Industri Hasil Tembakau Terancam, Asosiasi Tolak Revisi PP 109

Kamis, 07 November 2019 - 08:34 WIB
Industri Hasil Tembakau Terancam, Asosiasi Tolak Revisi PP 109
Industri Hasil Tembakau Terancam, Asosiasi Tolak Revisi PP 109
A A A
JAKARTA - Para pelaku industri hasil tembakau (IHT) nasional yang tergabung dalam tiga asosiasi yakni Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) dan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) menolak r eisi PP no 109/2012.

Mereka menyatakan dengan tegas penolakan atas usulan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait rancangan revisi Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Revisi aturan tersebut dinilai mengancam keberlangsungan IHT dan mata pencaharian bagi jutaan orang yang terlibat di dalamnya. “Kami sepakat dan mendukung regulasi untuk mencegah anak-anak mengonsumsi produk tembakau sebagaimana tercantum dalam PP 109/2012, mereka bukan target konsumen kami," ujar Ketua Umum Gaprindo Muhaimin Moeftie di Jakarta, kemarin.

Bahkan, katanya, pelaku industri secara sukarela telah menjalankan program sosialisasi kepada para mitra ritel untuk tidak menjual produk tembakau kepada anak-anak. "Kami menilai bahwa Pemerintah, khususnya Kemenkes bahkan belum melakukan upaya kongkrit dalam mencegah perokok anak. Ini seolah-olah kami dihukum akibat kelalaian mereka dalam menjalankan tugasnya,” tambahnya.

Menurut Moeftie, selama beberapa tahun terakhir, IHT terus mengalami banyak tekanan regulasi yang berlebihan. Di tambah lagi, baru-baru ini melalui PMK No. 152/2019, Pemerintah memutuskan untuk menaikan tarif cukai yang sangat tinggi sebesar 23% dan harga eceran sebesar 35% yang akan diberlakukan mulai Januari 2020. Kenaikan ini merupakan kenaikan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengungkapkan, tekanan pada IHT akan mengancam seluruh mata rantai produksi yang terlibat jumlahnya mencapai 24 juta orang. Mereka terdiri dari tenaga kerja beserta keluarganya dan bisnis di bidang perkebunan, baik itu para petani tembakau dan cengkeh, para tenaga kerja pabrikan, hingga pekerja dan pemilik toko ritel serta lini usaha lain yang terkait.

Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan yang telah mengalami PHK. Jumlah produsen juga mengalami penurunan dari 4.000-an pelaku industri di tahun 2007 hingga kini hanya tersisa 700an.

“Kami mempertanyakan komitmen dari Pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang baik jika IHT terus diberikan tekanan mulai dari kenaikan cukai yang eksesif dan sekarang tiba-tiba dikejutkan dengan rancangan revisi PP 109/2012 yang sama sekali tidak pernah melibatkan para pelaku industri. Secara proses tentunya hal ini dianggap gagal karena Kemenkes tidak pernah melakukan konsultasi publik dalam penyusunannya,” tegas Henry.

Menurut Henry, revisi PP 109/2012 diformulasikan tanpa melibatkan para pelaku IHT yang merupakan pemangku kepentingan utama dalam pelaksanaan aturan tersebut. Padahal berdasarkan Undang-Undang No 12 tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang Undangan pasal 96 memandatkan bahwa setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparansi pada setiap tahap perumusan.

“Selain itu, juga harus dilengkapi dengan analisis dampak regulasi tersebut,” katanya. Pada akhirnya, lanjut Henry, para pelaku IHT yang tergabung dalam Gappri, Gaprindo, dan Formasi meminta perlindungan dari Presiden Jokowi untuk segera menghentikan pembahasan revisi PP 109/2012. Hal ini demi menjaga kelangsungan industri serta mencegah terjadinya PHK besar-besaran yang akan menambah angka pengangguran di Indonesia.

Sekjen Formasi Suharjono meminta kebijaksanaan Menteri Kesehatan, untuk mempertimbangkan kembali rancangan revisi peraturan tersebut. Pasalnya, dikhawatiran Menteri Kesehatan belum mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai isu tersebut dan dampaknya terhadap IHT yang telah menyerap lebih dari 6,1 juta tenaga kerja dari hulu hingga hilir.

Bahkan telahberkontribusi lebih dari Rp200 triliun pada penerimaan negara. “Kalau IHT terus ditekan dengan berbagai regulasi yang memberatkan. Lebih baik pemerintah tutup saja pabrik-pabrik rokok yang ada,” papar Suharjono.

Seperti diketahui, Kementerian Kesehatan sebagai pemrakarsa revisi PP 109/2012 berencana untuk memperluas ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40% menjadi 90%. Selain itu, Kemenkes juga akan melarang total promosi dan iklan di berbagai media termasuk tempat penjualan, dengan dalih adanya peningkatan prevalensi perokok anak.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7669 seconds (0.1#10.140)