OJK Beberkan Penyebab Pertumbuhan Kredit Melambat di 2019
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan penyebab pertumbuhan kredit melambat pada tahun lalu. Sebagai informasi, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan hanya mencapai 6,08% sepanjang tahun 2019, lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang tercatat 11,7%.
Realiasi itu juga lebih rendah dari target OJK yang diperkirakan kredit perbankan tumbuh 9% - 11% yoy pada 2019, usai merevisi dari target sebelumnya yang diperkirakan mampu tumbuh 13%.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan, kinerja penyaluran kredit pada tahun lalu seiring dengan lemahnya permintaan komoditas global. Selain itu, didorong korporasi di Indonesia yang lebih banyak menggunakan sumber pembiayaan dari luar negeri (offshore).
"Ini kelihatannya ada hal fundamental karena korporasi lebih banyak menggunakan sumber pembiayaan dari luar," ujar Wimboh pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020 di Hotel The-Ritz Carlton, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Menurut dia, pembiayaan dari luar negeri menjadi pilihan korporasi lantaran memiliki bunga yang murah, seiring dengan pergerakkan nilai tukar Rupiah yang trennya stabil. Tahun lalu pembiayan offshore naik 133,6% atau mencapai Rp130,4 triliun.
Selain itu, korporasi juga memiliki kecenderungan untuk melakukan investasi di instrumen Surat Berharga Negara (SBN). Pertumbuhan investasi di SBN tercatat mencapai 15,8% pada tahun lalu atau sebesar Rp97 triliun. "Hal ini menandakan positif karena sumber-sumber pembiayaan tidak hanya domestik," jelasnya.
Secara rinci, pertumbuhan kredit perbankan yang sebesar 6,08% tersebut didominasi penyaluran kredit bank BUKU IV yang tumbuh 7,8% yoy. Pertumbuhan ini lebih rendah dari tahun 2018 yang sebesar 12,26%.
Lalu BUKU III tumbuh 2,4% yoy, jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya yang tumbuh 12,32%. Untuk BUKU II penyaluran kredit tumbuh 8,38%, lebih rendah dari 2018 yang tumbuh 8,81%. Sebaliknya, BUKU I tumbuh 6,37%, lebih tinggi dari realiasi di 2018 yang sebesar 2,32%. "Pertumbuhan kredit ini ditopang oleh sektor konstruksi yang tumbuh 14,6% yoy dan rumah tangga tumbuh 6,59% yoy," katanya.
Seiring dengan pertumbuhan kredit tersebut, OJK pun mencatat rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gross perbankan sebesar 2,5%. Mengalami kenaikan dari tahun 2018 dengan NPL gross 2,37%.
Sedangkan, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan mencapai 23,3%. Lalu tingkat likuiditas tercatat cukup dengan loan to deposit ratio (LDR) sebesar 93,6%.
Kemudian net interest margin (NIM) tercatat turun menjadi 4,9% dari 5,1% di tahun 2018. Rata-rata suku bunga kredit juga tercatat turun dari 10,8% di akhir 2018 menjadi 10,5% di akhir 2019.
“Dari data ini kami optimistis stabilitas sektor perbankan ke depan akan tetap terjaga, meski pertumbuhan kredit masih berhati-hati dengan ruang likuiditas yang menyempit namun risiko kredit terjaga dengan baik,” katanya.
Realiasi itu juga lebih rendah dari target OJK yang diperkirakan kredit perbankan tumbuh 9% - 11% yoy pada 2019, usai merevisi dari target sebelumnya yang diperkirakan mampu tumbuh 13%.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan, kinerja penyaluran kredit pada tahun lalu seiring dengan lemahnya permintaan komoditas global. Selain itu, didorong korporasi di Indonesia yang lebih banyak menggunakan sumber pembiayaan dari luar negeri (offshore).
"Ini kelihatannya ada hal fundamental karena korporasi lebih banyak menggunakan sumber pembiayaan dari luar," ujar Wimboh pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020 di Hotel The-Ritz Carlton, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Menurut dia, pembiayaan dari luar negeri menjadi pilihan korporasi lantaran memiliki bunga yang murah, seiring dengan pergerakkan nilai tukar Rupiah yang trennya stabil. Tahun lalu pembiayan offshore naik 133,6% atau mencapai Rp130,4 triliun.
Selain itu, korporasi juga memiliki kecenderungan untuk melakukan investasi di instrumen Surat Berharga Negara (SBN). Pertumbuhan investasi di SBN tercatat mencapai 15,8% pada tahun lalu atau sebesar Rp97 triliun. "Hal ini menandakan positif karena sumber-sumber pembiayaan tidak hanya domestik," jelasnya.
Secara rinci, pertumbuhan kredit perbankan yang sebesar 6,08% tersebut didominasi penyaluran kredit bank BUKU IV yang tumbuh 7,8% yoy. Pertumbuhan ini lebih rendah dari tahun 2018 yang sebesar 12,26%.
Lalu BUKU III tumbuh 2,4% yoy, jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya yang tumbuh 12,32%. Untuk BUKU II penyaluran kredit tumbuh 8,38%, lebih rendah dari 2018 yang tumbuh 8,81%. Sebaliknya, BUKU I tumbuh 6,37%, lebih tinggi dari realiasi di 2018 yang sebesar 2,32%. "Pertumbuhan kredit ini ditopang oleh sektor konstruksi yang tumbuh 14,6% yoy dan rumah tangga tumbuh 6,59% yoy," katanya.
Seiring dengan pertumbuhan kredit tersebut, OJK pun mencatat rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gross perbankan sebesar 2,5%. Mengalami kenaikan dari tahun 2018 dengan NPL gross 2,37%.
Sedangkan, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan mencapai 23,3%. Lalu tingkat likuiditas tercatat cukup dengan loan to deposit ratio (LDR) sebesar 93,6%.
Kemudian net interest margin (NIM) tercatat turun menjadi 4,9% dari 5,1% di tahun 2018. Rata-rata suku bunga kredit juga tercatat turun dari 10,8% di akhir 2018 menjadi 10,5% di akhir 2019.
“Dari data ini kami optimistis stabilitas sektor perbankan ke depan akan tetap terjaga, meski pertumbuhan kredit masih berhati-hati dengan ruang likuiditas yang menyempit namun risiko kredit terjaga dengan baik,” katanya.
(ind)