BI minta perbankan selektif salurkan kredit KPR

Jum'at, 30 November 2012 - 17:07 WIB
BI minta perbankan selektif salurkan kredit KPR
BI minta perbankan selektif salurkan kredit KPR
A A A
Sindonews.com – Pertumbuhan kredit pada sektor properti di Jawa Barat sebesar 30-43 persen dinilai terlalu tinggi. Bank Indonesia meminta perbankan lebih berhati-hati menyalurkan kredit kepemilikan rumah (KPR).

Tingginya kredit perbankan pada sektor properti tanpa diimbangi stabilitas harga perumahan, berpotensi menimbulkan gelembung harga (bubble). Menurut Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI Jabar dan Banten Lucky Fathul Aziz Hadibrata, properti di beberapa kota besar di Jabar seperti Bandung, Depok, Bogor, dan Bekasi mengalami kenaikan harga cukup signifikan.

Kenaikan harga tersebut cenderung tidak terukur. Kenaikan harga menimbulkan lonjakan penyaluran kredit perbankan pada sektor ini. Bank Indonesia mencatat, pertumbuhan kredit properti periode Januari-Oktober 2012 naik sekitar 30-43 persen. Padahal, sepanjang tahun 2012, pembangunan sektor perumahan untuk segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dibayang bayangi ketidakpastian.

“Di satu sisi, harga properti bergerak terlalu tinggi. Sementara, perbankan dengan mudahnya menyalurkan kredit ini kepada nasabah. Akibatnya, pertumbuhan kredit properti di atas normal. Idealnya, pertumbuhan kredit properti tak lebih dari 25 persen,” jelas Lucky Fathul Aziz Hadibrata di Bandung, Jumat (30/11/2012).

Menurut dia, kenaikan penyaluran kredit properti tak lepas dari peran spekulan perumahan. Mereka membeli perumahan bukan untuk kebutuhan papan, melainkan untuk investasi dan berspekulasi atas harga perumahan di kawasan tertentu.

Padahal, lanjut dia, masih banyak masyarakat yang membutuhkan kebutuhan papan untuk tinggal. Namun, akibat kenaikan harga perumahan yang tidak realistis, penduduk setempat tidak bisa membeli properti tersebut.

“Inikan bisnis supply–demand. Belum di bangunpun harganya sudah naik. Itu yang menyebabkan penggelembungan harga dari standar normal,” pungkas dia. Sebagian besar pembeli properti, termasuk di Bandung adalah rumah ke dua atau ketiga. Setelah dibeli, rumah tersebut tidak dihuni.

Dia mencontohkan, di Singapura atau Malaysia, pemerintah setempat menerapkan pajak penjualan 40 persen untuk rumah yang dijual dalam tempo satu sampai lima tahun. Dengan sistem itu, maka tidak ada spekulan yang berani menjadikan properti sebagai bisnis menjanjikan dalam waktu singkat.

Diakui Lucky, harga perumahan di empat kota tersebut, sudah tidak terkukur. Saat ini, tidak ada harga jual perumahan atau apartemen di bawah Rp100 juta. Sebagian besar, dipatok pada harga Rp200 juta lebih. Padahal, lanjut Lucky, biaya pembangunan perumahan itu tidak lebih dari Rp50 juta.

“Pemerintah harus segera menerbitkan kebijakan yang mengatur perumahan. Kalau kondisi ini terus dibiarkan akan berpotensi terjadi bubble. Tapi selama belum ada aturan, BI berharap perbankan lebih selektif memilih calon debitur, yaitu masyarakat yang memang membutuhkan tapi mampu secara finansial,” beber dia.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas) Acuviarta Kartabi mengatakan, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, harga tanah di beberapa kota besar di Jawa Barat bergerak cukup signifikan. Harga tanah, rata-rata mengalami kenaikan sekitar 15 persen per tahun. Kenaikan tersebut, berimbas pada harga properti.

“Kalau pergerakan harga tanah dan perumahan dibiarkan begitu saja, akan berpotensi terjadi bubble,” kata Acuviarta Kartabi. Sayangnya, lanjut dia, pergerakan harga tanah dan perumahan tidak dilakukan beradasarkan mekanisme jelas. Kenaikan tersebut berpatokan pada harga yang dibuat pemilik tanah dan pengusaha.

Padahal, kenaikan harga tanah dan perumahan mestinya didasarkan pada beberapa faktor terkait, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan lainnya. Pergerakan harga properti yang cenderung bebas, memperkecil kesempatan masyarakat berpenghasilan sedang mendapatkan perumahan yang layak.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3213 seconds (0.1#10.140)