Tarik Ulur UMP 2021

Jum'at, 27 November 2020 - 11:15 WIB
loading...
Tarik Ulur UMP 2021
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Hampir tiap tahun upah minimal provinsi (UMP) selalu saja menjadi polemik. Biasanya yang dipersoalkan besaran nilai UMP.



Namun kini beda. Hal yang dipersoalkan ada tidaknya kenaikan UMP. Tentu saja kalangan pekerja/buruh menuntut adanya kenaikan, sementara pengusaha bersikap sebaliknya. (Baca: Ketika Ujian Kekurangan Harta Menerpa)

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah pun turun tangan. Sebagai regulator, Menaker meminta pemerintah daerah (pemda) tidak menaikkan UMP pada 2021 . Beleid itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor M/11/HK.04/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Penerbitan SE tersebut diklaim telah berdasarkan kajian yang dilakukan secara mendalam oleh Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) terkait dampak Covid-19 terhadap pengupahan. Pandemi Covid-19 telah berdampak pada kondisi perekonomian dan kemampuan perusahaan dalam memenuhi hak pekerja/buruh, termasuk dalam membayar upah.

Keputusan Menaker itu pun menuai penolakan. Bendahara Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Andi Gani (KSPSI AGN) Mustopo menuturkan, keputusan Menaker ini menjadi dilema bagi nasib pekerja. Penetapan UMP 2021 bukan menjadi ukuran normal dengan kondisi pandemi yang sudah berjalan sembilan bulan. (Baca juga: Mendikbud: Hak untuk Guru Akan Terus Diperjuangkan)

Menurut dia, masih banyak perusahaan yang tidak terdampak pandemi Covid-19. “Tapi dengan adanya surat edaran (SE) dari Ibu Menaker pimpinan perusahaan akan melaksanakan SE tersebut,” katanya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menuturkan, untuk menentukan UMP adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015, bukan SE Menaker. Karena itu, Said Iqbal meminta para kepala daerah untuk tidak mengikuti terbitnya SE Menaker tersebut.

“Cara menghitung kenaikan UMP, UMK, UMSK adalah dengan cara menghitung inflasi plus pertumbuhan ekonomi dari September 2019 hingga September 2020. Dengan menghitung itu bisa dipastikan September 2019 sampai September 2020 inflasi plus pertumbuhan ekonomi itu masih plus,” katanya.

Sekali pun adanya persoalan resesi ekonomi, Said menyebut hitung-hitungan dari Maret sampai September 2020 pertumbuhan ekonomi minus 8,22%, namun secara total dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi angkanya masih plus. (Baca juga: 5 Fakta Menarik Perilaku Trraveling di Liburan Akhir Tahun)

Seakan mendengar tuntutan kalangan buruh, saat ini ada enam provinsi yang menaikkan UMP . Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, dan Bengkulu. “Jadi, sudah ada enam provinsi yang menetapkan UMP 2021 lebih tinggi dari 2020,” ujar Menteri Ida dalam rapat secara virtual, Rabu (25/11).

Menurut Menaker, ada 27 provinsi lain yang tak menaikkan UMP di tahun depan. Ada satu provinsi, Gorontalo, yang belum menetapkan kebijakan UMP-nya untuk 2021.

Ida mengatakan, penetapan UMP ini akan diputuskan oleh Kemenaker pada akhir tahun. Nantinya, Menaker akan membuat aturan dan penetapan di setiap wilayah. “Itu masih kita tunggu dan keputusannya akhir tahun kita akan umumkan,” ucapnya.

Jika kalangan buruh mengapresiasi kenaikan UMP di enam provinsi tersebut, tidak demikian dengan pengusaha. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang masih terkontraksi negatif dan proyeksi inflasi 2021-2022 tidak memungkinkan pengusaha menaikkan UMP. (Baca juga: Sandiaga Uno Berpeluang besar Gantikan Edhy Prabowo di Kabinet)

Bahkan, kebijakan para gubernur tersebut dinilai kontradiktif dengan kondisi saat ini. “Akibat inflasinya rendah sehingga kondisi inilah yang kita lihat tidak memungkinkan upah dinaikkan. Namun, beberapa daerah sudah memutuskan naik. Kami menyesalkan kenaikan (upah) itu,” ujarnya.

Hariyadi menilai, dalam kondisi pandemi seperti saat ini, UMP 2021 justru direkomendasikan untuk tidak dinaikkan karena jika menggunakan formula penentuan upah minimum pada PP Nomor 78/2015, UMP justru bakal turun. “Kalau pakai rumus itu hasilnya negatif karena ekonomi kita minus 5,32% (kuartal II) dan inflasi 1,24%. Jadi kalau ditambahkan, masih minus 3%. Enggak mungkin kalau pakai formula minus, yang ada nanti upahnya turun sehingga direkomendasikan upahnya tetap,” katanya.

Pengamat ekonomi Nailul Huda mengatakan, UMP layak dinaikkan, meskipun persentase kenaikannya rendah. Hal ini dikarenakan masih terjadi inflasi secara tahunan, meskipun pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi. Artinya, akan tetap terjadi kenaikan harga-harga secara umum tahun depan. (Lihat videonya: Satu Desa Positif Terpapar Covid-19 di Purbalingga)

Hal senada dikatakan ekonom Indef Didin S Damanhuri. Sebaiknya UMP 2021 disesuaikan dengan kondisi perekonomian 2021. Jika tidak, buruh akan makin turun daya belinya sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dari pengalaman krisis besar sebelumnya, pendekatan demand side, termasuk mempertahankan daya beli buruh, justru akan tepat untuk keluar dari krisis. “Menahan upah buruh itu supply side approach yang tidak kompatibel untuk mempercepat pemulihan ekonomi,” ujarnya. (Rina Anggraeni/Kunthi Fahmar Sandy/Aditya Pratama/Suparjo Ramalan)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1704 seconds (0.1#10.140)