Percepatan Larangan Ekspor Nikel Berpotensi Rugikan Pengusaha

Minggu, 25 Agustus 2019 - 17:07 WIB
Percepatan Larangan Ekspor Nikel Berpotensi Rugikan Pengusaha
Percepatan Larangan Ekspor Nikel Berpotensi Rugikan Pengusaha
A A A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan ingin mempercepat larangan ekspor ore (bijih nikel). Bukan tanpa alasan, percepatan larangan ini dilakukan untuk bisa meningkatkan nilai tambah terhadap produk hilirisasi. Tidak hanya itu, investasi di Indonesia juga diyakini akan meningkat. Ia memperkirakan sampai tahun 2023, bisa mencapai sekitar Rp168 triliun.

Namun rencana ini mendapat penolakan dari perusahaan nikel. Alih-alih untuk meningkatkan nilai investasi, rencana percepatan larangan ekspor bijih nikel ini dinilai justru tidak mendengar masukan langsung dari para pengusaha nikel.

Padahal, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah membentuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) untuk wadah bagi para penambang agar bisa saling tukar pikiran. Akan tetapi kenyataannya, untuk masalah ini, asosiasi tersebut tidak dilibatkan. Justru hanya sepihak mendengar masukan pengusaha dan itu dari pengusaha asing.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin, mengatakan dengan percepatan larangan eskpor ini, pengusaha berpotensi mengalami kerugian hingga Rp50 triliun. Kerugian tersebut diantaranya berasal dari pembangunan smelter yang terhambat karena dihentikannya ekspor nikel. Karena pengusaha mengandalkan hasil ekspor untuk membiayai pembangunan smelter.

"Kerugian pengusaha nasional yang masih dalam proses pembangunan smelter bisa mencapai Rp50 triliun," ujar Meidy dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Minggu (25/8/2019).

Tidak hanya itu, kekhawatiran lainnya yakni tambang nikel yang berada di sekitar wilayah smelter dapat diambil alih investor asing jika pembangunan smelter tidak dapat dilanjutkan. Selain itu, perekonomian masyarakat sekitar di lingkar tambang seperti pemilik warung serta pekerja akan kehilangan mata pencaharian.

"Satu tambang memiliki 38 operator alat berat. Operator tersebut terdiri dari operator eskavator 200 dan 300 dozer, juga dump truck. Ada pula petugas helper maintenance, dapur, pengecekan lab, dan pekerja kantor. Jika dijumlah, pekerja tersebut 98 orang, ini baru satu tambang ore (bijih nikel)," kata Meidy.

Sementara itu, Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (Cirrus), Budi Santoso, mengatakan ketika ekspor bijih nikel (ore) dilarang dan pemerintah tidak mengawasi harganya, maka berpotensi terjadi permainan harga. Praktik ini sudah terjadi, misalnya kadar nikel 1,8% dibeli dengan harga USD20, sedangkan yang kadar 1,7% saja harga pasarnya USD32.

Dampak lainnya, menurut Budi, yakni ada potensi turunnya PNBP dari sektor minerba karena ekspornya dialihkan untuk penggunaan di dalam negeri. Apalagi rencana produksi dari Freeport masih belum maksimal dalam beberapa tahun ke depan. "Jadi belum ada substitusi devisa yang didapat dari ekspor nikel," katanya.

Sehingga, alasan Menko Maritim yang ingin mempercepat larangan ekspor bijih nikel untuk meraih investasi besar tak sebanding dengan kerugian yang ada. Bahkan, larangan ini berpotensi menguntungkan segelintir pihak saja. Karena jika larangan ekspor diberlakukan segera maka harga nikel di dalam negeri akan anjlok.

Padahal sebagaimana diketahui, salah satu perusahaan nikel yang telah beroperasi di Morowali, Tsing Shan sedang membangun pabrik baterai lithium yang membutuhkan bahan baku nikel yang jika harganya turun akan sangat menguntungkannya.

Menko Maritim memang membantah jika ada lobi-lobi smelter China. Bahkan, ia memamerkan sederet angka dengan mengatakan jika ekspor nikel maka Indonesia hanya mendapat USD 600 juta sampai USD 700 juta. Sementara jika ada nilai lebih, tahun lalu misalnya, bisa ekspor stainless steel mencapai USD5,8 miliar setahun. Tahun ini bahkan bisa mencapai USD7,5 miliar dan tahun depan bisa USD12 miliar.

Jika melihat alasan tersebut, pastinya pasokan bijih nikel dalam negeri akan melimpah. Tapi, bagaimana mau mengolah jika smelternya tidak ada? Pasalnya, sampai dengan 2018, smelter sudah bisa beroperasi baru separuh dari target pemerintah yang sebanyak 57 smelter, atau baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi.

Jadi pernyataan Luhut itu dinilai sangat menyederhanakan masalah dengan asumsi pendapatan yang dikatakan bisa memperoleh ratusan triliun rupiah. Karena jika ditutup saat ini investasi baru membutuhkan waktu sampai tiga tahun. Jadi apa jaminannya jika Indonesia melakukan percepatan larangan ekspor bijih nikel akan mendapat investasi yang totalnya sangat besar tersebut, karena ini tidak ada jaminan banknya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0034 seconds (0.1#10.140)