KPK Telusuri Proses Penyidikan Bea Cukai Soetta Terkait Penyeludupan Benur

Selasa, 19 Januari 2021 - 09:49 WIB
loading...
KPK Telusuri Proses Penyidikan Bea Cukai Soetta Terkait Penyeludupan Benur
KPK menelusuri proses penyidikan yang dilakukan Tim penyidik Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta pada 14 perusahaan yang diduga terlibat dalam penyeludupan benur lobster. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri proses penyidikan yang dilakukan Tim penyidik Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta pada 14 perusahaan yang diduga terlibat dalam penyeludupan benur lobster. Hal ini dikonfirmasi ke Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta, Finari Manan.

Finari diperiksa sebagai saksi pada Senin, 18 Januari 2021, kemarin untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito. "Finari Manan (Kepala Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta) di dalami pengetahuannya terkait dengan kegiatan penyidikan oleh Tim Penyidik Bea Cukai Soetta bagi 14 perusahaan," ujar Plt Juru bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (19/1/2021).

KPK, kata Ali, menduga Finari tahu betul adanya proses penyeludupan benih benur lobster yang dilakukan 14 perusahaan. Ke 14 perusahaan itu diduga menjadi rekanan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait ekspor benur. "14 perusahaan yang diduga terlibat penyelundupan benih benur lobster pada kurun waktu 15 September 2020," kata Ali.

Diketahui KPK telah menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka penerima suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 alias suap ekspor benur lobster. Selain Edhy, KPK juga telah menetapkan enam tersangka lainnya dalam kasus ini. Mereka adalah Stafsus Menteri KKP, Safri; staf khusus Menteri KKP, Andreau Pribadi Misata (APM). Kemudian, Pengurus PT ACK, Siswadi (SWD); Staf Istri Menteri KKP, Ainul Faqih (AF); dan Amiril Mukminin (AM). Sementara satu tersangka pemberi suap yakni, Direktur PT DPPP, Suharjito (SJT).

Edhy bersama Safri, Andreau Pribadi Misanta, Siswadi, Ainul Faqih, dan Amril Mukminin diduga menerima suap sebesar Rp10,2 miliar dan USD100 ribu dari Suharjito. Suap tersebut diberikan agar Edhy memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benur. Perusahaan Suharjito telah 10 kali mengirim benih lobster dengan menggunakan jasa PT Aero Citra Kargo (PT ACK). Untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT Aero Citra Kargo dengan biaya angkut Rp 1.800/ekor. Diduga upaya suap itu dimulai dengan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster yang diterbitkan Edhy pada 14 Mei 2020.

Sebagian uang suap tersebut digunakan oleh Edhy dan istrinya Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton serta baju Old Navy.

Atas perbuatannya, para penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan sebagai pemberi suap, SJT disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3440 seconds (0.1#10.140)