Kewenangan Dipangkas, OJK Harus Melawan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hubungan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah benar-benar tidak harmonis, bahkan bisa dibilang diujung tanduk. Alhasil kewenangan OJK pun bakal dipangkas pemerintah. Kondisi ini membuat OJK harus melawan dengan segala kemampuannya. (Baca juga : RI Kecam Penerbitan Ulang Kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo )
Ketidakharmonisan hubungan pemerintah dan OJK memang sudah terlihat sejak awal krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini melanda Indonesia. Pemerintah saat itu menilai gerak OJK sangat lambat untuk bisa membantu pemulihan ekonomi nasional (PEN). Bahkan Presiden Jokowi dalam sebuah rapat pernah meradang, meski tidak menyebutkan nama institusi, namun dirinya mengaku siap mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). (Baca: Bos OJK Sebut Laba Perbankan Bakal Amblas 40% Tahun Ini)
Hasilnya, pemerintah dikabarkan telah menyiapkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan yang akan mengembalikan fungsi pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia (BI). Bahkan Badan Legislasi (Baleg) DPR juga telah menyiapkan Revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang BI yang tujuannya sama yakni memangkas pengawasan perbankan oleh OJK.
Menurut Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ryan Kiryanto, jika perubahan peran pengawasan itu benar akan dilakukan, maka berpotensi menimbulkan ketidaksinkronan. Pengawasan sektor jasa keuangan bisa tidak akan selaras karena pengawasan dan kebijakan yang berbeda. (Baca ini : Menlu Retno: RI Tidak Akan Jadi Basis Militer Negara Manapun! )
"Mungkin potensi miskomunikasi, miskoordinasi, bahkan disharmonisasi itu berpotensi terjadi," kata Ryan dalam konferensi pers virtual di Jakarta, kemarin.
Ryan menilai sejak berdirinya OJK kondisi sistem keuangan di Indonesia masih bisa dijaga dengan baik. Bahkan poin penting lahirnya OJK adalah pengawasan dan pembuat kebijakan yang seirama agar tidak terjadi krisis di sektor perbankan seperti yang terjadi pada 2008 lalu.
"Pengawasan jasa keuangan yang sifatnya terintegrasi, jadi ini yang dimiliki OJK. Bagi OJK tentu sampai hari ini masih solid menjalankan tupoksi kita," tegasnya.
Founder dan Ekonom Senior CORE Indonesia Hendri Saparini menilai rencana penerbitan Perppu Reformasi Sistem Keuangan dengan tujuan agar BI dan OJK lebih responsif dalam mendukung proses pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah tidak tepat. Pasalnya, proses pemulihan ekonomi yang lambat bukanlah sepenuhnya kesalahan otoritas keuangan. (Baca juga: Kepemimpinan KAMI Sudah Final, Struktur Anggota Segera Diumumkan)
Sebaliknya, lanjut dia, sepanjang pandemi Covid-19 otoritas keuangan telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi akibat Covid-19. Sedangkan rencana pengalihan fungsi pengawasan perbankan ke BI, menurut dia, tanpa adanya Perppu tersebut pun pengawasan sistem keuangan sudah dijalankan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Undang-Undang No 9 tahun 2016 yang mengatur tata cara penyelamatan sistem keuangan.
Pemindahan wewenang pengawasan perbankan kembali ke BI juga belum didasari pada alasan yang kuat, jika memang alasan adalah mendorong proses pemulihan ekonomi, maka alasan ini tidak tepat mengingat OJK telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi.
“Dengan belum jelasnya latar belakang pembentukan Perppu reformasi sistem keuangan, pemerintah, DPR, dan pihak terkait perlu menahan diri untuk tidak terburu-buru meloloskan Perppu ini,” tegasnya. (Baca juga: Pesawat Tempur Su-57 Rusia Akan Dapat 'Jubah Ajaib')
Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin mengkhawatirkan sikap tidak konsisten pemerintah terhadap pembentukan OJK akan membuat kepercayaan investor dan masyarakat terkikis. Pasalnya hal itu menyebabkan adanya ketidakpastian bila konsepnya mengembalikan lagi pengawasan perbankan kepada BI. "Itu kemungkinan sisi minus penilaian yang bisa terjadi pada pemerintah," ungkap Ferry.
Menurut dia, jika pengawasan OJK dinilai lemah, seharusnya yang diperbaiki adalah sumber daya manusianya, bukan malah memangkas kewenangannya. "Tiap lembaga pengawasan masalahnya adalah manpower dan sistem. Saya yakin seharusnya OJK bisa ditingkatkan kinerjanya sebagai otoritas yang mengawasi sektor perbankan kita seandainya manpower dan sistemnya di-upgrade terus," tegasnya.
Menurut Ekonom senior Indef, Dradjad Wibowo, rencana Perppu Reformasi Sistem Keuangan yang disiapkan pemerintah ibarat mengganti fondasi rumah tepat di saat terjadi badai. Seharusnya lembaga pemerintah agar jangan saling membongkar fondasi rumah di saat terjadi badai. Namun yang harus dilakukan adalah memperbaiki dan memperkuat pintu atau jendela rumah agar kuat diterpa angin kencang.
“Jangan bongkar fondasinya. Tapi cukup sekedar perkuat pintu atau jendelanya. Artinya perkuat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau Kemenkeu," ujar Drajad. (Baca juga: Pesta Gay di Kuningan Jakarta Digerebek, Puluhan Pria Diamankan Polisi)
Dia sependapat jika rencana penerbitan Perppu disebakan masalah kurang harmonisnya antar-otoritas dan solusi yang tidak sinkron. Karena itu harusnya sinkronkan setiap kekurangan regulator dan mau saling melihat kemampuan."Solusinya perampingan dan screening untuk persiapkan diri. Jadi solusinya bukan perppu," tegasnya.
Mengeluarkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan akan memberikan kesan bahwa pemerintah sedang bingung dan panik. Ini akan menghasilkan efek berantai yang buruk. "Bila alasannya genting akan memberikan kesan pemerintah bingung dan panik, semua ditabrak," ungkapnya.
Drajat mengatakan, upaya mencegah krisis di tengah pandemi bukan Perppu reformasi keuangan yang diperlukan, tapi penguatan lembaga-lembaga yang ada dalam KSSK, termasuk LPS dan perampingan penanganan bank bermasalah karena di UU LPS dan lainnya memungkinkan hal tersebut.
Sementara, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menegaskan, kebijakan pengeluaran Perppu harus karena sebuah kondisi genting lantaran adanya kekosongan aturan hukum. Bila tidak, maka pembentukan undang-undang harus dilakukan dengan cara yang normal, yakni lewat pengajuan rancangan undang-undang. Jika dilakukan tanpa itu akan membuat penerbitan perppu menjadi ilegal karena melanggar UUD. (Lihat videonya: Lonjakan Pasien Corona di RSUP Persahabatan Jakarta Timur)
“Perppu bukan hak sewenang-wenang presiden. Bahkan untuk direncanakan juga tidak boleh. Kasihan bila Presiden Jokowi nanti dilengserkan hanya karena pembisik yang menyarankan dibutuhkan perppu,” ucapnya. (Hafid Fuad/Rakhmat Baihaqi)
Ketidakharmonisan hubungan pemerintah dan OJK memang sudah terlihat sejak awal krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini melanda Indonesia. Pemerintah saat itu menilai gerak OJK sangat lambat untuk bisa membantu pemulihan ekonomi nasional (PEN). Bahkan Presiden Jokowi dalam sebuah rapat pernah meradang, meski tidak menyebutkan nama institusi, namun dirinya mengaku siap mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). (Baca: Bos OJK Sebut Laba Perbankan Bakal Amblas 40% Tahun Ini)
Hasilnya, pemerintah dikabarkan telah menyiapkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan yang akan mengembalikan fungsi pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia (BI). Bahkan Badan Legislasi (Baleg) DPR juga telah menyiapkan Revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang BI yang tujuannya sama yakni memangkas pengawasan perbankan oleh OJK.
Menurut Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ryan Kiryanto, jika perubahan peran pengawasan itu benar akan dilakukan, maka berpotensi menimbulkan ketidaksinkronan. Pengawasan sektor jasa keuangan bisa tidak akan selaras karena pengawasan dan kebijakan yang berbeda. (Baca ini : Menlu Retno: RI Tidak Akan Jadi Basis Militer Negara Manapun! )
"Mungkin potensi miskomunikasi, miskoordinasi, bahkan disharmonisasi itu berpotensi terjadi," kata Ryan dalam konferensi pers virtual di Jakarta, kemarin.
Ryan menilai sejak berdirinya OJK kondisi sistem keuangan di Indonesia masih bisa dijaga dengan baik. Bahkan poin penting lahirnya OJK adalah pengawasan dan pembuat kebijakan yang seirama agar tidak terjadi krisis di sektor perbankan seperti yang terjadi pada 2008 lalu.
"Pengawasan jasa keuangan yang sifatnya terintegrasi, jadi ini yang dimiliki OJK. Bagi OJK tentu sampai hari ini masih solid menjalankan tupoksi kita," tegasnya.
Founder dan Ekonom Senior CORE Indonesia Hendri Saparini menilai rencana penerbitan Perppu Reformasi Sistem Keuangan dengan tujuan agar BI dan OJK lebih responsif dalam mendukung proses pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah tidak tepat. Pasalnya, proses pemulihan ekonomi yang lambat bukanlah sepenuhnya kesalahan otoritas keuangan. (Baca juga: Kepemimpinan KAMI Sudah Final, Struktur Anggota Segera Diumumkan)
Sebaliknya, lanjut dia, sepanjang pandemi Covid-19 otoritas keuangan telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi akibat Covid-19. Sedangkan rencana pengalihan fungsi pengawasan perbankan ke BI, menurut dia, tanpa adanya Perppu tersebut pun pengawasan sistem keuangan sudah dijalankan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Undang-Undang No 9 tahun 2016 yang mengatur tata cara penyelamatan sistem keuangan.
Pemindahan wewenang pengawasan perbankan kembali ke BI juga belum didasari pada alasan yang kuat, jika memang alasan adalah mendorong proses pemulihan ekonomi, maka alasan ini tidak tepat mengingat OJK telah menjalankan perannya dalam membantu proses pemulihan ekonomi.
“Dengan belum jelasnya latar belakang pembentukan Perppu reformasi sistem keuangan, pemerintah, DPR, dan pihak terkait perlu menahan diri untuk tidak terburu-buru meloloskan Perppu ini,” tegasnya. (Baca juga: Pesawat Tempur Su-57 Rusia Akan Dapat 'Jubah Ajaib')
Chief Economist TanamDuit Ferry Latuhihin mengkhawatirkan sikap tidak konsisten pemerintah terhadap pembentukan OJK akan membuat kepercayaan investor dan masyarakat terkikis. Pasalnya hal itu menyebabkan adanya ketidakpastian bila konsepnya mengembalikan lagi pengawasan perbankan kepada BI. "Itu kemungkinan sisi minus penilaian yang bisa terjadi pada pemerintah," ungkap Ferry.
Menurut dia, jika pengawasan OJK dinilai lemah, seharusnya yang diperbaiki adalah sumber daya manusianya, bukan malah memangkas kewenangannya. "Tiap lembaga pengawasan masalahnya adalah manpower dan sistem. Saya yakin seharusnya OJK bisa ditingkatkan kinerjanya sebagai otoritas yang mengawasi sektor perbankan kita seandainya manpower dan sistemnya di-upgrade terus," tegasnya.
Menurut Ekonom senior Indef, Dradjad Wibowo, rencana Perppu Reformasi Sistem Keuangan yang disiapkan pemerintah ibarat mengganti fondasi rumah tepat di saat terjadi badai. Seharusnya lembaga pemerintah agar jangan saling membongkar fondasi rumah di saat terjadi badai. Namun yang harus dilakukan adalah memperbaiki dan memperkuat pintu atau jendela rumah agar kuat diterpa angin kencang.
“Jangan bongkar fondasinya. Tapi cukup sekedar perkuat pintu atau jendelanya. Artinya perkuat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau Kemenkeu," ujar Drajad. (Baca juga: Pesta Gay di Kuningan Jakarta Digerebek, Puluhan Pria Diamankan Polisi)
Dia sependapat jika rencana penerbitan Perppu disebakan masalah kurang harmonisnya antar-otoritas dan solusi yang tidak sinkron. Karena itu harusnya sinkronkan setiap kekurangan regulator dan mau saling melihat kemampuan."Solusinya perampingan dan screening untuk persiapkan diri. Jadi solusinya bukan perppu," tegasnya.
Mengeluarkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan akan memberikan kesan bahwa pemerintah sedang bingung dan panik. Ini akan menghasilkan efek berantai yang buruk. "Bila alasannya genting akan memberikan kesan pemerintah bingung dan panik, semua ditabrak," ungkapnya.
Drajat mengatakan, upaya mencegah krisis di tengah pandemi bukan Perppu reformasi keuangan yang diperlukan, tapi penguatan lembaga-lembaga yang ada dalam KSSK, termasuk LPS dan perampingan penanganan bank bermasalah karena di UU LPS dan lainnya memungkinkan hal tersebut.
Sementara, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menegaskan, kebijakan pengeluaran Perppu harus karena sebuah kondisi genting lantaran adanya kekosongan aturan hukum. Bila tidak, maka pembentukan undang-undang harus dilakukan dengan cara yang normal, yakni lewat pengajuan rancangan undang-undang. Jika dilakukan tanpa itu akan membuat penerbitan perppu menjadi ilegal karena melanggar UUD. (Lihat videonya: Lonjakan Pasien Corona di RSUP Persahabatan Jakarta Timur)
“Perppu bukan hak sewenang-wenang presiden. Bahkan untuk direncanakan juga tidak boleh. Kasihan bila Presiden Jokowi nanti dilengserkan hanya karena pembisik yang menyarankan dibutuhkan perppu,” ucapnya. (Hafid Fuad/Rakhmat Baihaqi)
(ysw)