Harga Batu Bara Makin Perkasa, Haruskah PLN Waspada?

Minggu, 11 Juli 2021 - 20:42 WIB
loading...
Harga Batu Bara Makin Perkasa, Haruskah PLN Waspada?
Harga batu bara berperan penting terhadap kinerja keuangan penyedia tenaga listrik. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kenaikan harga batu bara belakangan ini diyakini bakal memengaruhi kinerja badan usaha penyedia tenaga listrik, tak terkecuali PLN sebagai pemasok utama listrik Indonesia. Tercatat, harga kontrak ICE NewCastle Coal periode Juli 2021 sebesar USD143/ton. Sedangkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) Indonesia untuk Juli 2021 ditetapkan sebesar 115,35 USD/ton.

Untungnya, perusahaan listrik pelat merah itu terlindungi oleh mekanisme domestic market obligation (DMO) serta harga khusus yang diatur melalui Kepmen ESDM No.261K/30/MEM/2019 dan Kepmen ESDM No.255.K/30/MEM/2020. Melalui Kepmen ESDM tersebut, jika harga HBA di atas USD70/ton, maka harga jual ke PLN ditetapkan sebesar USD70/ton. Jika HBA di bawah USD70/ton, maka harga jual ke PLN ditetapkan sesuai HBA.



Sementara, kebutuhan batu bara PLN tahun 2021, 2022, 2023 dan 2024 masing-masing direncanakan sebesar 121 juta ton, 129 juta ton, 135 juta ton, dan 137 juta ton. Menilik besarnya kebutuhan tersebut, dikaitkan dengan kinerja PLN saat ini, meningkatnya harga batu bara menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro harus menjadi perhatian pemerintah dan PLN.

"Jika mengacu pada HBA dan nilai tukar rupiah saat ini, pada tahun 2021 PLN memerlukan biaya tambahan untuk pengadaan batu bara sekitar Rp78,95 triliun, jika harga DMO batu bara untuk listrik ditiadakan," ungkap Komaidi melalui risetnya yang dikutip Minggu (11/7/2021).

Berdasarkan catatan tersebut, kata dia, hampir dapat dipastikan PLN sulit membukukan laba jika harga DMO batu bara ditiadakan. Sebab, tanpa harga DMO, akan ada tambahan biaya pembelian batu bara sebesar Rp78,95 triliun. Sementara, laba tertinggi yang dapat dibukukan PLN selama 2010-2020 tercatat hanya Rp11,57 triliun. "Artinya masih jauh di bawah potensi tambahan biaya yang sebesar Rp78,95 triliun tersebut," ujarnya.

Karena itu, Komaidi menilai pemerintah wajib mendukung perbaikan kinerja BUMN kelistrikan tersebut. Komaidi menilai, kebijakan TDL dan subsidi listrik pemerintah cenderung kurang konsisten, dan itu berdampak terhadap kinerja keuangan PLN yang menjadi kurang optimal. "Laba bersih yang berhasil dibukukan PLN relatif lebih rendah dari potensinya," cetusnya.

Data menunjukkan, selama 2010-2020, laba yang dibukukan PLN berkisar Rp3 triliun–Rp11,57 triliun. Laba tertinggi dibukukan PLN pada 2014 sebesar Rp11,06 trilun dan tahun 2018 sebesar Rp11,57 triliun. Sedangkan pada 2020 lalu PLN membukukan laba sebesar Rp5,99 triliun.

Di bagian lain, imbuh Komaidi, utang PLN yang pada 2020 dilaporkan mencapai Rp649 triliun juga perlu menjadi perhatian. Sisi positifnya, tegas dia, pertumbuhan utang PLN disertai dengan tumbuhnnya aset. "Selama 2010-2020, rata-rata pertumbuhan utang PLN sekitar 10,31% per tahun. Sementara, pada periode yang sama aset PLN ratarata tumbuh 17,93% per tahun," paparnya.

Namun, lanjut dia, data menunjukkan bahwa kemampuan PLN dalam menghasilkan laba dari aset yang dipergunakan relatif rendah. Selama periode 2010-2020 Return On Total Assets (ROA) PLN sebesar 0,40%, jauh di bawah ROA Singapore Power yang sekitar 6%. Dia menambahkan, standar industri menetapkan batasan ROA yang dikategorikan baik adalah 5,98%.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2663 seconds (0.1#10.140)