Tahun 2024, Bisnis Ritel Global Semakin Fokus ke Online

Selasa, 10 September 2019 - 08:41 WIB
Tahun 2024, Bisnis Ritel Global Semakin Fokus ke Online
Tahun 2024, Bisnis Ritel Global Semakin Fokus ke Online
A A A
NEW YORK - Saat ini penjualan untuk ritel berbasis supermarket atau offline memang masih mendominasi dan cukup tinggi. Namun, ke depannya pada 2024, kebanyakan perusahaan ritel besar akan fokus pada penjualan online atau e-commerce.

Hanya saja, kebanyakan perusahaan ritel besar tetap mempertahankan konsep omnichannel, yakni konsep penjualan ketika pelanggan bisa menggunakan lebih dari satu cara penjualan, seperti toko ritel, e-commerce, mobile-commerce, dan social-commerce.

Konsep tersebut juga mengizinkan pelanggan untuk melakukan riset, membeli, mendapatkan, dan mengembalikan atau menukar barang dari ritel dengan muda. Perpaduan toko offline dan online pun dikuatkan karena pertumbuhan penjualan online terus merangkak naik dari tahun ke tahun. Pergerakan penjualan online yang saat ini masih menjadi pelengkap bagi perusahaan ritel terus tumbuh dibandingkan perkiraan mereka.

Ke depannya, online bukan hanya sekadar opsi, tetapi menjadi katalis bagi pertumbuhan industri ritel dunia. Hal itu diungkapkan firma riset ritel Endge by Ascential berbasis di Boston, Amerika Serikat (AS). Mereka mengungkapkan 13% dari proyek USD2,8 triliun penjualan ritel global pada 2024 dikuasai online atau USD162 miliar.

Dilihat dari persentase memang menunjukkan penjualan secara online masih minim karena mayoritas orang masih suka berbelanja langsung ke supermarket. “Kita melihat pergeseran besar ke online dan omnichannel dalam beberapa tahun ke depan untuk penjualan ritel dan grosir,” kata analis Edge by Acential, Violetta Volovich, dilansir Supermarket Perimeter.

“Halangan untuk mengadopsi dan pertumbuhan dalam sektor ini adalah perlunya perusahaan ritel meningkatkan investasi di bidang teknologi, jaringan suplai, dan kemitraan. Hal itu harus dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi pelanggan,” tuturnya.

Berdasarkan data Edge by Ascential per Juli 2019 tentang bisnis grosir, Walmart masih menjadi juara untuk penjualan, baik offline dan online di seluruh dunia. Penjualan ritel offline masih merajai di Walmart dan skala untuk penjualan online masih relatif kecil meski mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Data yang diolah Edge by Ascential itu berdasarkan informasi dari Retail Market Monitor yang menganalisis lebih dari 2.500 ritel global. Data tersebut juga membedakan antara penjualan di toko fisik dan penjualan online. Selama ini penjualan ritel online masih didominasi Amazon. Namun, Walmart juga menunjukkan daya yang terus menguat.

Misalnya, untuk sektor penjualan makanan secara online, Amazon mengalami kenaikan dari USD8 miliar menjadi USD15 miliar pada prediksi 2024. Walmart juga tidak kalah saing dengan meningkatkan pasar di sektor tersebut dari USD6 miliar menjadi USD14 miliar. Perusahaan ritel berbasis fisik kini terus meningkatkan investasi untuk transformasi digital dengan cepat.

“Sebanyak 82% perusahaan online global diperkirakan akan memperkuat format ritel omnichannel pada 2024,” demikian prediksi Edge by Ascential. Sebanyak 15% perusahaan tersebut akan menggunakan Pureplay dan 3% sisanya memanfaatkan 3P Marketplaces. Itu juga akan difasilitasi dengan memperkuat pelayanan di jejaring sosial dan mendekatkan diri dengan pelanggan.

Siapa yang akan menjadi pemain utama? Edge by Ascential memprediksi Target, Walmart, dan Kroger akan menjadi pemain utama dalam strategi penjualan dengan metode omnichannel. Itu karena mereka akan mengombinasikan toko fisik dengan penawaran klik. “Pembeli ingin mendapatkan alat yang efektif saat membeli online,” ujar Volovich.

Hal itu dibuktikan dengan banyak perusahaan ritel meluncurkan teknologi baru dengan cepat dibandingkan sebelumnya. Misalnya, Kroger kini memperkuat model bisnis e-commerce. Sedangkan Walmart memperkuat proses pengiriman barang. Kalau Amazon memperkuat AmazonFresh dan fokus mengembangkan Whole Foods untuk membangun kedekatan dengan pelanggan.

Bukan hanya peritel raksasa yang fokus ke online, perusahaan ritel independen dan regional juga memperkuat teknologinya. Misalnya, Raley’s menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk mengoptimalkan strategi penentuan harga. Kalau SpartanNash meluncurkan sistem geofencing, strategi menentukan pelanggan dengan basis lokasi.

Secara global, kawasan Asia Pasifik mengalami pertumbuhan e-commerce dalam bidang makanan atau sekitar 52% dari penjualan ritel pada 2019. Di Jepang, rival utama Walmart, Seiyu, menguji coba pengiriman barang dengan pesawat nirawak untuk mengutamakan kecepatan dan ketepatan. Di China, Hema milik Alibaba menggunakan big data untuk menentukan stok barang di toko dan diterapkan juga di pusat pengiriman data.

Inovasi juga terus berkembang di luar Asia. Jaringan supermarket Jerman, Edeka berinvestasi di Picnic, aplikasi asal Belanda untuk berekspansi ke penjualan online. Di Australia, Woolworths bermitra dengan Spoon Guru untuk menambahkan fitur makanan pada situs e-commerce-nya. Tesco juga mengeksplorasi teknologi untuk toko otomatisnya dengan Trigo Vision.

Bagi perusahaan ritel, biaya dan ketidakpastian adaptasi pelanggan dengan kehadiran di e-commerce menjadi hal yang menimbulkan ketidakpastian. Kenapa? Kebanyakan pelanggan cenderung akan melihat dan merasakan makanan yang dibeli. Sedangkan teknologi tidak mampu menawarkan hal tersebut.

Kenapa Walmart Selalu Juara?


Dalam survei terbaru yang dilaksanakan perusahaan data Second Measure mengungkapkan, sebanyak 62% pelanggan yang berbelanja menggunakan layanan pengantaran mendapatkan kepuasan dibandingkan kompetitor lainnya di AS. Itu disebabkan Walmart memiliki jaringan luas di AS. Rival utama Walmart, yakni Instacart, tidak memiliki banyak cabang di AS.

Untuk penjualan AmazonFresh memang mengalami penurunan hingga 19% dibandingkan tahun lalu. Kalau Amazon Prime Now justru mengalami peningkatan tiga kali lipat. “Walmart memiliki jaringan yang luas dibandingkan peritel lainnya. Itu menjadi keuntungan besar baginya,” demikian keterangan Second Measure.

Dalam laporan berbeda yang diungkap Institute for Local Self-Reliance menemukan bahwa Walmart menguasai 50% dari penjualan ritel dan grosir di 43 wilayah metropolitan dan 160 pasar kecil di AS. Walmart juga menguasai New York City yang menjadi pusat perebutan utama perusahaan ritel. Selain itu, Walmart juga menggandeng Capital One Financial Corp urusan kartu kredit pelanggan.

Setelah sebelumnya bermitra dengan Synchrony Financial dalam hal kartu kredit, Walmart memutuskan mengakhiri kerja sama yang telah berjalan selama dua dekade itu. Raksasa ritel Amerika Serikat (AS) itu rupanya menjatuhkan pilihan pada Capital One. “Capital One akan menerbitkan kartu kredit untuk seluruh ritel Walmart di Amerika Serikat (AS) per 1 Agustus 2019,” demikian keterangan Walmart dilansir Reuters.

Kesepakatan itu meliputi kartu kredit yang hanya bisa digunakan di situs Walmart dan toko-tokonya. Berdasarkan laporan Wall Street Journal, kemitraan dengan Walmart akan memperkuat brand Capital One di seluruh Amerika. Pada Kamis (26/7), saham Capital One langsung naik 1%, sedangkan saham Synchrony ditutup menurun hingga 10%.

“Banyak bank yang berminat untuk bermitra dengan Walmart,” kata analis dari Susquehanna Financial Group Jamie Friedman dilansir Bloomberg. Banyak bank yang sangat tergoda dengan nilai kredit ditawarkan kepada ritel kuat, seperti Walmart yang memiliki banyak pelanggan dan memiliki pola konsumsi tinggi. Bagi Synchrony, kekalahan terhadap Capital One merupakan awal kemunduran dalam berbisnis.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4913 seconds (0.1#10.140)