Di Balik Perang Klaim Pemimpin Pasar antara Gojek dan Grab

Rabu, 25 September 2019 - 21:58 WIB
Di Balik Perang Klaim Pemimpin Pasar antara Gojek dan Grab
Di Balik Perang Klaim Pemimpin Pasar antara Gojek dan Grab
A A A
JAKARTA - Belum lama ini dua pelaku bisnis transportasi daring (online) yaitu Grab asal Malaysia dan Gojek yang merupakan superapps karya anak bangsa, secara hampir bersamaan merilis hasil survei saling klaim. Masing-masing mengklaim sebagai pemimpin pasar industri ride hailing maupun di industri layanan pesan-antar makanan.

Menggunakan hasil riset yang dirilis oleh ABI Research, Grab menegaskan sebagai pemimpin pasar ride hailing di Indonesia. Satu hari sebelumnya Gojek melakukan press conference yang mengungkapkan hasil riset Nielsen Singapura tentang preferensi konsumen Indonesia terhadap empat layanan pesan-antar makanan berbasis aplikasi terbesar di Indonesia.

ABI Research yang diketahui berbasis di London, Inggris itu mencatat pada pasar terbesar ride hailing dunia, Grab mempertahankan pangsa pasar ride-hailing atau transportasi online sebesar 11,4%. Sedangkan di kawasan Asia-Pasifik Grab dominan di pasar Indonesia dan Vietnam.

Hasil riset ABI Research ini merupakan yang kedua oleh lembaga survei tersebut di tahun 2018, juga menunjukkan Go-Jek yang notabene pesaing terdekat Grab, hanya mampu menguasai pangsa pasar sebesar 35,3% di Indonesia dan menguasai 10,3% pasar Vietnam.

Kemudian sehari berselang, hasil riset yang bertolak belakang dirilis oleh Nielsen Singapura. Isi riset mengunggulkan posisi Gojek, terutama dalam bidang layanan pesan-antar makanan di Indonesia.

Riset yang menyoroti perihal preferensi masyarakat Indonesia terhadap empat layanan pesan-antar makanan berbasis aplikasi terbesar di Indonesia juga mengungkapkan bahwa 84% masyarakat yang menggunakan lebih dari satu aplikasi pesan-antar makanan mengakui jika GoFood menawarkan layanan pesan-antar makanan terbaik.

Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata industri (39%). Selain itu, keramahan mitra driver Gojek juga dinilai lebih baik didukung oleh aplikasi yang lebih user-friendly sehingga meningkatkan kenyamanan bertransaksi dengan GoFood.

Namun kembali, Grab ‘mendebat’ hasil riset di bidang layanan antar-pesan makanan itu dengan meluncurkan rilis yang berbasis hasil riset Kantar yang mengklaim bahwa GrabFood memiliki pangsa pasar hampir 50% atau naik 15% dari tahun lalu. Lalu diprediksi akan segera menjadi platform layanan antar-pesan makanan terbesar di Indonesia pada akhir kuartal III/2019.

Bahkan di semester I/2019, pendapatan kotor GrabFood di Asia Tenggara berkembang pesar 900%, di mana di Indonesia sendiri terjadi kenaikan GMV GrabFood hingga tiga kali lipat. “Brand GoFood memang jauh lebih popular dibandingkan Grab. Dalam bisnis layanan antar-pesan makanan, Grab adalah pemain baru, karena sebelumnya dia hanya fokus di layanan transportasi online,” tutur akademisi dan praktisi bisnis, Rhenald Kasali saat dihubungi kemarin.

Namun dengan suntikan modal segar dari Softbank, dia tidak menampik ada peluang bagi Grab untuk bisa menyaingi Gojek, baik di bidang layanan transportasi daring maupun layanan pesan-antar makanan. “Brand Go-Food masih dominan. Tapi GoFood harus lebih menggiatkan bisnisnya, guna mempertahankan posisi [pemimpin pasar],” tukasnya.

Kredibilitas Lembaga Survei


Terlepas dari perang klaim soal keunggulan masing-masing aplikator di bidangnya, muncul satu pertanyaan besar yang menyinggung soal akurasi informasi yang disampaikan. Sehingga pada akhirnya hal itupun turut mempersoalkan kredibilitas masing-masing lembaga survei yang digunakan oleh kedua aplikator tersebut.

Apalagi jika dicermati, memang ada perbedaan yang menonjol dari rilis survei yang disebarkan. ABI Research yang digunakan pihak Grab sayangnya tidak mengkonfirmasi metode penelitian yang digunakan dalam survei tersebut.

Meskipun rilis ABI Research ini mengutip James Hodgson, Smart Mobility Principal Analyst ABI Research, namun absennya metode survei dan tolok ukur yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan lembaga survei tersebut mengundang tanya terkait akurasi informasi yang disampaikan.

ABI Research diketahui berbasis di Inggris dan tidak memiliki perwakilan di Indonesia. Lembaga survei ini juga lebih banyak fokus pada riset-riset mengenai teknologi informasi terkini dan transformatif dengan menargetkan pada pasar spesifik yang memiliki dampak besar pada penggunaan teknologi dan pengguna akhir.

Hal yang sama juga terlihat dari rilis yang disebar oleh Kantar. Lembaga riset yang memiliki kantor di London, Inggris, itu juga hanya mengungkapkan wilayah survei, yaitu mencakup Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, Yogyakarta, Denpasar, Semarang, Palembang dan Manado. Namun rilis itu tidak menyebutkan metode maupun jumlah responden yang disurvei.

Padahal untuk memastikan relevansi studi yang dilakukan, informasi mengenai metode survei dan respondennya sangat dibutuhkan untuk memberikan gambaran yang jelas apakah informasi tersebut cukup akurat. Apalagi jika survei itu menyangkut preferensi konsumen.

Kemudian dalam hal mengukur keunggulan sebuah bisnis startup, yang menjadi tolok ukur adalah jumlah pengguna aktif. Tingginya jumlah pengguna aktif dari satu aplikasi startup dianggap menggambarkan tingginya tingkat interaksi pengguna dengan produk atau jasa yang ditawarkan.

Indikator ini juga seringkali digunakan sebagai parameter untuk mengukur kesehatan sebuah bisnis dan menjadi basis mengukur metrik pertumbuhan bisnis lainnya.

Di satu sisi, Nielsen dalam hal ini secara jelas merinci metode yang digunakan dalam survei, yakni metode survei online dengan melibatkan 1.000 responden di 7 kota utama di Indonesia, yaitu Jabodetabek, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Balikpapan, Medan dan Makassar.

Nielsen memang dikenal sebagai institusi yang tidak diragukan lagi dalam hal survei tentang preferensi konsumen terhadap suatu brand atau produk yang sering mereka pakai dalam kegiatan sehari-hari. Institusi ini secara terang-terangan mengklaim bahwa pihaknya memiliki panel, database yang memadai, metodologi dan teknologi yang dapat memastikan bahwa informasi yang disajikan adalah akurat.

Bahkan salah satu metode yang digunakan dalam survei Nielsen melibatkan lebih dari 250.000 panelis yang tersebar di 25 negara yang akan mencatat aktivitas pembeliannya dengan menggunakan pemindai yang terpasang di rumah.

“Kantar dan Nielsen sama-sama perusahaan multinasional yang beroperasi di banyak negara. Tapi untuk konteks riset di pasar domestik dengan cakupan nasional, saya pegang Nielsen,” ujar Rumayya Batubara, Ekonom UNAIR dan Peneliti di Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), ketika menyoroti soal kredibilitas ketiga lembaga survei tersebut.

Sementara itu, Rumayya mengakui ada kebutuhan untuk mengungkapkan hasil survei tersebut kepada publik dalam rangka untuk memberikan keyakinan kepada investor masing-masing aplikator apabila bisnis mereka bertumbuh. Namun sebagai pelopor di industri pesan-antar makanan di Tanah Air, dia menilai GoFood tentunya memiliki keunggulan dalam hal variasi menu, keramahan mitra pengemudinya, dan kecanggihan fiturnya.

“Meski Grab mati-matian, sampai bakar-bakar duit dengan memberi berbagai macam diskon, saya percaya angka yang diungkapkan Gojek itu bisa dipertanggungjawabkan. GoFood berani mengklaim pangsa pasarnya 75% dan GrabFood hanya berani mengklaim 50%, itu berarti GrabFood mengakui jika mereka tidak sebesar itu di pasar domestik. Bahkan jika didiskon dalam rangka mereka upscaling untuk kebutuhan menarik investor, real value GoFood masih unggul di kisaran 50%-60% sedangkan GrabFood sekitar 25%-30%,” pungkasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7286 seconds (0.1#10.140)