Pemerintah tegaskan kasus Churchill urusan bisnis

Rabu, 04 Juli 2012 - 11:35 WIB
Pemerintah tegaskan kasus Churchill urusan bisnis
Pemerintah tegaskan kasus Churchill urusan bisnis
A A A


Sindonews.com - Pemerintah menegaskan gugatan perusahaan tambang multinasional Churcill Mining Plc di pengadilan arbitrase internasional, murni urusan bisnis (business to business).

Karena itu, persoalan itu harus diselesaikan secara perdata, antara perusahaan tambang itu dan mitranya, Ridlatama Group. Seperti diketahui, Churchill, perusahaan pertambangan yang terdaftar di bursa Inggris, telah melayangkan arbitrase.

Kelengkapan tuntutan tersebut sudah disampaikan perusahaan 22 Mei lalu ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini menegaskan, pemerintah telah menyiapkan data dan informasi komplet terkait gugatan ini. Namun apabila surat-surat yang ditunjukkan Churchill benar dan terjadi ketidakadilan serta pemutusan sepihak, pemerintah mempersilakan Churchill melalui Ridlatama untuk beperkara dengan Bupati Kutai Timur.

"Tentunya pihak bupati tidak serta-merta melakukan pencabutan tanpa sebab dan data yang akurat. Dan yang paling penting, tidak ada hak pihak Churcill beperkara dengan pihak kabupaten, apalagi dengan pemerintah atau presiden," ujar dia di Jakarta.

Terlepas dari itu, imbuh dia, kasus ini akan menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam pelaksanaan izin usaha pertambangan (IUP) yang didelegasikan kepada daerah. Rudi pun berjanji akan membenahi kontrak-kontrak izin tambang yang tidak menyejahterakan rakyat.

"Soal cabut izin atau tidak, nanti kita lihat setelah dilakukan pembenahan. Pembenahan ini pasti kita jalankan. Izin bisa dicabut kalau memang dia menyalahi. Tindakan kita juga bisa lebih tegas dan kolaboratif, bukan hanya ESDM saja melainkan juga bisa melibatkan polisi," paparnya.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Thamrin Sihite menambahkan, pemerintah pusat tidak pernah mendapat laporan mengenai proses akuisisi yang dilakukan Churchill Mining terhadap Ridlatama Grup, pemegang konsesi batu bara di Kutai Timur.

Dia mengatakan, investor asing punya kewajiban melaporkan dan meminta izin kepada pemerintah pusat, terutama sejak adanya Peraturan Pemerintah (PP) No 24/ 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.

"Saya sama sekali tidak tahu akuisisi itu.Tapi nanti arah rekonsiliasi IUP secara keseluruhan nanti arahnya ke sana,di mana kalau ada izin usaha dan ada pemegang asing terlibat di dalamnya maka mereka harus lapor," jelasnya.

Menurut Thamrin, Kementerian ESDM tidak bisa ikut campur masalah izin konsesi tambang antara perusahaan tersebut dengan Bupati Kutai Timur. Dia menyerahkan masalah tersebut kepada pemerintah setempat. Pemerintah pusat, tegas dia, hanya bisa memfasilitasi.

Perlu diketahui bahwa Churchill pada 2008 mengumumkan memiliki 75 persen saham di proyek Kutai Timur, yang diyakini memiliki cadangan besar batu bara hingga 2,7 miliar ton.Karena masalah ini, Churchill berencana menuntut ganti rugi kepada Indonesia sebesar USD2 miliar karena terancam gagalnya proyek tersebut.

Pengamat pertambangan sekaligus Wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, timbulnya gugatan perusahaan pertambangan asal Inggris tersebut disebabkan penerapan otonomi daerah yang karut-marut, di mana daerah diberikan hak untuk menerbitkan izin.

"Bagaimanapun, izin tambang seharusnya melalui pemerintah pusat. Di tengah implementasi otonomi yang karut- marut, ini akan semakin memperburuk keadaan jika daerah diberikan hak menerbitkan izin," tegas Komaidi.

Karena itu, Komaidi meminta agar kebijakan di sektor pertambangan kembali ditata ulang karena pemerintah hingga kini belum memiliki roadmap di sektor pertambangan.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9562 seconds (0.1#10.140)