Jangan Terlena Omnibus Law, Dua Masalah Krusial Perdagangan Membayangi

Selasa, 07 Januari 2020 - 22:32 WIB
Jangan Terlena Omnibus Law, Dua Masalah Krusial Perdagangan Membayangi
Jangan Terlena Omnibus Law, Dua Masalah Krusial Perdagangan Membayangi
A A A
JAKARTA - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan agar jangan terlena dengan Omnibus Law, karena Indonesia masih menghadapi dua masalah krusial yang terjadi dalam perdagangan. Ia mengingatkan, bahwa kinerja perdagangan Indonesia diperkirakan masih belum membaik dalam dua tahun terakhir ini.

"Pertama adalah masalah defisit perdagangan kita yang masih tekor, padahal kita masih belum menjadi negara perdagangan bebas. Ini terlihat dari degree of openness kita yang masih rendah," ujar Andry di Jakarta, Selasa (7/1).

Permasalahan kedua adalah ketergantungan perdagangan terhadap China, sehingga perang dagang menjadi suatu alasan sebagai kambing hitam bagi melemahnya perdagangan Indonesia. Pergolakan ekonomi dan politik China dinilainya berdampak langsung terhadap Indonesia. "Perlambatan ekonomi China memiliki dampak yang lebih besar terhadap perdagangan Indonesia dibandingkan perang dagang secara keseluruhan," tutur Andry.

Total nilai perdagangan terhadap China berkontribusi sebesar 19,7% dengan 44% ekspor Indonesia berada pada produk pertambangan dan perkebunan. Sementara impor produk elektronik dan permesinan dari China memiliki kontribusi 50% terhadap total impor.

Sambung dia menekankan, karena fokus Omnibus Law adalah penyederhanaan perizinan berusaha, maka menurutnya perlu kehati-hatian karena kegiatan ekspor dan impor akan berpotensi menjadi lebih longgar. "Memang ini akan mendorong frekuensi perdagangan tetapi akan menjadi tidak terkontrol dan perdagangan tidak berkualitas karena beberapa perizinan bisa saja dihapus. Ini perlu diwaspadai karena bisa jadi efek Omnibus Law justru akan meningkatkan defisit perdagangan kita ke depan," ucap Andry.

Lebih lanjut INDEF menyarankan perlu melakukan diversifikasi perdagangan lebih lanjut, sehingga jangan sampai ketergantungan terhadap China menjadi besar. Bukan hanya saja ekonomi yang terkena dampak, tetapi juga kebijakan yang ada bisa dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi China.

"Di saat model kerjasama perdagangan di berbagai dunia mulai mengarah pada restriksi perdagangan karena isu kedaulatan ekonomi, jangan sampai Indonesia malah terlena dengan Omnibus Law dengan memberikan karpet merah terhadap skema perdagangan yang tidak berkualitas," tegas Andry.

Restriksi itu, lanjut dia, tidak hanya melindungi produk dalam negeri, namun juga melindungi konsumen dalam negeri. "Salah satu yang perlu didukung adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai non-tariff measures yang bisa kita andalkan. Saat ini masih banyak produk dalam negeri yang belum memenuhi SNI. Alhasil, produk-produk impor mudah untuk leluasa masuk dan langsung head-to-head dengan produk kita," ungkapnya.

Permasalahannya, dari segi kualitas, produk impor yang masuk justru memiliki kualitas rendah dan konsumen yang paling dirugikan akibat hal tidak tersedianya SNI sebagai standar pada produk yang masuk ke Indonesia. "Omnibus Law tentu perlu mengakomodir kepentingan konsumen karena hal itu menjadi ruh bagi UU Perdagangan kita saat ini," tutur Andry.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5126 seconds (0.1#10.140)