Dinilai Hanya Manjakan Petani, DPR Desak Subsidi Pupuk Dicabut

Kamis, 06 Februari 2020 - 09:31 WIB
Dinilai Hanya Manjakan Petani, DPR Desak Subsidi Pupuk Dicabut
Dinilai Hanya Manjakan Petani, DPR Desak Subsidi Pupuk Dicabut
A A A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak pemerintah agar mencabut subsidi pupuk bagi petani. Anggaran subsidi yang selama ini digunakan untuk pupuk dialihkan untuk subsidi harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Hasan Aminuddin mengatakan, penyediaan subsidi pupuk hanya menimbulkan kegaduhan di lapangan. Pasalnya setiap tahun ketika akan ada pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu timbul kegaduhan.

“Isu kelangkaan pupuk selalu terjadi setiap tahun anggaran berjalan dan saat musim tanam, termasuk awal tahun ini. Di mana orang tidak punya sawah dan yang punya sawah teriak pupuk langka, sementara Kementerian Pertanian (Kementan) membantah terjadi kelangkaan. Jadi, saya mendesak supaya subsidi ini dicabut supaya tidak menimbulkan kegaduhan,” kata Hasan Aminuddin di Jakarta kemarin.

Selain itu, kebijakan subsidi pupuk ini juga terbukti tidak mampu mendongkrak produksi padi. “Sudah sering petani dimanjakan subsidi, tapi tidak ada peningkatan produksi. Saya selaku pimpinan Komisi IV DPR mendesak pemerintah mencabut subsidi pupuk,” kata Hasan Aminuddin.

Dia mengatakan bahwa subsidi pupuk hanya membuat petani terlena sehingga tidak mendidik. Untuk itu, pihaknya menyarankan supaya subsidi pupuk dicabut dan dialihkan melalui subsidi harga.

Selanjutnya para petani dididik para ahli pertanian untuk belajar bercocok tanam yang benar (goodagriculturepractices/GAP) dan beralih untuk menerima teknologi pertanian yang baru.

“Disanalah akan terjadi proses pembelajaran kepada petani bagaimana bercocok tanam yang benar. Selama ini petani sulit menerima teknologi dan tidak mau beralih dari kebiasaan menggunakan pupuk kimia kepupuk non organik sehingga produksi tidak tumbuh,” kata dia.

Dia menyarankan agar subsidi pupuk dialihkan ke subsidi harga melalui badan usaha milik desa (BUMDes), kemudian diikut sertakan dalam penyertaan modal rakyat (PMR). Dengan demikian, subsidi akan lebih tepat sasaran dan keuntungannya kembali kepada rakyat.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan bahwa desakan terkait pencabutan subsidi pupuk sudah lama terjadi. Pasalnya anggaran yang dikeluarkan negara mencapai rata-rata Rp18-20 triliun tersebut tidak mampu mendongkrak produksi. Padahal, kata dia, setiap tahun terjadi peningkatan volume pupuk yang disubsidi. “Ada dugaan bahwa meskipun subsidi dalam jumlah besar, tapi tidak signifikan mendongkrak produksi sehingga perlu dievaluasi,” kata dia.

Tidak hanya itu, pada saat petani membutuhkan seringkali pupuk tidak tersedia. Selain itu, juga tidak tepat sasaran. “Mereka yang sebetulnya bukan sasaran, tapi mendapatkan subsidi sehingga kondisi di lapangan tidak sesuai jadi bisa dikatakan tidak tepat sasaran,” kata dia.

Dia menjelaskan bahwa ada sejumlah kelompok petani yang tidak diklasifikasikan dengan benar siapa saja yang seharusnya mendapatkan subsidi. Padahal, ada petani yang punya lahan, tapi memberdayakan pekerja. Selain itu, ada petani yang bekerja di sawah, tapi tidak punya lahan atau menyewa lahan.

Bahkan ada pula petani yang tidak punya lahan, tapi bekerjasama dengan yang punya lahan dan hasilnya dibagi.

“Nah, pengelompokan dari bermacam jenis petani ini harus clear dulu walaupun subsidi memang diberikan kepada petani di bawah lahan dua hektare (ha). Sebab itu, perlu dievaluasi lebih jauh karena subsidi besar, tapi tidak efektif perlu dicarikan jalan keluar,” kata dia.

Pihaknya menyarankan supaya mekanisme diubah menjadi subsidi output. Artinya setiap hasil tani dihargai pemerintah dengan harga yang menguntungkan supaya mendapatkan jaminan harga. Kalaupun tetap subsidi input, maka produk yang disubsidi harus jelas bagi petani. “Misalnya lahan di Karawang, Jawa Barat. Itu banyak yang pemiliknya di Jakarta. Ini yang harus dievaluasi supaya tepat sasaran,” kata dia.

Diketahui, pada tahun ini pemerintah mulai menggunakan mekanisme Kartu Tani dalam penyaluran distribusi dana untuk subsidi pupuk pada 2020. Program ini akan dijalankan di beberapa provinsi terlebih dulu.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy menyebutkan, sosialisasi penggunaan Kartu Tani telah dilakukan sejak 2018 di Bali, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat. “Sisa wilayah lainnya, kami sosialisasi di 2019. Sebetulnya untuk sosia-lisasi seluruh wilayah Indonesia sudah selesai dan kami mengharapkan di 2020 bisa efektif dilaksanakan,” kata Sarwo Edhy dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Desember 2019 lalu.

Sesuai dengan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), jumlah petani yang menerima subsidi pupuk tercatat sebanyak 10,78 juta orang dengan rencana luas tanam 20,38 juta ha. Secara rinci, jumlah subsidi pupuk yang diberikan untuk jenis urea sebanyak 5,44 juta ton dan jenis NPK 6,43 juta ton.

Dari total jumlah penerima tersebut, Kartu Tani yang diterbitkan oleh tiga Bank Himbara, yakni BNI, BRI, dan Mandiri sebanyak 5,6 juta kartu. Namun, terhitung sampai 30 November 2019, kartu tersebut baru digunakan 571.396 petani atau baru sekitar 10%.

Besaran anggaran subsidi pupuk yang telah disepakati oleh Kementan dan Komisi IV DPR untuk 2020 diketahui berada di angka Rp26,62 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk pengadaan pupuk dengan volume 7,94 juta ton.
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6234 seconds (0.1#10.140)