Ujian Brand dan Social Capital

Kamis, 11 Juni 2015 - 10:26 WIB
Ujian Brand dan Social Capital
Ujian Brand dan Social Capital
A A A
Personal Branding memang topik yang menarik dan ‘seksi’. Pertanyaan saat membahas topik ini di berbagai workshop selalu melimpah karena menyangkut pengelolaan diri sendiri, sehingga relevansinya buat yang hadir sangat tinggi.

Pertanyaan yang selalu muncul berulang kali dan menggelitik adalah bagaimana saat kita baik-baik saja tetapi difitnah dan kemudian brand menjadi hancur? Bagaimana menghadapi situasi ini? Difitnah itu maknanya adalah diberitakan tentang situasi kita tetapi tidak mewakili situasi yang sebenarnya. Tetapi, versi siapa fitnah tersebut? Karena sebuah permasalahan itu selalu multi-perspektif. Pihak yang berseberangan akan mempertahankan pendapatnya walaupun kita telah mengklarifikasi sampai berbusa-busa.

Pertanyaan saya kembali kepada peserta workshop yang bertanya tadi adalah, apakah social capital Anda cukup dalam menghadapi ujian personal brand ini? Social capital menggambarkan kekuatan networking, modal pertemanan Anda dalam kadar pertemanan sejati, bukan ‘teman-teman’ yang hadir saat kita sedang menjabat dan sedang mempunyai banyak proyek. Seberapa besar tabungan di aspek ini? Karena capital ada beberapa bentuk, selain tabungan dalam bentuk uang ternyata ada yang lebih penting, yaitu dalam bentuk pertemanan.

Saat tabungan pertemanan minimalis, maka kita akan kesulitan untuk mendapatkan brand guardian, orang-orang yang akan membela kita saat disebarkan berita kurang baik tentang kita. Soulmate sejati adalah satu-satunya yang bisa diharapkan mengklarifikasi bahkan membersihkan reputasi. Saat kita menjabat menjadi menteri belum tentu kedekatan pertemanan itu merupakan teman sejati. Saat kita menjadi pengusaha kaya, belum tentu kedekatan pertemanan itu merupakan teman yang siap menjadi tameng diri.

Sejati atau tidaknya pertemanan akan bisa dideteksi, saat kita sudah turun jabatan tidak menjabat lagi. Saat kita sudah tidak sekaya dulu lagi. Apakah mereka masih melihat nilai diri kita? Saat dinyatakan bersalah, kredibilitas brand kita menurun. Apapun yang kita sampaikan itu akan dianggap sebagai mencari pembenaran dan sebagian orang akan tetap meragukan kebenaran isi dari pemberitaan tersebut. Saat kredibilitas menurun, para soulmates- lah yang bisa mengangkat kembali reputasi yang tercemar.

Social Capital Dahlan Iskan

Dahlan Iskan diberitakan menangis setelah dinyatakan diangkat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kontrasnya, Dahlan Iskan diberitakan ”tersenyum” saat ditetapkan sebagai tersangka korupsi Gardu Induk. Saat ini brand Dahlan Iskan sedang mengalami ujian.

Perspektif manakah yang akan diterima oleh publik? Perspektif Dahlan a t a u perspektif pihak yang menjadikannya tersangka? Di sinilah sebenarnya Dahlan perlu mengeluarkan tabungan pertemanannya. Bukan hanya dalam kaitannya dengan #Save Dahlan di media sosial, tetapi juga nantinya selama proses berikutnya, siapa saja yang akan membantu menjelaskan apa pun pembelaan dirinya.

Para soulmate- nya diharapkan akan mau menjadi ‘corong’ bagi cerita-cerita di balik persoalan yang sedang terjadi yang menyudutkan bekas menteri ini. Penjelasan pihak ketiga (di luar Dahlan) tentu lebih bernilai tinggi dan kredibel dalam mengubah persepsi masyarakat dibandingkan apa pun penjelasan yang diuraikan oleh Dahlan sendiri di blognya gardudahlan. com

Social Capital dan Korporasi

Social capital tidak bisa dibangun dalam satu malam. Kadang kala personal brand maupun perusahaan lupa untuk membina hubungan dengan stakeholders- nya saat keadaan baik-baik saja. Social capital dibangun melalui sebuah proses interaksi yang panjang. Salah satu stakeholder penting bagi korporasi adalah jurnalis media massa, yang mana mereka bisa menjadi mitra untuk pemberitaan cerita baik tentang korporasi, tetapi bisa juga menjadi orang-orang yang mengkritik pedas dan menyebarluaskannya.

Corporate brand yang mengalami krisis reputasi biasanya mempunyai money capital yang cukup untuk membayar para public relations partner yang andal. Mempunyai money capital cukup untuk menyelenggarakan press conference melakukan klarifikasi sana sini. Tetapi dalam hal ini, tetap saja tidak ada jaminan bahwa para jurnalis akan serta merta menuliskan berita-berita baik tentang corporate brand in crisis ini.

Biasanya para jurnalis juga mempunyai track record tentang kedekatan emosional mereka dengan pemilik brand dan wakil-wakilnya. Jika selama ini tidak pernah mendapat perhatian (emosional), maka sebenarnya social capital mereka lemah. Uang tidak bisa membeli pertemanan. Mereka bisa jadi bahkan akan menggunakan kesempatan krisis ini untuk memberitakan sebanyak-banyaknya hal-hal yang semula tidak perlu diungkapkan.

Sebenarnya para corporate communication manager juga butuh membuka horizonnya untuk mendekati para ‘pewarta berita’ atau jurnalis ini secara lebih integrated dan kontinu. Hanya mempunyai ikatan dengan personal nya saja ternyata belum cukup untuk membangun relationship yang lebih sustain. Relationship harus dikembangkan ke tingkat institusinya. Salah satu program pembinaan berkesinambungan ini sudah dimulai oleh Permata Bank dengan programnya Photo Journalist Grant (PPG) yang telah diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu.

Pendidikan model ini tentu berbeda dengan mengadakan event sekali selesai, karena dampaknya terhadap transformasi diri jurnalis tersebut yang akan bertahan lama. Ini bagian dari pembentukan social capital . Secara bertahap mereka merupakan calon brand guardian .

Nah, apakah Anda sedang mengelola corporate brand atau mengelola personal brand diri Anda sendiri, jangan menunggu sampai ujian datang, karena pasti akan terlambat. Saat-saat senang gunakan untuk membina sebanyak-banyaknya soulmate. Tameng para soulmate akan menjaga brand kita saat ujian dan badai datang.

Amalia E. Maulana. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5098 seconds (0.1#10.140)