Harga Pupuk Non Subsidi Melonjak Tinggi, Petani Sawit Menjerit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Para petani sawit mengeluhkan harga pupuk non subsidi yang melonjak tinggi dalam delapan bulan terakhir. Harga pupuk baik tunggal maupun pupuk majemuk naik antara 70%-120%.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengungkapkan petani sawit dikatakan penyelamat ekonomi dan pahlawan devisa. Di saat harga tandang buah segar (TBS) sawit tinggi, petani tidak dapat menikmati dan melanjutkan rencana peningkatan produktivitas. Sebab, harga pupuk naik sangat tinggi melebihi kenaikan harga TBS sawit.
“Akan tetapi, di saat yang bersamaan kami diobok-obok semuanya oleh pelaku produsen pupuk,” ujar Gulat Manurung dalam webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema “Perbaikan Tata Kelola Pupuk: Realitas dan Fakta”, Jumat (29/10).
(Baca juga:Pupuk Bersubsidi Sempat Hilang, Petani Terpaksa Beli Pupuk Nonsubsidi)
Menurut Gulat, para petani sawit selama ini dianaktirikan oleh pemerintah. Di mana para petani sawit tidak mendapatkan jatah pupuk bersubsidi. Pupuk bersubsidi hanya dialokasikan kepada para petani yang menanam tanaman pangan.
“Saya sebagai Ketua (Apkasindo) sudah kehabisan kata-kata untuk menahan amarah petani sawit dari 144 kabupaten/kota se-Indonesia. Semua bermula melihat fakta harga pupuk non subsidi meroket tajam hingga 120%,” kata Gulat.
Ia mempertanyakan kenaikan harga pupuk yang mengikuti kenaikan harga TBS sawit. Petani sawit meminta pemerintah untuk segera mencari tahu penyebab kenaikan harga pupuk dan meminta pabrik pupuk pelat merah jangan ikut-ikutan menaikkan harga.
(Baca juga:Pasarkan Tiga Produk Baru, Petrokimia Gresik Perkuat Pasar Pupuk Non Subsidi)
Harusnya, kata Gulat, PT Pupuk Indonesia (Persero) atau Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) menjadi kontrol terhadap harga pupuk di dalam negeri, bukan sebaliknya malah ikut-ikutan menaikkan harga.
“Kami (petani sawit) tidak pernah menuntut (mendapatkan) pupuk subsidi. Kami hanya minta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk non subsidi,” terang dia.
Gulat mengatakan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terancam gagal karena anggaran biaya PSR sudah berantakan akibat kenaikan harga pupuk. Sebagai contoh dalam anggaran PSR pupuk urea telah ditetapkan Rp4.500/kg. Namun sekarang sudah mencapai di atas Rp6.000/kg.
(Baca juga:Pupuk Kaltim Siapkan Pupuk Non Subsidi Daun Buah untuk Sulsel)
Dikatakan Gulat, selama ini petani sawit sudah sangat tertekan dengan adanya kebun sawit petani yang berada di kawasan hutan. Namun sekarang para petani sawit tambah lagi persoalan yakni membubungnya harga pupuk. “Melambungnya harga pupuk ini sudah KLB (kejadian luar biasa). Ironisnya, di saat yang bersamaan kementerian terkait (Kementerian BUMN dan Kementan) semua terkesan tiarap.
Harga pupuk dipengaruhi tiga faktor utama yakni nilai tukar rupiah terhadap dolar, transportasi dan bahan dasar pupuk tersebut. Menurut pengamatan Gulat, ketiga faktor tersebut dalam keadaan normal, kecuali bahan baku yang sedikit naik. Namun hal ini idealnya tidak mengakibatkan harga naik signifikan. “Kami berharap Komisi IV DPR bisa segera memanggil kementerian terkait untuk mengevaluasinya. Ini sudah KLB” ujar dia.
Harga pokok produksi (HPP) TBS petani sewaktu harga pupuk masih normal sebesar Rp794 per kg. “Namun HPP kami sekarang Rp1.350 per kg karena 58% pengeluaran untuk biaya pupuk,” kata Gulat.
Alhasil pendapatan petani sawit sekarang hanya Rp815.000/ha/bulan dari sebelumnya Rp1,1 juta/ha/bulan. “Harga TBS sawit Rp3.000 per kg, tapi kami turun pendapatan,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Gunawan mengatakan, pemerintah berkomitmen menjaga stok dan keterjangkauan harga pupuk baik subsidi maupun non subsidi untuk meningkatkan produktivitas lahan petani.
(Baca juga:Pupuk Indonesia Sudah Salurkan 4,37 Ton Pupuk Subsidi)
Gunawan menjelaskan pupuk sebagai salah satu sarana produksi yang sangat strategis bagi pertanian. Tidak saja mempengaruhi capaian produksi. Tetapi berdampak sosial karena menjangkau sekitar 17 juta petani, pada 6.063 kecamatan, 489 kabupaten dan 34 provinsi.
Berkaitan pupuk bersubsidi, dikatakan Gunawan, tata kelolanya menjadi perhatian seluruh pihak terkait. Di era 4.0 di mana transparansi publik dan pertanggungjawaban sosial selalu menjadi sorotan. Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi petugas yang menangani pupuk bersubsidi.
Menurut Gunawan, upaya peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud salah satunya dukungan dari kegiatan pemupukan. “Proses pemupukan yang tepat sasaran berkontribusi tinggi dalam pencapaian produksi pertanian seperti padi,” ujarnya.
Berdasarkan data Ditjen PSP Kementan, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57-26,18 juta ton atau senilai Rp63-65 triliun dalam lima tahun terakhir. Tetapi karena keterbatasan anggaran, pemerintah hanya dapat mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 8,87 juta- 9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp25-32 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengungkapkan petani sawit dikatakan penyelamat ekonomi dan pahlawan devisa. Di saat harga tandang buah segar (TBS) sawit tinggi, petani tidak dapat menikmati dan melanjutkan rencana peningkatan produktivitas. Sebab, harga pupuk naik sangat tinggi melebihi kenaikan harga TBS sawit.
“Akan tetapi, di saat yang bersamaan kami diobok-obok semuanya oleh pelaku produsen pupuk,” ujar Gulat Manurung dalam webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema “Perbaikan Tata Kelola Pupuk: Realitas dan Fakta”, Jumat (29/10).
(Baca juga:Pupuk Bersubsidi Sempat Hilang, Petani Terpaksa Beli Pupuk Nonsubsidi)
Menurut Gulat, para petani sawit selama ini dianaktirikan oleh pemerintah. Di mana para petani sawit tidak mendapatkan jatah pupuk bersubsidi. Pupuk bersubsidi hanya dialokasikan kepada para petani yang menanam tanaman pangan.
“Saya sebagai Ketua (Apkasindo) sudah kehabisan kata-kata untuk menahan amarah petani sawit dari 144 kabupaten/kota se-Indonesia. Semua bermula melihat fakta harga pupuk non subsidi meroket tajam hingga 120%,” kata Gulat.
Ia mempertanyakan kenaikan harga pupuk yang mengikuti kenaikan harga TBS sawit. Petani sawit meminta pemerintah untuk segera mencari tahu penyebab kenaikan harga pupuk dan meminta pabrik pupuk pelat merah jangan ikut-ikutan menaikkan harga.
(Baca juga:Pasarkan Tiga Produk Baru, Petrokimia Gresik Perkuat Pasar Pupuk Non Subsidi)
Harusnya, kata Gulat, PT Pupuk Indonesia (Persero) atau Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) menjadi kontrol terhadap harga pupuk di dalam negeri, bukan sebaliknya malah ikut-ikutan menaikkan harga.
“Kami (petani sawit) tidak pernah menuntut (mendapatkan) pupuk subsidi. Kami hanya minta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk non subsidi,” terang dia.
Gulat mengatakan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terancam gagal karena anggaran biaya PSR sudah berantakan akibat kenaikan harga pupuk. Sebagai contoh dalam anggaran PSR pupuk urea telah ditetapkan Rp4.500/kg. Namun sekarang sudah mencapai di atas Rp6.000/kg.
(Baca juga:Pupuk Kaltim Siapkan Pupuk Non Subsidi Daun Buah untuk Sulsel)
Dikatakan Gulat, selama ini petani sawit sudah sangat tertekan dengan adanya kebun sawit petani yang berada di kawasan hutan. Namun sekarang para petani sawit tambah lagi persoalan yakni membubungnya harga pupuk. “Melambungnya harga pupuk ini sudah KLB (kejadian luar biasa). Ironisnya, di saat yang bersamaan kementerian terkait (Kementerian BUMN dan Kementan) semua terkesan tiarap.
Harga pupuk dipengaruhi tiga faktor utama yakni nilai tukar rupiah terhadap dolar, transportasi dan bahan dasar pupuk tersebut. Menurut pengamatan Gulat, ketiga faktor tersebut dalam keadaan normal, kecuali bahan baku yang sedikit naik. Namun hal ini idealnya tidak mengakibatkan harga naik signifikan. “Kami berharap Komisi IV DPR bisa segera memanggil kementerian terkait untuk mengevaluasinya. Ini sudah KLB” ujar dia.
Harga pokok produksi (HPP) TBS petani sewaktu harga pupuk masih normal sebesar Rp794 per kg. “Namun HPP kami sekarang Rp1.350 per kg karena 58% pengeluaran untuk biaya pupuk,” kata Gulat.
Alhasil pendapatan petani sawit sekarang hanya Rp815.000/ha/bulan dari sebelumnya Rp1,1 juta/ha/bulan. “Harga TBS sawit Rp3.000 per kg, tapi kami turun pendapatan,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Gunawan mengatakan, pemerintah berkomitmen menjaga stok dan keterjangkauan harga pupuk baik subsidi maupun non subsidi untuk meningkatkan produktivitas lahan petani.
(Baca juga:Pupuk Indonesia Sudah Salurkan 4,37 Ton Pupuk Subsidi)
Gunawan menjelaskan pupuk sebagai salah satu sarana produksi yang sangat strategis bagi pertanian. Tidak saja mempengaruhi capaian produksi. Tetapi berdampak sosial karena menjangkau sekitar 17 juta petani, pada 6.063 kecamatan, 489 kabupaten dan 34 provinsi.
Berkaitan pupuk bersubsidi, dikatakan Gunawan, tata kelolanya menjadi perhatian seluruh pihak terkait. Di era 4.0 di mana transparansi publik dan pertanggungjawaban sosial selalu menjadi sorotan. Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi petugas yang menangani pupuk bersubsidi.
Menurut Gunawan, upaya peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud salah satunya dukungan dari kegiatan pemupukan. “Proses pemupukan yang tepat sasaran berkontribusi tinggi dalam pencapaian produksi pertanian seperti padi,” ujarnya.
Berdasarkan data Ditjen PSP Kementan, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57-26,18 juta ton atau senilai Rp63-65 triliun dalam lima tahun terakhir. Tetapi karena keterbatasan anggaran, pemerintah hanya dapat mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 8,87 juta- 9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp25-32 triliun.
(dar)