Sepak Terjang Bisnis Tambang Freeport di Indonesia

Minggu, 15 Juni 2014 - 12:53 WIB
Sepak Terjang Bisnis Tambang Freeport di Indonesia
Sepak Terjang Bisnis Tambang Freeport di Indonesia
A A A
MENELISIK sepak terjang bisnis PT Freeport Indonesia menjamah Tanah Air, tentu kita juga akan sedikit mengorek periode awal masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru). Pasalnya, saat itulah cerita tentang perusahaan tambang kelas kakap asal Amerika Serkat (AS) ini dimulai.

Seperti dilansir dari situs Wikipedia, di awal periode kepemimpinannya, Soeharto mengambil kebijakan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Modal Asing. Kebijakan ini dilihat sebagai peluang oleh pimpinan tertinggi Freeport yang saat itu bernama Langbourne Williams.

Alhasil, terjadilah pertemuan antara bos Freeport dengan beberapa pejabat di pemerintahan Soeharto. Selanjutnya, dari hasil pertemuan demi pertemuan tersebut, Freeport pun akhirnya mengantongi izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek Ertsberg di Papua. Itulah Kontrak Karya (KK) pertama yang diperoleh Freeport dari Indonesia.

Freeport sendiri merupakan sebuah perusahaan tambang tertua yang beroperasi di Indonesia. Berlokasi di Grasberg dan Easberg Pegunungan Jaya Wijaya, perusahaan ini menguasai 81,28% saham melalui Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc AS, sedangkan sisanya dikuasai oleh PT Indocopper Investama sebesar 9,36% dan pemerintah Indonesia sebesar 9,36%.

Dilansir dari situs resmi Freeport, kompleks tambang di Grasberg merupakan salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mengandung cadangan tembaga yang juga terbesar di dunia.

Dalam mengoperasikan tambang di Grasberg, Freeport menerapkan dua teknik penambangan yakni open-pit atau tambang terbuka yang menggunakan truk pengangkut dan sekop listrik besar, serta teknik ambrukan atau block-caving pada tambang bawah tanah deep ore zone (DOZ).

Saat ini, dengan diberlakukannya UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) untuk menerapkan nilai tambah (value added), perusahaan yang berpusat di Arizona, AS ini terpaksa harus membangun pabrik pemurnian (smelter) demi meluluskan hajatnya untuk terus mengekspor barang tambang.

Pembangunan smelter di Indonesia yang diperkirakan senilai USD2,3 miliar tersebut rencananya akan bekerja sama dengan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan Newmont Nusa Tenggara.

PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara telah menyetorkan jaminan kesungguhan pembangunan smelter kepada pemerintah, masing-masing sebesar USD115 juta setara Rp1,36 triliun (kurs Rp11.800) dan USD25 juta setara Rp295 miliar ke PT Bank Mandiri Tbk.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4590 seconds (0.1#10.140)