Pertamina Butuh Kebijakan untuk Berkelas Dunia
A
A
A
JAKARTA - Pengamat energi Komaidi Notonegoro mengatakan, sulit menilai Pertamina sebagai korporasi swasta yang baik. Karena sebagai BUMN, Pertamina juga dituntut menghasilkan pemasukan negara dan tugas bermacam pengadaan pasokan.
Namun, di lain hal pemerintah menutup mata apabila terjadi kerugian di Pertamina. "Agak susah bedakan apakah kinerja Pertamina atau andil pemerintah yang membuatnya rugi. Pertamina bagaimanapun adalah BUMN, sebagai pelaksana maunya pemilik," ujar Komaidi saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Dalam tugasnya untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM dalam negeri, langkah Pertamina menjadi agak sulit. Karena ingin bekerja sebagai korporasi namun juga melibatkan pemerintah. Pertamina saat ini sangat mampu memenuhi konsumsi dalam negeri. Dengan perputaran uangnya yang dalam setahun hampir sama APBN, jelas bukan suatu halangan.
Namun, tugas pemenuhan dalam negeri yang merupakan ranah pemerintah seringkali tidak jelas. Kerap ada ketidakpastian jumlah kuota BBM antara pemerintah dan legislatif. "Pertamina hanya pelaksana yang siap memenuhi kebutuhan pemerintah. Kelangkaan itu bukan hanya soal Pertamina, tapi refleksi dari kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi sudah terbatas," ujar dia.
Menurutnya, kalau saja Pertamina diperlakukan sebagai korporasi swasta dengan mendapatkan margin normal, maka tidak ada alasan untuk tidak mampu. Bahkan kilang di Singapura juga bisa menjadi potensi untuk pengadaan dalam negeri. Sama seperti Jepang yang bisa mengelola minyak meskipun tidak memiliki SDA.
"Semua tergantung dari kita. Banyak negara yang tidak memiliki minyak tapi kuat dalam bisnis perminyakan. Kilang Singapura juga bisa kita manfaatkan menjadi potensi," jelasnya.
Komaidi mengatakan, kunci perkembangan Pertamina ke depan terletak pada niat baik eksekutif dan legislatif. Mereka akan menjadikan Pertamina sebagai apa. Lihat saja Petronas yang dulu meniru Pertamina dan sekarang berkembang signifikan.
"Karena 70% laba kembali ke Petronas untuk biayai ekspansi. Jangan hanya maunya ingin menjadi perusahaan kelas dunia tapi perlakuannya jelek sekali. Dengan kebijakan yang tidak mendukung dan penugasan yang merugikan lalu pemerintah tutup mata. Hanya Indonesia yang memperlakukan BUMN seperti ini," tandas Komaidi.
Namun, di lain hal pemerintah menutup mata apabila terjadi kerugian di Pertamina. "Agak susah bedakan apakah kinerja Pertamina atau andil pemerintah yang membuatnya rugi. Pertamina bagaimanapun adalah BUMN, sebagai pelaksana maunya pemilik," ujar Komaidi saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Dalam tugasnya untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM dalam negeri, langkah Pertamina menjadi agak sulit. Karena ingin bekerja sebagai korporasi namun juga melibatkan pemerintah. Pertamina saat ini sangat mampu memenuhi konsumsi dalam negeri. Dengan perputaran uangnya yang dalam setahun hampir sama APBN, jelas bukan suatu halangan.
Namun, tugas pemenuhan dalam negeri yang merupakan ranah pemerintah seringkali tidak jelas. Kerap ada ketidakpastian jumlah kuota BBM antara pemerintah dan legislatif. "Pertamina hanya pelaksana yang siap memenuhi kebutuhan pemerintah. Kelangkaan itu bukan hanya soal Pertamina, tapi refleksi dari kebijakan pemerintah yang memberikan subsidi sudah terbatas," ujar dia.
Menurutnya, kalau saja Pertamina diperlakukan sebagai korporasi swasta dengan mendapatkan margin normal, maka tidak ada alasan untuk tidak mampu. Bahkan kilang di Singapura juga bisa menjadi potensi untuk pengadaan dalam negeri. Sama seperti Jepang yang bisa mengelola minyak meskipun tidak memiliki SDA.
"Semua tergantung dari kita. Banyak negara yang tidak memiliki minyak tapi kuat dalam bisnis perminyakan. Kilang Singapura juga bisa kita manfaatkan menjadi potensi," jelasnya.
Komaidi mengatakan, kunci perkembangan Pertamina ke depan terletak pada niat baik eksekutif dan legislatif. Mereka akan menjadikan Pertamina sebagai apa. Lihat saja Petronas yang dulu meniru Pertamina dan sekarang berkembang signifikan.
"Karena 70% laba kembali ke Petronas untuk biayai ekspansi. Jangan hanya maunya ingin menjadi perusahaan kelas dunia tapi perlakuannya jelek sekali. Dengan kebijakan yang tidak mendukung dan penugasan yang merugikan lalu pemerintah tutup mata. Hanya Indonesia yang memperlakukan BUMN seperti ini," tandas Komaidi.
(izz)