Harga Pasaran EBT Sudah Murah, Tidak Perlu Dimahalkan Lagi

Kamis, 23 September 2021 - 13:12 WIB
loading...
Harga Pasaran EBT Sudah Murah, Tidak Perlu Dimahalkan Lagi
Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) awal pekan ini kembali menegaskan komitmen Pemerintah untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan
A A A
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) awal pekan ini kembali menegaskan komitmen Pemerintah untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri.

Arifin Tasrif menyebutkan, dari proyeksi kebutuhan listrik tahun 2060 sebesar 1.885 TWh, sebesar 635 gigawatt (GW) ditargetkan dipenuhi oleh pembangkit listrik berbasis EBT.

Menanggapi rencana Pemerintah untuk mengembangkan EBT secara masif, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) Mukhtasor mengingatkan bahwa kebijakan atau Undang-Undang (UU) tentang EBT sepatutnya tetap mengikuti konstitusi yang sudah ada.

Dalam hal ini, mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) itu mengatakan, strategi transisi energi yang ditempuh harus sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Konsep yang ada sekarang, tegas dia, harus diperbaiki supaya cocok dengan UU tersebut.
Harga Pasaran EBT Sudah Murah, Tidak Perlu Dimahalkan Lagi

"Di antara program yang diatur oleh UU itu, saya menyebutnya adalah program transisi energi khas Indonesia. Jadi khas Indonesia, bukan program yang mencontoh negara lain. Karena kalau mencontoh negara lain, kemandirian dan kedaulatan kita dalam mengelola energi ini tidak terjadi dan itu akan membahayakan kemampuan negara untuk melanjutkan program ini," ujarnya kepada SINDOnews.

Transisi energi, kata Mukhtasor, jangan sampai membuat harga EBT menjadi mahal. UU EBT harus berada dalam kepentingan negara. "Jangan sampai memahalkan harga EBT, padahal situasinya saat ini harganya sudah makin murah," katanya.

Potensi mahalnya harga EBT, jelas dia, muncul dengan adaya skema feed in tariff di Rancangan UU EBT. Dengan skema ini, penentuan tarif listrik EBT ditentukan dari awal. Skema ini akan menjadi beban bagi PLN sebagai off-taker listrik berbasis EBT karena harga sudah ditentukan tanpa bisa dinegosiasikan ke depan.

Dia menambahkan, skema feed in tariff masih wajar di masa lalu karena EBT dan pengelolaannya masih mahal. Tetapi dengan perkembangan teknologi saat ini, harga EBT sudah lebih murah. Dia mencontohkan harga listrik PLTS Cirata terbaru yang hanya sekitar USD5,8 sen/kWh.

"Kalau situasinya sudah murah, tapi ditetapkan RUU pada harga mahal dan APBN harus nomboki selisihnya, kita ini kayak kesiangan. Negara lain sudah melakukan itu di masa lalu saat harga mahal, tapi kita melakukannya pas sudah murah, ini harga pasar sudah terbentuk dan efisiensi, kalau dimahalkan lagi, berarti Pemerintah intervensi memahalkan harga," cetusnya.

Masalah penurunan emisi karbon, sambung dia, juga bukan hanya masalah menggenjot EBT. Ada banyak hal, termasuk juga mengefisienkan penggunaan energi fosil.

"Saya berpesan kepada DPR dan pemerintah, harus membaca dokumen dengan hati-hati. Jangan terkena opini emisi karbon itu, sehingga dimanfaatkan untuk memahalkan harga," ucapnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1785 seconds (0.1#10.140)