Pembangkit Tenaga Nuklir Harus Perhatikan Aspek Promosi dan Pengawasan
loading...
A
A
A
JAKARTA – Ketua Perkumpulan Profesi Nuklir Indonesia (Apronuki) Besar Winarto menilai energi nuklir perlu diatur dalam dua aspek undang-undang. Pertama, aspek promosi yang mengatur perencanaan terkoordinasi secara nasional pembangunan teknologi nuklir untuk meningkatkan ketahanan ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Aspek kedua yakni pengawasan untuk menjamin pencapaian rencana pembangunan ketenaganukliran nasional dengan selamat, aman, safeguards dan perlindungan lingkungan yang memadai.
(Baca juga:Penggunaan Energi Nuklir Setara dengan Pengurangan Emisi CO2 dari 400 Juta Mobil)
“Perlu ada Undang-Undang (UU) tenaga nuklir yang mencakup dua aspek, yaitu aspek promosi dan aspek pengawasan,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Rabu (25/11/2020).
Menurut dia, dua aspek tersebut sebaiknya dibentuk sendiri dalam UU seperti di Korea yang memiliki satu UU mengenai aspek keselamatan dan lima UU aspek promosi. “Di Indonesia sendiri mungkin salah satu dari kelima itu adalah Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dari segi promosi. Tapi UU aspek pengawasannya tetap yang masuk di Prolegnas karena titik beratnya di safety, security, dan safeguard,” jelasnya.
(Baca juga:Foto Drone Ungkap Pangkalan Rahasia Gudang Senjata Nuklir Inggris)
Winarto menuturkan, pemerintah harus hadir sebagai pemegang kebijakan dalam pengembangan pembangkit tenaga nuklir. Sejauh ini hanya ada Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Selain itu perlu diperkuat oleh payung hukum setara dengan UU.
(Baca juga:Khamenei Tolak Renegosiasi Kesepakatan Nuklir)
“Maka secara umum kelembagaannya dari pemerintah sendiri harus hadir sebagai pemegang kebijakan. Kemudian badan pengawasan sebagai pelaksana pengawas dan penanggungjawab operasinya,” tuturnya.
Aspek kedua yakni pengawasan untuk menjamin pencapaian rencana pembangunan ketenaganukliran nasional dengan selamat, aman, safeguards dan perlindungan lingkungan yang memadai.
(Baca juga:Penggunaan Energi Nuklir Setara dengan Pengurangan Emisi CO2 dari 400 Juta Mobil)
“Perlu ada Undang-Undang (UU) tenaga nuklir yang mencakup dua aspek, yaitu aspek promosi dan aspek pengawasan,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, Rabu (25/11/2020).
Menurut dia, dua aspek tersebut sebaiknya dibentuk sendiri dalam UU seperti di Korea yang memiliki satu UU mengenai aspek keselamatan dan lima UU aspek promosi. “Di Indonesia sendiri mungkin salah satu dari kelima itu adalah Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dari segi promosi. Tapi UU aspek pengawasannya tetap yang masuk di Prolegnas karena titik beratnya di safety, security, dan safeguard,” jelasnya.
(Baca juga:Foto Drone Ungkap Pangkalan Rahasia Gudang Senjata Nuklir Inggris)
Winarto menuturkan, pemerintah harus hadir sebagai pemegang kebijakan dalam pengembangan pembangkit tenaga nuklir. Sejauh ini hanya ada Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Selain itu perlu diperkuat oleh payung hukum setara dengan UU.
(Baca juga:Khamenei Tolak Renegosiasi Kesepakatan Nuklir)
“Maka secara umum kelembagaannya dari pemerintah sendiri harus hadir sebagai pemegang kebijakan. Kemudian badan pengawasan sebagai pelaksana pengawas dan penanggungjawab operasinya,” tuturnya.
(dar)