Kenaikan Cukai Tembakau 23% Dinilai Upaya Mematikan Petani dan Pekerja

Rabu, 18 September 2019 - 04:09 WIB
Kenaikan Cukai Tembakau 23% Dinilai Upaya Mematikan Petani dan Pekerja
Kenaikan Cukai Tembakau 23% Dinilai Upaya Mematikan Petani dan Pekerja
A A A
JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa mengkritisi kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang merencanakan kenaikan cukai tembakau 23% untuk tahun anggaran 2020. Rencana ini dinilai akan mematikan petani tembakau dan pekerja pabrik rokok. Untuk itu, PKB meminta agar kebijakan ini dipertimbangkan kembali.

"Kenaikan ini terlalu besar, lebih dua kali lipat dari kenaikan di tahun 2018 yang rata-rata sebesar 10,48%. Memang tahun ini cukai tidak naik, namun kan perhitungannya tidak perlu sampai dirapel dua kali lipat begitu. Apalagi kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) sampai dipatok 35%. Ini akan membunuh industri tembakau. Dan yang paling dulu kolaps adalah petani, pekerja rokok dan pabrik rokok kecil-menengah," kata Ketua DPP PKB bidang Ketenagakerjaan dan Migran, Dita Indah Sari di Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Dita memaparkan, kenaikan cukai dan HJE sebesar itu akan membuat volume permintaan turun drastis. Akibatnya, pembelian tembakau petani oleh pabrik rokok akan menurun sehingga jumlah dan harganya pun akan anjlok. Bukan menutup kemungkinan, industri ini mati pelan-pelan dan akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan.

"Ibu Sri, coba dipertimbangkan lagi. Ada 150 ribu buruh pabrik rokok, 90 ribu karyawan pabrikan, 1,6 juta petani cengkih, 2,3 juta petani tembakau. Belum pedagang ecerannya 2,9 juta orang. Itu efek dominonya. Lagipula rata-rata pekerja pabrik tembakau adalah perempuan, usia tua dan low skill. Industri mana lagi yang mau terima mereka? Tidak ada," pintanya.

Lebih dari itu, lanjut dia, PKB memahami kesulitan neraca penerimaan pemerintah.

Sehingga bukan hanya kenaikan cukai, pemerintah juga ingin menggenjot PPN dari tembakau. Tetapi, ia meminta agar kebijakan itu jangan sampai membunuh industri.

Cukai tidak naik sebesar itu saja industri ini sudah menurun. Datanya, pada 2012 ada sekitar 1.000 pabrik rokok, dan sekarang hanya tersisa 456 saja.

"Kenaikan sebesar ini adalah zero-sum game bagi kita semua. Enggak ada yang menang pada akhirnya. Semua kalah. Dan yang kalah duluan adalah yang kecil," ucap Dita.

Karena itu, Dia mengusulkan agar kenaikannya cukup di angka 15% saja sehingga pemerintah tetap bisa untung, dan industri rokok Tanah Air bisa tetap bertahan.

"Kenaikan di angka rata-rata 15% masih realistis. Tentu golongan Sigaret Kretek Tangan yang padat pekerja akan naik di bawah itu. Dan Sigaret Putih Mesin pasti di atas itu. Jadi cukai tetap naik, pemerintah dapat tambahan uang untuk menambal defisit, namun industri tidak mati. Kami minta dipertimbangkan lagi," usulnya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0328 seconds (0.1#10.140)