentu saja harus diperkuat oleh pemerintah.

Penguatan ini baik dari sisi sumber daya, organisasi, maupun anggaran dalam rangka melaksanakan mandatory (kewajiban) sertifikasi halal sambil menunggu kesiapan BPJPH. Sehingga, pelaksanaan mandatory sertifikasi halal sebagaimana Pasal 4 UU JPH dapat dilaksanakan sesuai dengan UU.

Peralihan atau masa transisi dari LPPOM MUI ke BPJPH di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan soft landing atau baik, tidak menimbulkan keguncangan di kalangan dunia usaha dan industri.

BPJPH jangan pernah berpikir untuk menunda pemberlakuan UU dengan dalil apa pun, termasuk dengan dalih mengatur penahapan karena batas waktu penyesuaian yang diberikan UU telah berakhir lima tahun sejak berlakunya UU, yakni pada 17 Oktober 2019, mengacu pada berlakunya UU JPH yakni pada 14 Oktober 2014.

Penahapan tentu saja dapat diizinkan sepanjang berkenaan dengan industri yang memiliki spesifikasi tertentu seperti obat dan farmasi. Instrumen berupa Per aturan Presiden (Perpres) kepada LPPOM MUI untuk menjalankan kewenangan menjalankan sertifikasi halal sampai BPJPH berfungsi sebagaimana amanat Pasal 59 dan 60 UU JPH adalah yang paling reasonable dan dapat mempercepat per tumbuhan industri ha lal sesuai yang di harapkan.

Dengan begitu, pemerintah tidak melanggar ketentuan UU. Perpres yang dimak sud adalah memberikan penguatan dan landasan kepada LPPOM MUI untuk men ja lan kan ke we nang annya sesuai dengan Pasal 59 dan 60 UU JPH sampai dengan BPJPH dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga penyelenggara sistem jaminan halal di Indonesia.

Perlunya penguatan diberikan kepada LPPOM MUI tersebut dalam rangka untuk menggenjot tumbuhnya produk halal be sertifikasi. Untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan didorong untuk ekspor.

Dengan capaian target jutaan produk halal yang disertifikasi halal, kebutuhan ma sya rakat terhadap produk halal yang meliputi makanan, minuman, obat kosmetika, dan barang gunaan dapat terpenuhi dan dapat didorong untuk ekspor mengingat Indonesia menempati peringkat pertama dari 10 negara yang mengonsumsi produk halal terbesar di dunia. Total belanjanya USD170 miliar (data Global Islamic Economy Report 2018/2019).

Pola Relasi Industri keuangan syariah di Indonesia saat ini belum mampu menggarap potensi industri yang berbasis pada produk halal. Sebaliknya, industri halal yang berbasis UMKM juga tidak maksimal menggunakan jasa perbankan dan keuangan syariah.
Bahkan industri halal sekelas Indofood dengan produk Indomienya yang telah diekspor kebeberapa negara saja belum maksimal memanfaatkan jasa keuangan syariah. Inilah gambaran buram yang masih mewarnai.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pada kesempatan silaturahmi Ikatan Ekonomi Syariah Indonesia dan Masyarakat Ekonomi Syariah yang menganalogikan bahwa hubungan industri keuangan syariah dengan industri halal seperti hubungan bus dan penumpangnya.

Bus digambarkan sebagai bisnis keuangan syariah, penumpang diibaratkan sebagai industri produk halal. Bus tidak akan pernah penuh penumpang karena penumpangnya tidak merasa harus menggunakan bus tersebut. Yang banyak digunakan adalah bus lain yang dirasakan lebih mudah dan murah sehingga belum terjadi sinergi antarbus dan penumpang.

Integrasi
Dalam pandangan penulis, mengintegrasikan industri halal dengan industri keuangan syariah adalah mutlak diperlukan dengan berbagai insentif dan instru menbaik berupa kemudahan maupun regulasi dan instrumen hukum untuk menggerakkan dua industri tersebut.

Dapat dimulai dari Peraturan Gubernur Bank Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Agama, hingga Fatwa MUI yang semuanya bertujuan untuk menyinergikan dua sektor industri tersebut. Industri keuangan syariah mutlak diarahkan untuk membiayai kegiatan usaha UMKM dan medium enterprise yang berbasis produk halal, tidak untuk membiayai industri lain atau kegiatan usaha lain.

Sebaliknya, kegiatan usaha UMKM yang berbasis produk halal juga harus diarahkan menggunakan jasa perbankan syariah sehingga terjadi relasi hubungan yang saling bersinergi sesuai tujuan bahwa kegiatan usaha dan atau industri halal harus dibiayai dengan jasa keuangan syariah.

Tidak seperti yang terjadi saat ini, tidak ada konsistensi yang dilakukan oleh dua pelaku usaha tersebut sehingga tidak memacu pertumbuhan dua industri sebagaimana dimaksud. Padahal, dalam kegiatan syariah, dari hulu ke hilir proses yang dilakukan harus berbasis pada ketentuan syariah sehingga tidak menyimpang dari prinsip-prinsip industri keuangan syariah maupun industri halal.

Diharapkan pada 2019 akhir, masterplan dan tata kelola industri keuangan syariah dan industri halal dapat diimplementasikan sehingga pada 2022 Indonesia dapat menjadi industri keuangan syariah dan industri halal terkemuka di dunia.

Ini adalah tantangan yang tentu saja sangat berat sekaligus sangat menarik dan peluang bagi dunia usaha, industri, masyarakat, dan pemerintah sehingga mimpi Indonesia menjadi negara industri keuangan dan industri halal nomor satu di dunia tidak sekadar angan-angan. Momentum inilah yang harus kita man faatkan sejalan dengan kebijakan Bapak Jokowi dan Bapak KH Ma’ruf Amin yang terpilih sebagai pemimpin RI periode 2019-2024.

IKHSAN ABDULLAH
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal Indonesia Halal Watch
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4606 seconds (0.1#10.140)