Defisit Perdagangan Jepang Turun
A
A
A
TOKYO - Jepang membukukan defisit perdagangan USD1,75 miliar pada Mei, penurunan dramatis dari tahun lalu akibat melemahnya impor energi. Meski demikian, jumlah tersebut belum cukup untuk mengimbangi pengiriman luar negeri.
Selisih antara impor dan ekspor mencapai 216 miliar yen, turun sekitar 76% dari defisit 917,2 miliar yen tahun lalu. Nilai impor turun 8,7% pada Mei, saat penurunan harga minyak dan gas mengurangi tagihan energi Jepang. Adapun impor naik lebih lemah dibandingkan proyeksi 2,4%.
Meski demikian, masih ada kekhawatiran tentang kesehatan ekonomi Jepang, khususnya lemahnya permintaan luar negeri yang dapat mengurangi output pabrik saat manufaktur berupaya memangkas stok yang mendorong pertumbuhan pada kuartal I/2015. ”Defisit perdagangan berkurang pada Mei, tapi bisa menjadi lebih tinggi pada semester II/2015 saat yen yang lemah mendorong biaya impor,” kata Marcel Thieliant dari Capital Economics, dikutip kantor berita AFP.
Pertumbuhan 1% pada kuartal I/2015 atau 3,9% pada basis tahunan, naik dari proyeksi awal pertumbuhan 0,6%. Data ini menjadi berita bagus untuk upaya Jepang mendorong perekonomian, tapi belanja rumah tangga tetap lemah saat Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) berupaya mendorong kenaikan harga untuk mengakhiri deflasi yang terjadi beberapa dekade.
BoJ ditekan untuk memperpanjang pencapaian target inflasi 2% yang menjadi tonggak penting kebijakan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kendati terjadi kenaikan gaji di perusahaan-perusahaan besar dan pasar tenaga kerja yang semakin ketat, konsumen masih menahan belanja setelah Jepang menaikkan pajak penjualan tahun lalu untuk membayar utang nasional yang besar.
Kenaikan pajak penjualan menekan belanja konsumen dan membawa perekonomian dalam resesi singkat. Jepang keluar dari resesi pada kuartal IV/2014. Analis memperingatkan, pertumbuhan dapat turun tajam pada kuartal II/2015 saat data perdagangan menunjukkan lemahnya permintaan asing. Ekspor ke China hanya tumbuh 1,1% dan ekspor ke Uni Eropa (UE) naik 0,4%.
”Peningkatan ekspor lebih lemah dibandingkan proyeksi, mencerminkan lambatnya pemulihan ekonomi global,” ujar Atsushi Takeda, ekonom Itochu Corp, pada Bloomberg News. Kekhawatiran tentang neraca perdagangan Jepang juga fokus pada yen yang melemah tajam. Mata uang itu kini turun hingga sekitar setengah terhadap dolar sejak Abe menjabat pada 2012.
Meskipun penurunan mendorong keuntungan para eksportir, ada kekhawatiran jika penurunan yen terus terjadi, dapat merugikan karena biaya impor semakin mahal. Beberapa trader mata uang memprediksi yen dapat turun menjadi 140 terhadap dolar pada tahun depan, dari 123,43 dalam perdagangan forex Tokyo kemarin.
Syarifudin
Selisih antara impor dan ekspor mencapai 216 miliar yen, turun sekitar 76% dari defisit 917,2 miliar yen tahun lalu. Nilai impor turun 8,7% pada Mei, saat penurunan harga minyak dan gas mengurangi tagihan energi Jepang. Adapun impor naik lebih lemah dibandingkan proyeksi 2,4%.
Meski demikian, masih ada kekhawatiran tentang kesehatan ekonomi Jepang, khususnya lemahnya permintaan luar negeri yang dapat mengurangi output pabrik saat manufaktur berupaya memangkas stok yang mendorong pertumbuhan pada kuartal I/2015. ”Defisit perdagangan berkurang pada Mei, tapi bisa menjadi lebih tinggi pada semester II/2015 saat yen yang lemah mendorong biaya impor,” kata Marcel Thieliant dari Capital Economics, dikutip kantor berita AFP.
Pertumbuhan 1% pada kuartal I/2015 atau 3,9% pada basis tahunan, naik dari proyeksi awal pertumbuhan 0,6%. Data ini menjadi berita bagus untuk upaya Jepang mendorong perekonomian, tapi belanja rumah tangga tetap lemah saat Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) berupaya mendorong kenaikan harga untuk mengakhiri deflasi yang terjadi beberapa dekade.
BoJ ditekan untuk memperpanjang pencapaian target inflasi 2% yang menjadi tonggak penting kebijakan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kendati terjadi kenaikan gaji di perusahaan-perusahaan besar dan pasar tenaga kerja yang semakin ketat, konsumen masih menahan belanja setelah Jepang menaikkan pajak penjualan tahun lalu untuk membayar utang nasional yang besar.
Kenaikan pajak penjualan menekan belanja konsumen dan membawa perekonomian dalam resesi singkat. Jepang keluar dari resesi pada kuartal IV/2014. Analis memperingatkan, pertumbuhan dapat turun tajam pada kuartal II/2015 saat data perdagangan menunjukkan lemahnya permintaan asing. Ekspor ke China hanya tumbuh 1,1% dan ekspor ke Uni Eropa (UE) naik 0,4%.
”Peningkatan ekspor lebih lemah dibandingkan proyeksi, mencerminkan lambatnya pemulihan ekonomi global,” ujar Atsushi Takeda, ekonom Itochu Corp, pada Bloomberg News. Kekhawatiran tentang neraca perdagangan Jepang juga fokus pada yen yang melemah tajam. Mata uang itu kini turun hingga sekitar setengah terhadap dolar sejak Abe menjabat pada 2012.
Meskipun penurunan mendorong keuntungan para eksportir, ada kekhawatiran jika penurunan yen terus terjadi, dapat merugikan karena biaya impor semakin mahal. Beberapa trader mata uang memprediksi yen dapat turun menjadi 140 terhadap dolar pada tahun depan, dari 123,43 dalam perdagangan forex Tokyo kemarin.
Syarifudin
(bbg)